Pengacara Beber Fakta Hukum Seputar Kasus Miryam

Tim Kuasa Hukum Miryam S Haryani gelar konferensi pers, Kamis, 27 April 2017.
Sumber :
  • VIVA.co.id/ Linda Hasibuan.

VIVA.co.id - Tim pengacara politikus Partai Hanura, Miryam S. Haryani, menggelar konferensi pers, menyusul langkah Komisi Pemberantasan Korupsi yang menetapkan kliennya itu sebagai buronan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis 27 April 2017.

Jaksa KPK: Novanto Cs Tekan Miryam Haryani Cabut BAP

Mereka, kemudian memaparkan sejumlah fakta hukum pada perkara Kartu Tanda Penduduk Elektronik, atau e-KTP.

Salah satu anggota tim, Patriani P. Mulia menuturkan bahwa Miryam telah memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, pada 23 Maret 2017.

Victor Laiskodat dan Miryam Haryani Tak Lagi Anggota DPR

Dalam persidangan tersebut, Miryam menarik keterangan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP) penyidik KPK atas dirinya karena merasa dalam tekanan pada saat proses pengambilan keterangan saksi tersebut.

Kemudian, pada 30 Maret 2017, Miryam kembali memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan kedua terdakwa kasus e-KTP tersebut. Ketika itu, dia dikonfrontasi dengan penyidik KPK yang mengambil BAP pada saat proses penyidikan.

KPK Eksekusi Miryam ke Lapas Pondok Bambu

Menurut Patriani, sidang tersebut mengungkapkan bahwa kliennya mengalami tekanan pada saat pengambilan keterangan saksi oleh penyidik KPK. Bentuk-bentuk tekanan itu antara lain:

Pertama, adanya kehadiran penyidik lain selain daripada penyidik KPK yang ditugaskan secara resmi untuk mengambil keterangan klien kami sebagai saksi.

Kedua, adanya bentuk kata-kata intimidasi berupa, "Ibu seharusnya sudah kami tangkap sejak tahun 2010", yang tidak dijelaskan alasan, atau latar belakang pernyataan tersebut.  

Ketiga, adanya bentuk kata-kata intimidasi berupa, "Jangankan ibu, Bambang Soesatyo dan Aziz Syamsudin pun mencrat mencret waktu kami periksa."

Keempat, adanya kegiatan makan duren oleh penyidik KPK yang memeriksa, sehingga membuat Miryam mual, pusing, dan muntah-muntah.

"Bahwa fakta-fakta tersebut di atas diakui oleh penyidik KPK dalam persidangan terbuka umum," kata Patriani.

Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum KPK mengajukan permohonan kepada Majelis Hakim untuk mendakwa Miryam atas tuduhan memberikan keterangan, atau keterangan tidak benar sebagaimana dimaksud dalam pasal 174 KUHP. Namun, permohonan tersebut secara tegas ditolak.

"Bahwa klien kami tetap berstatus sebagai saksi atas terdakwa Irman dan Sugiharto dalam kaitannya dengan proyek KTP Elektronik, dan dengan demikian, klien kami bukanlah tersangka dalam proyek KTP Elektronik tersebut," kata Patriani.

Patriani mengakui, Miryam akhirnya ditetapkan sebagai tersangka. Namun, dia mengingatkan bahwa kasusnya adalah dugaan memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan terdakwa Irman dan Sugiharto, yang didasarkan pada Pasal 22 jo 35 UU Tipikor. Atas tuduhan itu, tim kuasa hukum sudah mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Proses hukum proyek KTP elektronik tidaklah sama dengan proses hukum yang tengah ditempuh klien kami, sehingga sekali lagi kami tegaskan bahwa klien kami berstatus sebagai saksi dan bukan tersangka pada perkara proyek KTP elektronik," ujar Patriani.

Patriani keberatan atas penetapan Miryam sebagai tersangka karena tindakan itu justru melanggar ketentuan hukum yang berlaku sebagaimana yang mereka tuangkan secara lengkap dalam Gugatan Praperadilan Nomor 47/Pid.Prap/2017/PN.Jak.Sel yang didaftarkan pada Kepaniteraan Negeri Jakarta Selatan.

"Perlu kami ingatkan bahwa status tersangka atas klien kami tersebut didasarkan keterangan klien kami dalam proses hukum terdakwa lrman dan Sugiharto yang belum selesai dan belum diputus. Sehingga, tolak ukur kebenaran tuduhan tidak benarnya keterangan klien kami merupakan asumsi belaka yang turut mengesampingkan asas praduga tak bersalah sebagai prinsip hukum dasar dalam setiap negara hukum," kata Patriani.

Selain alasan tersebut, Patriani juga berpandangan penetapan status tersangka telah melanggar aturan hukum lainnya yang akan terungkap pada proses persidangan praperadilan terkait. "Walaupun kami keberatan atas alasan penetapan status tersangka klien kami, tetapi klien kami tetap berkomitmen untuk menghargai proses hukum yang ada," tutur Patriani.

Pemeriksaan sebagai tersangka

Patriani juga membahas soal proses pemeriksaan Miryam sebagai tersangka atas dugaan memberikan keterangan tidak benar. Dia menuturkan jadwal panggilan pertama sesuai KPK No.Spgl-2339/23/o4/2017 tertanggal 10 April 2017 yakni pada 13 April 2017 yang bertepatan dengan ibadah hari Paskah, hari keagamaan yang dijalankan oleh Miryam sebagai umat Kristiani. Dia mengklaim posisi itu sudah dikomunikasikan secara tertulis kepada KPK.

"Bahwa berdasarkan hal tersebut di atas, kami memohon toleransi beragama agar klien kami diperbolehkan untuk menjalankan ibadah berdasarkan kepercayaannya," kata dia.

Kemudian, atas panggilan kedua yang ditentukan pada hari Selasa, 18 April 2017, Patriani mengatakan, Miryam dalam kondisi sakit sebagaimana dibuktikan oleh Surat Keterangan Sakit yang juga telah disampaikan kepada KPK.

Selain itu, demi menjamin kepastian hukum, dia juga memohon kepada KPK untuk menghormati proses hukum Praperadilan Nomor 47/Pid.Prap/2017/PN.Jaksel yang sedang berjalan dengan tidak melakukan upaya paksa dalam bentuk apapun kepada Miryam sampai proses praperadilan ini menghasilkan putusan tetap.

Dia berpendapat, selama proses praperadilan berlangsung, Miryam berhak secara hukum untuk tidak memberikan keterangan apapun kepada penyidik KPK terkait penetapannya sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana memberikan keterangan yang dituduhkan padanya. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya