MUI: Sekolah 8 Jam per Hari Bikin Madrasah Gulung Tikar

Wakil Ketua Umum MUI Zainut Tauhid Sa'adi
Sumber :
  • Antara

VIVA.co.id - Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, yang memberlakukan waktu belajar 8 jam perhari dan libur Sabtu-Minggu mendapat kritikan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wakil Ketua Umum Zainut Tauhid mengatakan, kebijakan Mendikbud itu berpengaruh besar pada sekolah dinayah yang dikelola secara swadaya oleh masyarakat.

Selama ini, kata Zainut, sekolah seperti madrasah dinayah maupun pesantren, biasanya memulai pelajaran saat sekolah umum baik SD, SMP dan SMA, selesai.

"Dengan diberlakukannya pendidikan selama delapan jam sehari dapat dipastikan pendidikan dengan model madrasah ini akan gulung tikar. Padahal, keberadaannya masih sangat penting dan dibutuhkan oleh masyarakat," kata Zainut, dalam siaran persnya, Minggu 11 Juni 2017.

Padahal model sekolah seperti ini, kata dia, sudah berlangsung lama. Bahkan kontribusinya bagi pembangunan karakter dan moral keagamaan, sangat besar.

Zainut tidak bisa membayangkan, berapa jumlah sekolah yang menerapkan model seperti ini akan tutup. Padahal dikelola secara mandiri dan sukarela oleh masyarakat itu sendiri.

"Berapa jumlah pengajar yang selama ini mendidik anak siswa dengan ikhlas tanpa pamrih akan kehilangan ladang pengabdiannya. Hal ini sangat menyedihkan dan akan menjadi sebuah catatan kelam bagi dunia pendidikan Islam di negeri yang berdasarkan Pancasila," katanya.

Dia mengakui, dengan penambahan menjadi 8 jam sehari, bisa menambah penguatan pendidikan karakter dari para murid. Namun tidak bisa diberlakukan untuk semua sekolah.

Zainut mengusulkan, kebijakan itu tidak diberlakukan kepada seluruh sekolah. Ada kriteria tertentu pada sekolah yang bisa menerapkan itu.

Murid Terpapar COVID-19, 15 Sekolah di Palu Tutup

"Apakah semua sekolah memiliki sarana pendukung untuk terciptanya sebuah proses pendidikan yang baik? Seperti sarana untuk ibadah, olahraga, laboratorium, tempat bermain dan istirahat yang nyaman bagi pelajar, serta kantin yang sehat dan layak. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah tersedianya jumlah pengajar yang cukup," katanya.

Namun apabila fasilitas-fasilitas itu tidak bisa terpenuhi, dia juga tidak yakin kebijakan Mendikbud Muhadjir itu bisa berjalan baik.

Pelajar Ngaku Tawuran di Flyover Pesing Buat Rayakan Ultah Sekolah

"Justru yang terjadi adalah anak didik akan menjadi jemu dan stres," lanjutnya.

MUI lebih sepakat kalau kebijakan itu hanya untuk sekolah tertentu. Dengan kriteria yang bisa memenuhi standar serta dilakukan secara bertahap, tidak massif sekaligus.

Intip Program Edukasi Lingkungan, Menuju Sekolah #KerenTanpaNyampah

"Misalnya hanya diberlakukan bagi sekolah yang sudah memiliki sarana pendukung yang memadai. Sedangkan  bagi sekolah yang belum memiliki sarana pendukung tidak atau belum diwajibkan. Serta kebijakan tersebut tidak diberlakukan untuk semua daerah dengan tujuan untuk menghormati nilai-nilai kearifan lokal," kata Zainut.

Maka dari itu, pemerintah daerah juga dilibatkan dalam kebijakan ini. Pemerintah pusat, juga bisa menghargai kearifan lokal masing-masing daerah.

"Jadi daerah diberikan opsi untuk mengikuti program pendidikan dari pemerintah, juga diberikan hak untuk menyelenggarakan pendidikan sebagaimana yang selama ini sudah berjalan di masyarakat," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya