Sumber :
- VIVAnews/Imam Zuhdi
VIVAnews
- Dengan luas lahan sekitar 59 ribu hektar, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi salah satu penghasil tembakau nasional, dengan produksi rata-rata 35-55 ribu ton per tahun. Sebanyak 250 ribu petani menggantungkan hidup dari menanam tembakau.
Demikian dikatakan Ketua Aliansi Petani Tembakau (APTI), Sahminudin. Namun, dia mengklaim akibat regulasi pemerintah terkait Aksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau, produksi tembakau menurun.
Hal itu terjadi karena adanya potensi pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang tidak menguntungkan petani, karena doktrin pengendalian dampak kesehatan.
Sahminudin menjelaskan, lahan di Lombok terbilang tandus dan kering, dan tidak memungkinkan ditanam oleh komoditas pertanian lain. Menurut dia, tidak ada komoditas pertanian lain yang mempunyai nilai tambah ekonomi tinggi, menyamai tembakau.
Komnas HAM menilai, kunjungannya merupakan agenda penting, sebagai respon dan tindaklanjut atas pengaduan perwakilan petani tembakau.
"Berbagai pemangku kepentingan di sektor pertembakuan, khususnya petani, sebelumnya mengeluhkan mengenai rencana pemerintah melakukan aksesi FCTC, karena dianggap berdampak buruk bagi hak hidup dan berpotensi mengabaikan hak ekosob", kata Laila.
Meski demikian, Laila mengaku bahwa mereka tidak bisa menegakan dan memajukan hak-hak tertentu, misalnya hak kesehatan publik, dengan mengabaikan apalagi mengorbankan hak fundamental seperti hak ekonomi, sosial dan budaya dari masyarakat tertentu.
"Jadi kami harus tahu, sejauh mana dampak terhadap petani, khususnya adanya indikasi pelanggaran hak sehingga upaya perlindungan dan pemenuhan hak ekosob menjadi hilang. Maka kami akan kaji dan dalami, salah satu pintu masuknya adalah melalui dialog dan turun langsung ke lapangan ini", kata Laila.
Halaman Selanjutnya
"Berbagai pemangku kepentingan di sektor pertembakuan, khususnya petani, sebelumnya mengeluhkan mengenai rencana pemerintah melakukan aksesi FCTC, karena dianggap berdampak buruk bagi hak hidup dan berpotensi mengabaikan hak ekosob", kata Laila.