Produksi Hoaks Berbasis AI Meningkat Jelang Pemilu 2024, KPU-Bawaslu Perlu Bentuk Satgas

Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Sumber :
  • Dok. Istimewa

Jakarta - Sekretaris Jenderal Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Mahfuz Sidik mengusulkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk menginisiasi pembentukan Satuan Gugus Tugas Khusus Keamanan Informasi Pemilu 2024.

Prabowo Tetap Dikawal Satgas Pengamanan Capres Polri hingga H-30 Pelantikan

"Tampaknya penyelenggara pemilu dalam hal ini, KPU dan Bawaslu perlu menginisiasi terbentuknya satu gugus khusus, yaitu Gugus Tugas Keamanan Informasi Pemilu," kata Mahfuz dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, 3 November 2023.

Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga keamanan informasi pemilu dari serangan siber terhadap penyelenggaraan Pemilu 2024.

DPR Segera Panggil KPU, Bahas Evaluasi Pemilu hingga Dugaan Asusila Hasyim Asy'ari

Ilustrasi logo parpol peserta Pemilu 2024.

Photo :
  • Dok. VIVA

Menurutnya, gugus tugas ini nantinya bisa melibatkan Dewan Pers, KPI, BSSN, Polri, dan pihak terkait lainnya untuk melakukan patroli siber dalam rangka melakukan penegakan hukum terhadap disinformasi Pemilu 2024.

Isu Partai Rival Gabung Dukung Prabowo, Sangap Surbakti Khawatir Bisa Jadi Duri dalam Daging

Mahfuz pun khawatir dengan adanya hoaks yang akan menjadi gangguan besar pada Pemilu 2024.

Ia menegaskan gugus tugas tersebut diperlukan mengingat regulasi Indonesia yang mengatur dunia digital saat ini sudah tertinggal sepuluh tahun.

"Dunia digital ini sudah berjalan di tengah-tengah kita dan merangsek ke semua aspek kehidupan termasuk dalam kehidupan politik dalam sepuluh tahun terakhir secara sangat progresif," ujarnya.

Ilustrasi menonton siaran tv digital.

Photo :
  • Pixabay/mohamed_hassan

Regulasi tertinggal sepuluh tahun

Mantan ketua Komisi I DPR ini menilai bahwa regulasi penyiaran Indonesia tidak mampu menjangkau penyebaran-penyebaran hoaks yang dilakukan oleh televisi berbasis internet.

"Sekarang ini banyak TV-TV yang platformnya internet. Ketika dia menyebarkan hoaks, siapa stakeholder atau pemangku kepentingan yang bisa menegakkan regulasi, apakah Dewan Pers atau KPI, kan enggak ada sekarang," ucap Mahfuz.

Akibat regulasi penyiaran yang tertinggal sepuluh tahun itu, sambung Mahfuz, membuat banyaknya sampah-sampah digital, yang bisa "digoreng" menjadi isu hoaks dan ujaran kebencian menjelang pelaksanaan Pemilu 2024.

Dengan banyak hoaks dan ujaran kebencian bertebaran di dunia maya, menurut Mahfuz, KPU dan Bawaslu selaku penyelenggara akan kesulitan untuk melaksanakan pesta demokrasi ini secara riang gembira.

Pengguna jalan melintasi papan hitung mundur elektronik Pemilu 2019 di kantor Bawaslu, Jakarta, Kamis, 21 Februari 2019.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay

"Apalagi kalau lihat diksi tentang pemilu sekarang yang telah bergeser dari pesta menjadi kompetisi atau kontestasi. Jadi dua kata diksi ini, yang selalu akrab di telinga kita saat ini," ujarnya.

Sehingga ketika kata diksi kompetisi dan kontestasi itu menjadi persepsi besar tentang pemilu maka faktor yang akan menentukan adalah seberapa kuat dan kerasnya kompetisi dan kontestasi itu akan berlangsung di lapangan.

Pertarungan antara Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo merupakan satu kompetisi atau kontestasi power struggle.

Perang di dunia digital pada November

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila ada peningkatan jumlah hoaks selama periode Januari hingga Oktober 2023, seperti dilaporkan Kementerian Kominfo dan Mabes Polri.

Ilustrasi Hoaks.

Photo :

"Saya prediksi pertarungan siber melalui hoaks, ujaran kebencian, akan terjadi lompatan yang sangat tajam dalam perang di dunia digital pada bulan November ini. Saya kira di sinilah pentingnya kita memahami, menyadari dan memitigasi, karena apa konsekuensi, risiko atau cost yang harus kita bayar secara secara kolektif bisa seperti Pemilu 2019, yakni pembelahan sosial dan polarisasi," katanya.

Jika melihat tren kenaikan hoaks dan ujaran kebencian saat ini, ada beberapa hal yang melatarbelakangi, antara lain adanya pemilih di kalangan generasi Z dan milenial yang mencapai 55 persen lebih, yang sehari-hari tidak bisa lepas media sosial atau gadget.

Sementara mereka menjadi target bidikan suara dari para calon presiden, calon wakil presiden, calon legislatif dan partai politik, serta para tim sukses. Mereka akan disuguhi disinformasi melalui media sosial mengenai power struggle, pertarungan yang keras untuk menggaet pemilih yang 50 persen dari generasi Z dan milenial.

AI untuk memproduksi hoaks

Ia melihat penyedia jasa hoaks dan ujaran kebencian menjelang Pemilu 2024 akan hidup lagi, meskipun mereka telah pecah kongsi.

"Kita perlu hati-hati menyikapi hal ini, karena mulai ada narasi yang dikembangkan mengenai potensi kecurangan, terlepas dari situasi dan kontroversi proses politik sekarang. Ini akan menjadi opini umum, akan menjadi bumbu yang paling sedap untuk proses disinformasi di dunia digital," tuturnya.

Ia mengingatkan disinformasi digital saat ini telah melibatkan kemajuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seperti yang terjadi beberapa waktu lalu, ketika ada informasi tiba-tiba Presiden Jokowi mahir berbahasa Mandarin.

Artinya, penggunaan AI untuk memproduksi hoaks dan ujaran kebencian akan meningkat menjelang Pemilu 2024. Inilah yang membedakan antara Pemilu 2024 dengan Pemilu 2019.

"Jadi, dari sisi produk yang dihasilkan sudah menggunakan AI. Produknya akan banyak menggunakan produk audio visual atau video yang mulai disebarkan di media sosial untuk merangsang, menstimulasi emosional masyarakat. Kita perlu memitigasi dan mewaspadai bersama, jangan mengambil keuntungan dari situasi ini. Ingat pembelahan politik pasca-Pemilu 2019, itu cost yang kita tanggung," kata Mahfuz. (ant)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya