Sastrawan Ahmad Tohari Sindir Ketua DPR

Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) XIII 2015
Sumber :
  • VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id
Ada Jatidiri Indonesia dalam Partikel Tuhan
- Penerima Penghargaan Achmad Bakrie (PAB) XII 2015 dari Kesusateraan, Ahmad Tohari mengkritik lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dinilai sering gaduh.

Ahmad Tohari dan Apresiasi PAB Terhadap Sastra
"Bapak Setya Novanto (Ketua DPR), kami butuh sastra, bukan cuma gaduh saja," ujar Ahmad Tohari, di acara PAB XII 2015 untuk Negeri, di Djakarta Theatre, Jakarta Pusat, Jumat malam, 21 Agustus 2015.

Kapal Selam Lokomotif Kemajuan Industri RI
Dia menilai, bahwa lembaga negara kurang peduli kepada dunia sastra di Indonesia. Karena kurangnya dukungan dari pemerintah terutama soal anggaran kepada bidang sastra.

"Daripada menganggarkan yang gaduh, mending kasih ke sastra saja," paparnya.

Tohari menjelaskan, banyak orang yang pandai Indonesia, tapi yang kurang adalah perasa dan sensitif. "Berpolitik tanpa sensitifitas sehingga gaduh mulu," paparnya.

Mendengar sambutan dari Ahmad Tohari tersebut, Ketua DPR, Setya Novanto hanya tersenyum.

Tohari menegaskan, bahwa peminat dunia sastra saat ini sangat sedikit sekali, bahkan hanya tujuh persen warga negara Indonesia yang peduli sastra.

"Ini mengetuk pemerintah agar tidak mengabaikan sastra," ujarnya.

Kurang peduli

Dia menuturkan, bahwa tidak ada bangsa yang bisa maju tanpa ada dunia sastra. Selain itu, dengan sastra dapat menyeimbangkan antara otak kanan dan kiri.

"Kita butuh sastra, bukan gaduh. Karena sastra tidak hanya cerdas, tetapi punya sensitifitas. Pintar tanpa sensitifitas berbahaya," paparnya.

Oleh karena itu, Tohari mengajak semua warga negara Indonesia agar menghidupkan kembali dunia sastra yang selama ini jarang diminati masyarakat.

Lebih lanjut, Tohari menyayangkan pemerintah yang kurang memperhatikan keilmuan di bidang sastra.

"Kadang saya emosi, seharusnya pemerintah sadar, ini harus diperibaiki. Tentunya dengan cara pemerintah memborong buku-buku untuk dibagikan secara gratis ke sekolah-sekolah. Kan pemerintah duitnya banyak," ujar Tohari.

Tohari menilai, minat masyarakat membeli buku sangat kurang sekali, sehingga pemerintah harus memerikan solusi guna mendongkrak buku sastra.

"Tapi, berbeda dengan negara lain yang minat membeli buku sangat tinggi," paparnya.

Tohari menuturkan, bahwa dunia kesusastraan Indonesia sangat mundur sekali. Sebab, ketika zaman kolonial Belanda para pelajar diwajibkan membaca buku sastra.

"Setelah tahun 1951, membaca sastra tidak wajib lagi," ujarnya.

Dia menambahkan, bahwa kendala memajukan bidang keilmuan sastra sebetulnya adalah masalah sistem pendidikan yang tidak memberikan ruang bagi perkembangan sastra.

"Saya kira pemerintah mempunyai kesalahan dalam kebijakan. Karena itu, saya berani katakan itu," ungkapnya.

Dunia sastra sepi

Adapun, Tohari merupakan sastrawan Indonesia yang gelut menekuni bidang keilmuan di bidang kesusastraan dari tahun 1970.

Pria kelahiran 13 Juni 1948 ini dikenal sangat sederhana, berlatar belakang keluarga dari kalangan santri. Bahkan sangat tekun mendalami keilmuan sastra, meskipun hanya tinggal di pedesaan, Banyumas, Jawa Tengah.

Atas ketekunannya, Tohari menghasilkan berbagai buku dalam bidang kesusastraan dan berhasil mendapatkan penghargaan dari Acmad Bakrie Award bidang sastra.

"Saya berharap dengan penghargaan ini, dapat menginspirasi pihak lain, dan penulis muda," ujar Tohari.

Menurutnya, bahwa peminat dan mengembangkan dalam dunia sastra sangat minim sekali di Indonesia. Karena, perkembangan ilmu kesusastraan dianggap stagnan dan dianggap mundur.

"Ya sedang sepi dunia sastra," katanya.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya