Munculnya Partai Oposisi di Era Reformasi

Dua siswa Sekolah Menangah Atas memperhatikan gambar partai politik peserta pemilu 2019 di Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jawa Barat, Bandung
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

VIVAnews - Presiden Joko Widodo berhasil memenangkan kontestasi pemilihan presiden 2019. Dengan demikian, mantan Gubernur DKI Jakarta itu bakal berkuasa untuk periode kedua.

Di Rakernas, PDIP Siapkan Langkah Strategis Pasca Pemilu 2024

Salah satu hal yang paling disorot usai Jokowi memenangkan kompetisi yang berjalan keras itu adalah siapa nantinya yang menjadi oposisi di masa kekuasaan Jokowi yang kedua. Sebab, Gerindra, sebagai partai utama pengusung Prabowo Subianto, kompetitor Jokowi dalam pilpres, tengah diisukan bakal masuk ke koalisi pemerintah.

Sebelumnya, dua partai pendukung Prabowo, yaitu Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional, malah lebih dulu aktif membangun komunikasi dengan Jokowi. Sejumlah tokoh elite mereka juga menyatakan siap jika dipercaya menjadi menteri di kabinet Jokowi yang baru nanti.

PDIP Ingin Lanjutkan Kerja Sama dengan PPP dan Hanura di Pilkada 2024

Saat ini, praktis tinggal PKS saja yang kemungkinan besar akan menjadi satu-satunya partai oposisi. Dari sisi jumlah kursi di parlemen, jelas PKS tidak sepadan menghadapi kekuatan dari koalisi pendukung Jokowi-Ma'ruf Amin.

Tapi, dari sisi peran, dan investasi politik, sikap oposisi memiliki potensi tersendiri di masa depan. Hal itu mengaca pada sejarah perjalanan demokrasi dan politik di tanah air khususnya pasca reformasi 1998.

Kapan Megawati dan Prabowo Subianto Bertemu? Hanya Puan dan Hasto yang Tahu

Seperti diketahui bersama, reformasi 1998 mengubah jalannya perhelatan demokrasi dan kehidupan politik di Indonesia. Kebebasan yang dulunya dibungkam pada masa Orde Baru menjadi terbuka. Perubahan itu lantas berdampak pada sistem politik atau pemilu.

Demo peringatan reformasi di depan gedung DPRD Riau, Selasa, 21 Mei 2019.

Setelah masih melaksanakan pemilu presiden secara tidak langsung selama kurang lebih lima tahun pasca reformasi, Indonesia untuk pertama menerapkan pilpres langsung pada 2004.

Jelang digelarnya pesta demokrasi akbar itu, muncul konflik antara Megawati Soekarnoputri yang waktu itu menjadi presiden dengan menterinya, Susilo Bambang Yudhoyono, yang menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Mega merasa tidak senang atas sikap tidak terus terang SBY saat dia ditanya mengenai keinginan maju sebagai calon presiden dalam Pilpres 2004. SBY selalu membantah dan mengatakan bahwa dia tengah fokus pada tugasnya sebagai menteri.

Konflik tersebut terus meruncing. Mega mulai mengucilkan SBY dalam rapat-rapat kabinet. Sampai pada akhirnya, SBY mengundurkan diri dari kabinet Mega. Suami Mega, almarhum Taufik Kiemas juga terlibat dalam konflik itu dengan menyebut SBY sebagai jenderal tapi berkelakuan seperti anak kecil.

Pada prosesnya, SBY kemudian maju sebagai capres, berpasangan dengan tokoh Golkar, Jusuf Kalla. Sedangkan Mega menggandeng Ketua PBNU, Hasyim Muzadi.

Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri (kanan) bersama Habibie dan SBY

Dua pasangan capres-cawapres itu rupanya terlalu tangguh bagi pasangan-pasangan lainnya seperti Wiranto-Salahuddin Wahid, Amien Rais-Siswono Yudo Husodo, dan Hamzah Haz-Agum Gumelar. Keduanya maju ke putaran kedua.

Tapi pada akhirnya, SBY-Jusuf Kalla-lah yang keluar sebagai pemenang dengan raihan suara sebanyak 60,62 persen. Sedangkan Mega-Hasyim, hanya 39,38 persen.

Jalan PDIP

Sejak saat itu, dimulailah era baru dalam sejarah demokrasi di Indonesia, khususnya pada masa reformasi. Megawati yang kalah lantas membawa partainya, PDIP, ke jalan oposisi di parlemen.

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, menyatakan pilihan menjadi oposisi saat itu merupakan suatu keputusan, sikap politik untuk berada di luar.

"Ini kan soal sikap, bahwa tawaran itu bisa saja datang dari mana-mana. Ketika kita punya sikap politik ya itu lah sikap PDI Perjuangan," kata Andreas kepada VIVAnews, baru-baru ini.

sorot pdip

Pada mulanya, PDIP menjadi oposisi di lima tahun pertama periode kekuasaan SBY. Tapi, takdir rupanya mengharuskan mereka ada di luar pemerintahan di lima tahun kedua, atau total 10 tahun.

Selama itu, PDIP cukup menderita, mendapat banyak kerugian secara politik, tapi tetap mampu bertahan. Misalnya saja, pada pemilu 2009, atau setelah lima tahun pertama menjadi oposisi, di pemilihan legislatif, perolehan kursi mereka di DPR sebanyak 95, atau turun bila dibandingkan dengan Pileg 2004 sebesar 109 kursi.

Pada masa ini, PDIP menjadi partai nomor tiga di DPR. Mereka ada di bawah Partai Demokrat (150 kursi), dan Partai Golkar (107 kursi).

Untuk pemilihan presiden, mereka juga terkapar. Pasangan yang mereka usung, Megawati-Prabowo, juga kalah telak dari SBY yang berpasangan dengan Boediono.

Mega-Prabowo mendapat suara sebesar 26,79 persen. Sedangkan SBY-Boediono 60,8 persen.

Selain itu, setiap ada kebijakan dari pemerintah yang mereka tolak di DPR, selalu tidak bisa mereka bendung misalnya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Sebabnya, kekuatan mereka kalah jauh dibandingkan SBY dengan Partai Demokratnya yang menggalang koalisi bersama Golkar, PPP, PKS, PKB, juga PAN.

Tapi menurut Andreas, sikap menjadi oposisi bukan soal untung dan rugi. Dia menegaskan bahwa itu adalah soal sikap yang mereka mengambil, posisi di dalam politik.

"Kalau kita lihat apa yang keputusan politik dibuat ibu ketua umum untuk PDI Perjuangan berada di luar, itu juga pembelajaran politik yang baik bagi PDIP dan masyarakat tentunya. Berada di luar pemerintahan dan di dalam pemerintahan sama terhormatnya. Karena toh kita bicara sebagai bangsa," kata dia lagi.

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri saat beroarasi di Jambore Kader Komunitas Juang PDI Perjuangan Jawa Tengah di GOR Sasana Krida Raga Satria, Banyumas, Minggu, 10 Februari 2019.

Meski tidak bisa menandingi kekuatan penguasa ketika itu, PDIP membuat demokrasi di Indonesia berjalan tidak monoton. Dengan segala kekurangan dan keterbatasan, mereka mengisi ruang sebagai partai oposisi yang berani galak terhadap pemerintah.

Selain itu, mereka memulai tradisi bahwa pihak yang kalah di dalam pilpres, kemudian secara tegas mengambil jalan oposisi. Tidak loncat ke kubu mereka yang berkuasa.

Analis Politik dan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melihat bertahannya PDIP saat menjadi oposisi karena mesin partai tumbuh secara merata. Kedua, kekuatan soliditas di antara pengurus. Dan yang ketiga adalah mereka punya tokoh, sosok, figur yang pada waktunya, masa itu moncer, mengalami masa keemasan.

Ke depan, Pangi menilai oposisi adalah sebuah keniscayaan meskipun dalam sistem presidensial murni tidak mengenal oposisi dan koalisi. Tapi dalam konteks keseimbangan demokrasi, sebaiknya partai pemenang otomatis menjadi pemerintah dan yang kalah otomatis menjadi oposisi.

Debat Kelima Capres-Cawapres 2019 beberapa waktu lalu (Foto ilustrasi)

Tapi, fakta yang terjadi, sistem politik yang digunakan di Indonesia adalah multipartai. Karena itu, masih memungkinkan terjadi lobi-lobi, negoisasi, kompromi yang membuat situasi bergeser di tengah jalan.

Apalagi, lanjutnya, koalisi yang dibangun partai-partai politik itu tidak berbasis kepada ideologi atau kesamaan basis kebijakan. Sebaliknya, ideologi koalisi itu pragmatis dan transasksional.

"Maka tidak ada yang permanen," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya