Menristek: Mobil Listrik Terkait Dahlan Iskan Bukan Riset

Mobil Listrik Bantuan Pertamina Disita Kejagung dari Unibraw
Sumber :
  • VIVA.co.id/D.A. Pitaloka
VIVA.co.id - Kasus dugaan penyimpangan dalam pengadaan 16 unit mobil listrik di Kementerian BUMN yang menyeret nama Dahlan Iskan mendapat tanggapan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek dan Dikti), Muhammad Nasir. Menurutnya, kasus mobil listrik itu murni peyelewengan anggaran dan bukan untuk keperluan riset.
Cerita Dahlan Iskan ke Pengacara Soal Kasus Aset PWU

"Jadi bukan dia menciptakan inovasi terus dia dikenakan hukuman. Tapi karena tidak memenuhi kontrak yang telah diberikan,” kata Nasir di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi di Jakarta pada Kamis, 6 Agustus 2015.
Dahlan Iskan Mangkir dari Panggilan Jaksa Jawa Timur

Sebelumnya, penyidik Kejaksaan Agung telah menetapkan dua tersangka. Pertama, Agus Suherman selaku Dirut Perum Perikanan Indonesia yang saat kasus terjadi merupakan salah satu pejabat di Kementerian BUMN yang diketahui menginstruksikan dan mengkoordinasikan sejumlah BUMN untuk membiayai pengerjaan mobil-mibil listrik itu. Tersangka kedua adalah Dasep Ahmadi, Direktur PT Sinarmas Ahmadi Pratama, yang ditunjuk untuk mengerjakan proyek itu.
Kejaksaan Panggil Dahlan Iskan di Kasus Aset Negara

Sebanyak 16 Unit mobil listrik itu meliputi jenis electric microbus dan electric executive bus. Semula mobil-mobil itu diadakan guna menyukseskan perhelatan KTT APEC 2013 di Bali. Namun, dalam praktiknya mobil-mobil itu tidak benar-benar digunakan dan malah disumbangkan kepada enam perguruan tinggi, yakni Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bogor, Universitas Gadjah Mada, Universitas Brawijaya dan Universitas Riau. Padahal dalam kontrak proyek tidak diatur kerja sama dengan keenam perguruan tinggi itu.

Proyek itu pun diduga telah merugikan negara sebesar Rp32 miliar. Menteri Nasir pun berpendapat bahwa kekeliruan yang terjadi di kasus mobil listrik itu bukan karena inovasinya tapi kontrak kerjanya yang tidak bisa dipenuhi. Kontrak kerja itu sudah memanfaatkan uang negara.

"Akibatnya merugikan uang negara. Ini yang jadi masalah, bukan inovasinya,” ujar Nasir.


Dianty Winda/Jakarta
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya