Bahaya Laten OTT, Pemerintah Harus Lindungi Operator Telekomunikasi

Facebook, salah satu pelaku usaha OTT.
Sumber :
  • WIRED Middle East

VIVA – Pemerintah diminta untuk tidak melupakan tentang tata kelola yang sehat dalam berbisnis bagi pemain Over The Top (OTT) seiring kencangnya transformasi digital dipicu pandemi COVID-19. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa. Golongan pelaku usaha masuk OTT di antaranya Facebook, Twitter, dan Google.

Vidio: Memimpin Era Baru Streaming Indonesia di Tengah Tantangan Ekonomi Global

OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data, atau menjalankan layanan di mana sebagian besar gratis karena menumpang jaringan bandwidth milik operator telekomunikasi.

Tak ayal, OTT dianggap sebagai bahaya laten bagi para operator telekomunikasi, karena tidak mengeluarkan investasi besat tapi mengeruk keuntungan di atas jaringan milik mereka.

7 Operator Telekomunikasi Bikin Aliansi, Ada Telkomsel

Direktur ICT Institute Heru Sutadi mengingatkan sudah ada Rancangan Peraturan Menteri Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (OTT) era pemerintahan Presiden Joko Widodo periode sebelumnya.

"Sebaiknya dituntaskan. Di masa pandemi COVID-19 seperti sekarang, jasa OTT makin banyak digunakan. Tapi nyaris tidak ada keuntungan yang didapat negara atau pihak penyedia jaringan," kata Heru, Jumat, 7 Agustus 2020.

Kompaknya 4 Operator Telekomunikasi Indonesia

Ia juga menilai Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sudah tak memiliki kendala dalam menetapkan aturan main bagi para OTT, karena dari Kementerian Keuangan sudah menyelesaikan beberapa isu yang menjadi kendala selama ini.

"Kemenkeu telah bergerak maju dengan menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk impor digital. Bahkan, Direktorat Jenderal Pajak telah menunjuk beberapa perusahaan global yang memenuhi kriteria sebagai Pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Masa' Kominfo malah belum punya aturan untuk OTT," ujarnya, seraya mempertanyakan.

Heru tak lupa mengingatkan jika OTT tidak diatur, maka potensi kerugian bagi pelaku usaha lainnya seperti operator telekomunikasi, bahkan negara, akan terus membesar.

"Selama ini operator sudah mengeluh tidak adanya equal playing field dengan OTT terutama bagi pemain yang sudah menawarkan jasa seperti yang dimiliki operator. Saya dengar ada juga OTT yang berani memasukkan komponen peering interconnection untuk layanannya, yang mana itu sudah menunjukkan harusnya ada pembagian hasil dengan operator. Faktanya operator tak dapat apa-apa," ungkap Heru.

Apabila kondisi seperti ini dibiarkan tidak transparan dan berimbang, maka industri telekomunikasi nasional bisa bangkrut karena tak ada sustainabilitas ke depannya.

Pada kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB, Mohammad Ridwan Effendi, mengakui pemerintah harus memimpin penyusunan tata kelola bisnis OTT karena Presiden Joko Widodo sudah mendeklarasikan percepatan transfromasi digital belum lama ini.

"Kominfo harus menuntaskan RPM OTT. Tinggal diperbarui dengan kondisi terkini di mana berpegang pada kedaulatan dan keadilan digital. Saat ini persaingan di pasar operator telekomunikasi sudah cukup ketat. Pemerintah harus berani kasih insentif berupa regulasi yang menguntungkan semua pihak," papar dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya