Logo ABC

Absennya Oposisi atas Pemerintahan Jokowi Tak Jamin Stabilitas Politik

Presiden Indonesia Joko Widodo saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Presiden Indonesia Joko Widodo saat bertemu dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
Sumber :
  • abc

Pertemuan Presiden Indonesia Joko Widodo dengan Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, dan Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akhir pekan lalu banyak diartikan publik sebagai merapatnya kedua partai ke kubu koalisi Pemerintah.

Jika hal itu benar terjadi maka Pemerintahan Jokowi tak akan memiliki oposisi yang signifikan, kondisi yang belum tentu menjamin stabilitas politik, kata pengamat.

Masalahnya, masyarakat Indonesia juga kurang sepakat jika kubu Prabowo berkoalisi dengan Pemerintahan Jokowi.

"Data survei menunjukkan bahwa ketika menyikapi agresivitas Prabowo yang terlihat ingin berkoalisi dengan Joko Widodo, hanya 32,5 persen masyarakat yang setuju," ungkap Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, dalam peluncuran hasil survei terbaru di Jakarta Selatan (17/10/2019).

Sementara pihak yang tidak sepakat justru lebih besar yakni mencapai 40,5 persen, kata Adi.

Survei Parameter menyebut mayoritas dari 1000 responden, yang mereka wawancarai langsung selama periode 5-12 Oktober 2019, menghendaki Gerindra tetap berada di luar koalisi Pemerintah.

"Mayoritas responden memang tak mau Prabowo menjadi bagian dari Pemerintahan Jokowi. Mereka menginginkan Prabowo harus tetap berada di luar kekuasaan sebagai oposisi," kata Adi.

Absennya oposisi yang signifikan terhadap Pemerintah Indonesia 5 tahun ke depan, dianggap sebagian masyarakat, berpotensi membawa dampak negatif.

Irma Fauzi, warga Lombok -Nusa Tenggara Barat, mengatakan kehadiran oposisi dalam negara demokrasi sangatlah penting.