Seluler di Indonesia Dinilai Paling Liberal

Ilustrasi.
Sumber :
  • REUTERS/Benoit Tessier

VIVAnews - Masyarakat Telematika Indonesia menilai jumlah operator seluler yang banyak menyebabkan efisiensi nasional tidak tercapai. Terjadinya perang harga antar-operator pun berdampak ke kualitas seluler di Indonesia.

"Terjadi pemborosan, transmisi pun mahal. Satu BTS saja butuh Rp 1 miliar," kata Executive Chairman Mastel, Garuda Sugardo, saat berdiskusi dengan VIVAnews, 8 Agustus 2012.

"Keadaan ini berdampak ke kualitas, karena ARPU-nya rendah sekali. Apalagi setelah perang harga antar-operator," ujarnya. ARPU atau Average Revenue per User, merupakan rata-rata keuntungan yang didapat operator seluler dari tiap pengguna.

Selain itu, Garuda menilai tidak ada pembatasan terhadap operator seluler di Indonesia. Padahal negara besar seperti Indonesia seharusnya memiliki aturan pembatasan berdasarkan wilayah atau klaster. "Di luar jumlah operator dibatasi. Cina saja cuma ada tiga," ujarnya.

Garuda pun menceritakan, momentum sejarah dalam bisnis operator seluler terjadi di tahun 2000. Ketika itu, dibuat regulasi, Telkom yang semula mengelola lokal boleh internasional. Sebaliknya, Indosat yang tadinya mengelola jalur internasional bisa masuk ke lokal. Keduanya pun kemudian masuk ke bisnis seluler.

Kemudian ini berlanjut di tahun 2004, saat operasional seluler dibebaskan. "Dan menjadikan Indonesia sebagai negara dengan operator yang paling banyak. Lebih liberal dibandingkan negara liberal," ucap Garuda.

Stagnansi Fixedline
 
Secara tidak langsung, banyaknya opeator seluler menyebabkan broadband di Indonesia mengandalkan wireless. Padahal, di luar negeri jaringan yang dikembangkan adalah jaringan wireline atau fixedline.

"Pemerintah beralasan sudah dibangun oleh operator. Padahal saya bilang (broadband) ini yang fixedline. Tapi ini mahal, tidak ada yang mau bangun ini karena lama prosesnya, belum lagi izinnya. Kalau membebankan ke Telkom kasihan," ujar Chairman Mastel, Setyanto P. Santosa.

Setyanto pun mengatakan, saat ini kebanyakan internet yang digunakan di Indonesia adalah wireless mobile. Setidaknya ada 55 juta pengguna internet mobile, yang terus mengalami kenaikan.

Meski begitu, Mastel berharap wireless dan fixedline bisa saling melengkapi. Di negara maju misalnya, 60 persen broadband internet dari fixedline, dan 40 persen menggunakan wireless.

"Jadi begitu Anda sampai rumah, wireless Anda ganti dengan fixed. Wireless perangkat mobile kan di-setting berkecepatan rendah," ucap Setyanto.

Mastel pun mengatakan kemampuan membangun fixedline hanya dimiliki pemerintah. Ide ini pun disebut Setyanto sudah ada di Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). "Duitnya lagi dicari. Membangunnya pakai pola Public Private Partnership," ucapnya.

Film Keajaiban Air Mata Wanita Sajikan Keajaban dan Kehangatan
Mobil All New Agya GR Sport

Bikin Istri dan Pacar Senang, Ini Pilihan Mobil Baru Buat Gaji UMR

Bagi karyawan yang bekerja di Jakarta dengan rata-rata gaji UMR, atau upah minimum regional sebesar Rp5 jutaan, ada beberapa mobil baru yang bisa dibeli dengan kredit....

img_title
VIVA.co.id
11 Mei 2024