HNW Tolak Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Melalui Dekrit

Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid
Sumber :
  • DPR

VIVA Politik - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, Hidayat Nur Wahid, mengkritik dan menolak wacana usulan perpanjangan/penambahan masa jabatan Presiden Jokowi melalui dekrit, yang dilayangkan oleh salah seorang pimpinan Dewan Perwakilan Daerah. Alasannya karena wacana itu tidak sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku yaitu UUD 1945 terkait dengan ketentuan soal terkait perubahan UUD dan ketentuan UUD terkait masa jabatan presiden dan pilpres per lima tahun sekali.

Prabowo Pastikan Tak Ada Waktu Terbuang Sia-sia selama Masa Transisi Pemerintahan

Indonesia Negara Hukum

Selain itu, menurutnya, usulan soal dekrit itu juga bisa mengarahkan Indonesia menjadi negara kekuasaan, bukan negara hukum. Hal yang juga tidak sesuai dengan ketentuan baru UUD 1945 yang menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

Tidak Akan Ada Guncangan Politik dalam Transisi Jokowi kepada Prabowo, Menurut PAN

Hidayat Nur Wahid di Senayan, Jakarta

Photo :
  • VIVA/Eduward Ambarita

“Melalui amandemen UUD 45, sudah diputuskan, Indonesia ini disepakati ditetapkan bersama sebagai negara hukum (rechtstaat), bukan negara kekuasaan (machstaat). Itulah ketentuan baru yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945," kata Hidayat melalui siaran persnya, Kamis, 24 November 2022.

Kata Prabowo Keberlanjutan Tetap Butuh Perbaikan

Tidak Bisa Dibenarkan

Oleh karena itu, lanjut dia, apabila ada yang mewacanakan mengubah UUD 1945 termasuk perpanjangan masa jabatan presiden, pengunduran pilpres, tetapi dengan mekanisme yang tidak sesuai dengan ketentuan konstitusi yang berlaku, sebagaimana sudah diatur dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD 1945, dia menilai hal itu merupakan wacana yang tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditindaklanjuti, karena tidak memenuhi aturan konstitusi yang berlaku.

Junjung Tinggi Supremasi Hukum

HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa sesuai tuntutan reformasi, maka sudah disepakati amandemen UUD 1945, di antaranya selain ketentuan mekanisme perubahan terhadap UUD, termasuk masa jabatan presiden, MPR sebagai lembaga tertinggi negara waktu itu, sudah melaksanakan kewenangan konstitusional dan tuntutan reformasi dengan menyepakati ketentuan baru bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Hal tersebut secara jelas dan definitif disebutkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

“Dan salah satu ciri negara hukum adalah menjunjung tinggi supremasi hukum, termasuk ketentuan UUD. Itu yang harusnya dilaksanakan, dipegang bersama, dan para pimpinan lembaga negara yang mestinya menjadi negarawan, harusnya berada di garda terdepan, menjadi teladan bagi rakyat,” ujarnya.

Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid di kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis, 14 Februari 2019.

Photo :
  • VIVA/Anwar Sadat

Keputusan Presiden Tak Bisa Ubah Ketentuan UUD 1945

Karenanya, HNW sangat menyayangkan adanya wacana mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden dengan mendorong Presiden Jokowi membuat dekrit. Karena “dekrit” itu secara legal adalah jenis keputusan presiden, dan itu bukan ketentuan UUD. Bila mengacu kepada konsep negara hukum yang berlaku saat ini di Indonesia, keputusan presiden tidak bisa mengubah ketentuan-ketentuan atau ayat-ayat yang ada dalam UUD 1945.

“Pasal 3 ayat (1) UUD NRI 1945 secara tegas menyebut bahwa perubahan UUD NRI 1945 itu merupakan kewenangan MPR, bukan Presiden. Mekanismenya pun diatur dengan jelas dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2) UUD NRI 1945, juga tidak dengan wacana bernama dekrit yang tidak ada di dalam ketentuan UUD,” ujar Wakil Ketua Majelis Syuro Partai Keadilan Sejahtera ini.

Jangan Disamakan dengan Dekrit Presiden Soekarno

HNW mengingatkan agar wacana perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi melalui dekrit ini tidak disamakan dengan dekrit mengembalikan UUD 1945 oleh Presiden Soekarno pada 5 Juli 1959.

“Kondisi politik dan aturan hukum yang berlaku sangatlah berbeda. Dahulu, ada kondisi deadlock politik konstitusional, sekarang tidak ada. Dulu tidak ada aturan konstitusi yang menyebut dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, sekarang ketentuan sebagai negara hukum itu dinyatakan dengan tegas di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945,” katanya.

Oleh karenanya, lanjut HNW, dengan kondisi konstitusional dan politik yang berbeda itu, dan apalagi pasca amandemen UUD 1945, upaya untuk mengulang model “dekrit” presiden tersebut tidak berhasil dilakukan. Misalnya, seperti maklumat atau dekrit Presiden Gus Dur yang membubarkan DPR.

“Maklumat atau ‘dekrit’ tersebut tidak bisa dijalankan, malah berdampak negatif terhadap Presiden Gus Dur dan kelanjutan kekuasaannya,” ujarnya.

Tak Sesuai dengan Sikap Jokowi

HNW juga menuturkan bahwa wacana perpanjangan masa jabatan apalagi dengan dekrit tersebut juga tidak sesuai dengan sikap Presiden Joko Widodo yang sudah menegaskan di depan para relawannya agar tidak ada lagi yang membahas perpanjangan masa jabatan presiden. Bahkan, Presiden Jokowi pernah menyebutkan bahwa yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden ada kemungkinan untuk menjerumuskannya, selain mencari muka atau bahkan menampar wajah presiden.

Maka wajar bila dalam acara pembukaan Munas HIPMI di Solo kemarin, presiden yang sudah menyebut adanya calon presiden dan calon wakil presiden, dan tidak merespons positif usulan untuk mengeluarkan dekrit demi perpanjangan masa jabatannya.

“Semestinya semua pihak, apalagi yang mengaku sebagai negarawan, mengikuti aturan konstitusi dan arahan Presiden Jokowi, tegak lurus dengan Konstitusi,  agar menjaga kondisi politik tetap kondusif, dengan tidak bermanuver yang bisa menimbulkan kondisi yang memanas dan membuat resah masyarakat, karena tidak dilaksanakannya ketentuan konstitusi,” tuturnya.

Fokus Bantu KPU-Bawaslu Selenggarakan Pemilu 2024

“Semua pihak mestinya fokus bantu KPU dan Bawaslu mempersiapkan sukses Pemilu 2024, apalagi UU tentang Pemilu yang menetapkan Pemilu (termasuk Pemilihan Presiden) tetap tanggal 14 Februari 2024, sudah disepakati oleh Pemerintah, DPR, DPD, KPU dan Bawaslu," lanjut Hidayat.

Bahkan, tambah dia, tahapan menuju pemilu sudah makin berjalan. Partai-partai peserta pemilu juga sudah diverifikasi administrasi dan faktual oleh KPU. Beberapa partai juga sudah umumkan bacapres dan/atau koalisinya untuk Pilpres 2024.

"Fokus sukseskan pemilu termasuk Pilpres 2024, lebih konstruktif, konstitusional, dan sesuai harapan rakyat dan Presiden Jokowi,” katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya