Pakar Hukum: Pencabutan Hak Politik Anas Bertentangan MK

Pansel Hakim MK
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA.co.id
Politikus Budi Supriyanto Didakwa Disuap Ratusan Ribu Dolar
- Pakar hukum tata negara, Refly Harun, menilai vonis kasasi Mahkmah Agung (MA) yang mencabut hak politik mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum berpotensi bertentangan dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Soalnya MK memutuskan pembatasan hak politik, bukan pencabutan sepenuhnya hak politik terpidana korupsi.

'Bos Podomoro Beri Sanusi Uang Rp2 Miliar Sebagai Sahabat'

Refly menilai positif MA memperberat hukuman kepada Anas, kecuali pencabutan hak politik itu. Soalnya, berdasarkan putusan MK, seorang yang dihukum paling sedikit lima tahun, otomatis hak politiknya tercabut. Tetapi itu berlaku hanya selama dia menjalani hukuman dan hak politiknya pulih kembali setelah bebas.
Presiden Jokowi Santai UU Amnesty Digugat


"Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi sudah mengatur. Mereka yang dihukum dalam tindak pidana yang ancamannya lima tahun, itu sesungguhnya tercabut hak untuk dipilih, selama dia ditahan. Ketika yang bersangkutan bebas, setelah lima tahun, mereka bisa bebas untuk mengikuti kegiatan politik. Hak untuk memilih tidak dihilangkan," kata kata Refly di Jakarta, kemarin.

Dia menolak spekulasi bahwa ada unsur politik di balik vonis MA terhadap Anas. Dia beralasan bahwa Anas tak lagi menjabat kedudukan politik apa pun. Kalau Anas masih menjabat Ketua Umum Partai Demokrat, spekulasi unsur politik itu ada pembenarnya.


Refly menganalisis Majelis Kasasi memperberat hukuman kepada Anas karena hakim memiliki semangat pemberantasan korupsi. "Saya melihat semata ada kelompok hakim yang getol untuk menghukum secara berat (terdakwa/terpidana korupsi)."


Hak politik


Tentang pencabutan hak politik diatur dalam Pasal 38 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), “Pencabutan hak mulai berlaku pada hari putusan pengadilan mulai dijalankan.”


MK pada 24 Maret 2009 menetapkan bahwa hukuman pencabutan hak politik adalah konstitusional dengan batasan pencabutan hak hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman.


KUHP menggariskan pada hari putusan pengadilan mulai djalankan, pencabutan hak politik atas terpidananya. Itu artinya bagi yang dihukum penjara, misalnya, akan terhitung masa pencabutan hak politik itu saat mulai menjalani masa pemidanaan (penjara/kurungan).


Putusan MK sudah menetapkan pula batasannya, yaitu hitungannya dimulai sejak terpidana selesai menjalani masa hukuman pokoknya (terutama pidana penjara dan kurungan).


Pencabutan hak politik, berdasarkan putusan MK pula, hanya berlaku sampai lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, dan kemudian dapat menduduki jabatan yang dipilih rakyat melalui pemilihan, selain jabatan yang diraih karena pengangkatan atau penunjukan.


Terbukti korupsi


MA menolak kasasi yang diajukan Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat. Bahkan, Majelis Kasasi melipatgandakan hukuman pidana terhadap Anas menjadi 14 tahun. MA menyatakan Anas memang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang (money laundering).


Tidak hanya pidana penjara, Majelis Kasasi juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp5 miliar subsidair satu tahun empat bulan terhadap Anas. Anas juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp57 miliar.


Apabila uang pengganti dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, seluruh harta kekayaan Anas akan dilelang dan apabila masih belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun.


Majelis juga mengabulkan permohonan Jaksa pada KPK untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.


Majelis hakim yang memutus kasus kasasi Anas diketahui adalah Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Pada putusannya, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU.


Pada pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana awal dalam TPPU harus dibuktikan terlebih dulu. MA mengacu kepada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dulu.


Majelis Kasasi juga menyatakan pertimbangan Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi terkait hak terdakwa dalam jabatan publik adalah keliru. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menilai jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan itu harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat.


Sebaliknya, MA berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seoraang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali harus dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.


Nikmah Sholikah dan Indra Galih

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya