Cerita Korban Aksi Terorisme soal Minimnya Uluran Pemerintah

Direktur Eksekutif AIDA, Hasibullah Satrawi (kedua kiri).
Sumber :
  • VIVA.co.id/Putra Nasution

VIVA.co.id – Korban aksi terorisme yang terjadi di sejumlah daerah Tanah Air buka suara soal minimnya uluran tangan pemerintah. Muliyono dan Sari bersedia bercerita mengenai pahit getirnya memulihkan luka, baik fisik maupun mental, akibat aksi tak bermoral tersebut.

UU Terorisme Disahkan, Aparat Diminta Lebih Akuntabel

Keduanya membenarkan kalau hak-hak kompensasi belum diberikan berdasarkan asas keadilan. Muliyono misalnya. Ia adalah korban pengeboman di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, pada 9 September 2004 silam.

"Saya sudah berobat ke Singapura dan Australia. Biaya pengobatan yang dikeluarkan hampir Rp2 miliar. Tapi semua itu dibiayai oleh perusahaan tempat saya bekerja dan juga pemerintah Australia," ungkap Muliyono, di Medan, Sumatera Utara, Minggu sore, 12 Februari 2017.

UU Antiterorisme yang Baru Lebih Detail Atur Hak Korban

Ia mengalami luka di bagian dagu yang hancur terkena serpihan material bom dan harus menjalani operasi beberapa kali. Meski begitu, Muliyono mengaku mendapat bantuan kompensasi dari pemerintah. "Ya Alhamdullilah. Saya mendapatkan bantuan dari Kementerian Sosial Rp5 juta," kata Muliyono.

Hal senada juga diungkapkan Sari. Ia adalah korban pengemboman Hotel JW Marriot, Jakarta Selatan. "Saya hanya mendapatkan bantuan dari pemerintah Rp3 juta saja. Itu belum maksimal dengan penderitaan yang saya alami," ungkap dia.

Aturan Tambahan dalam UU Antiterorisme yang Baru

Menurutnya, hingga saat ini harus terus minum obat satu hari enam tablet untuk menyembuhkan penyakitnya. Direktur Eksekutif Aliansi Indonesia Damai, Hasibullah Satrawi, meminta pemerintah untuk merevisi Undang Undang Antiterorisme.

Ia menilai selama ini UU tersebut hanya bersifat percegahan dan penindakan. Namun, tidak ada secara jelas mengenai penanganan untuk para korban aksi terorisme. "Dari pengalaman dan mendengar keterangan para korban. Ada tiga hal yang ingin kami sampaikan," kata Satrawi.

Pertama, mendesak seluruh fraksi di DPR RI dan pemerintah untuk memasukan hak-hak kompensasi korban terorisme. Kedua, lanjut Satrawi, pihaknya mendesak agar ketentuan kompesansi tidak melalui pengadilan.

Tetapi melalui asessmen dari lembaga terkait. Ketiga, meminta negara ada jaminan medis seluruh pengobatan terhadap korban aksi terorisme. (ase)

Ketua Setara Institute, Hendardi, di Jakarta.

UU Antiterorisme Disahkan, Polisi Tak Bisa Lagi Cari Alasan

Semua wewenang kepolisian diatur dalam UU tersebut.

img_title
VIVA.co.id
26 Mei 2018