Jangan Ada Kanibalisme di Industri Telekomunikasi

Ilustrasi menara BTS.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Penerapan mekanisme berbagi jaringan atau network sharing di industri telekomunikasi Tanah Air ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi, network sharing dinilai sudah berjalan sangat baik, yaitu pada perangkat telekomunikasi pasif, seperti tower atau menara telekomunkasi, serta ducting atau pembangunan saluran kabel bawah tanah.

Hati-hati, 7 Hewan Kanibal Ini Ternyata Bisa Tewaskan Pasangannya Sendiri

Hal ini tentunya bisa menghemat belanja modal atau capital expenditure (capex). Namun, sisi lain, penerapan network sharing sesama penyelenggara jaringan telekomunikasi masih sulit dilakukan, karena mereka berada pada pasar yang sama, yakni penyewaan jaringan.

"Justru, network sharing antar penyelenggara jaringan berpotensi menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat dan kanibalisme. Sekilas menguntungkan karena tidak perlu investasi. Tapi, berpotensi menimbulkan perebutan pangsa pasar yang sama," kata Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel), Muhammad Arif Angga, Kamis, 18 Juni 2020.

Indonesia Diminta Belajar dari Inggris dan Turki

Kondisi sulitnya network sharing juga dialami penyelenggara seluler. Angga melanjutkan, jika salah satu operator seluler telah melakukan investasi besar-besaran, lalu diminta untuk melakukan berbagi jaringan dan frekuensi di satu wilayah, maka ada potensi pangsa pasar penyelenggara selular tersebut digerus operator yang baru masuk.

Penyelenggara yang baru masuk tentu akan melakukan promosi dan menjual harga yang murah atau bahkan di bawah harga produksi untuk mendapatkan pasar di tempat baru tersebut. Akibatnya akan terjadi persaingan yang tidak sehat dan saling memakan satu sama lain.

Pemimpin Pasar Telekomunikasi Global Dukung Ekonomi Digital Indonesia

"Network sharing itu tidak mudah bagi penyelenggara jaringan dan operator seluler. Kalau dilakukan dengan gegabah akan berpotensi saling membunuh antar penyelenggara jaringan. Operator yang baru masuk di suatu wilayah dengan network sharing akan melakukan perang harga," papar Angga, mengingatkan.

Menara BTS milik XL Axiata.

Berbeda dengan network sharing antara penyelenggara jaringan dengan penyelenggara jasa yang saat ini sudah berjalan dengan baik. Hal ini karena penyelenggara jasa hanya menyewa dari pemilik jaringan dan mereka tidak bersaing secara langsung.

Perang harga antara sesama penyelenggara jaringan akan berujung pada persaingan usaha tidak sehat yang dapat mengancam keberlangsungan industri. Bagaimana penyelenggara jaringan bisa menggelar jaringan dengan agresif kalau bisnisnya sendiri tidak berkelanjutan.

Oleh karena itu, Angga meminta agar pemerintah membuat aturan yang jelas. Sebab, pada Pasal 9 UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi sudah dijelaskan, network sharing hanya diperkenankan antara penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa, bukan antara penyelenggara jaringan.

Jangan hanya karena ingin mengurangi capex justru berakibat pada lesunya pembangunan jaringan telekomunikasi. Bahkan, regulasi yang tidak jelas juga bisa membuat pelaku industri di kemudian hari akan berurusan dengan hukum.

"Tentu ini menjadi tantangan dalam menerapkan network sharing dari aspek regulasi. Untuk itu diperlukan terobosan Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang visioner, di mana network sharing diatur sebagai persiapan untuk menghadapi kebutuhan teknologi masa baru," jelas Angga.

Sementara itu, adanya kebutuhan regulasi network sharing untuk mengantisipasi datangnya teknologi baru juga diamini Direktur Utama XL Axiata, Dian Siswarini.

Ia pun mengajak seluruh operator telekomunikasi untuk bekerja sama mewujudkan penerapan 5G di Tanah Air. "Dengan begitu beban investasi yang sangat besar bisa ditanggung bersama dan masyarakat bisa segera menikmati kualitas internet yang lebih cepat," tutur dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya