- youtube
VIVA – Selama ini mungkin kunyit putih tidak banyak diketahui dibandingkan kunyit kuning yang biasa digunakan sebagai bumbu masak.
Curcuma zedoaria atau kunyit putih dalah salah satu jenis rimpang yang bagian akar, hingga daunnya digunakan sebagai obat tradisional secara turun temurun.
Tak hanya di Indonesia, di beberapa negara Asia seperti China dan India, kunyit putih sering digunakan sebagai obat salah satunya untuk meredakan nyeri menstruasi. Di China, kunyit putih pernah diteliti, kandungan minyak atsirinya yang kaya flavonoid disebut-sebut mampu redakan nyeri lambung, diare, hingga menambah nafsu makan. Meski demikian, Adakah risikonya jika dikonsumsi berlebihan?
Menjawab hal tersebut, spesialis gizi klinik, dr. Marya Haryono, SpGK menyebutkan beberapa mitos dan fakta seputar kunyit putih yang beredar di masyarakat.
Sembuhkan diare
"Mitos. Kunyit putih mempuanyai aroma yang mirip jahe, jadi identik memberi rasa nyaman. Tapi diare jadi sembuh karena konsumsi kunyit putih tentu hanya mitos. Kunyit putih tidak punya efek laksatif," ujar Marya dalam tayangan AYO HIDUP SEHAT di tvOne Senin 2 Juli 2018.
Menghambat pertumbuhan sel kanker
"Fakta. Namun hanya fungsinya hanya menghambat dan mencegah ya, bukan mengobati. Penelitian soal kunyit putih dan kanker ini sudah dilakukan pada hewan tikus dan terbukti zat aktifnya adalah antioksidan dan antiinflamasi bisa menghambat sel kanker."
Sembuhkan Infeksi dengan kompresan
"Mitos. Sebaiknya dikonsumsi untuk dapatkan efek antibakteri. Caranya bisa dikonsumsi air perasannya. Tapi sekarang kan banyak juga yang jual ekstraknya."
Berbahaya bagi penderita diabetes
"Fakta. Pada penderita diabetes, konsumsi kunyit putih dalam waktu yang lama bisa menyebabkan hipoglikemi atau penurunan kadar gula darah secara drastis."
Redakan gejala arthritis
"Fakta. Tapi jangan dipakai secara topikal saja, sebaiknya dikonsumsi. Kunyit putih mengandung anti-inflamasi."
Ibu hamil dam menyusui tak boleh konsumsi kunyit putih
"Fakta. Secara tradisional banyak kasus yang muncul bisa meningkatkan potensi keguguran. Meskipun secara penelitian belum dilakukan, namun sebaiknya dihindari. Begitu juga bagi ibu menyusui, kita belum tahu apakah bisa tercampur dalam ASI (Air Susu Ibu)."
