- ANTARA FOTO/Ramadian Bachtiar
VIVA – Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Semuel Abrijani Pangerapan, mengaku kewalahan mencari video brutal di dua masjid di Selandia Baru.
Banyak video yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sulit untuk ditemukan. "Ada yang diubah. Jadi enggak bisa terbaca videonya," kata dia di Gedung Kominfo, Jakarta, Rabu, 20 Maret 2019.
Perubahan ini sulit dicari menggunakan machine learning (ML). Teknologi ini diklaim mampu mendeteksi dengan mempelajari suatu konten, namun mengalami kesulitan jika video telah dimodifikasi.
Ia beralasan karena sulit membaca 'DNA' yang ada di dalam video tersebut. "Karena variannya banyak ada yang edit. Jadi DNA-nya enggak kebaca dan butuh waktu lama," klaim Semuel.
Ia pun berharap Facebook tidak hanya mengandalkan pelaporan pengguna, tetapi bisa menggunakan teknologi paling canggih.
Salah satunya memiliki alat monitoring konten negatif. Dengan adanya pelaporan artinya konten sudah menyebar ke pengguna lainnya.
"Kami harap Facebook tidak bergantung pada laporan pengguna saja. Kalau sudah ada laporan berarti konten negatif sudah beredar luas," ungkap Semuel. Berkaitan dengan tragedi Christchurch, ia berencana akan memanggil Facebook Indonesia pekan ini. (ann)