Marak Selfie di Tengah Bencana, Psikolog: Kurang Empati

Pasca Tsunami Banten
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman

VIVA – Aksi sejumlah warga yang melakukan selfie di tempat bencana Tsunami di Pandeglang beberapa hari lalu menjadi sorotan media asing.

Psikolog Sorot Ekspresi Tamara Tyasmara Terhadap Dante: Tidak Harmonis Antara Anak dengan Ibu

Dalam laporan, The Guardian, beberapa warga yang salah satunya bernama Solihat, terlihat tengah melakukan selfie dengan latar wilayah terdampak bencana.

Solihat mengatakan bahwa tujuannya ke lokasi bencana tersebut untuk memberikan sumbangan pakaian untuk orang-orang yang kehilangan tempat tinggal akibat Tsunami. Foto tersebut, lanjut dia, sebagai bukti bahwa dia benar ke lokasi untuk memberikan bantuan.

Nekat Mau Selfie Hingga Panjat Pagar Kebun Binatang, Pria Ini Tewas Diterkam Singa

"Ketika orang melihat foto-foto kehancuran, mereka menyadari bahwa mereka berada di tempat yang lebih baik. Gambar kehancuran akan mendapatkan lebih banyak like. Mungkin karena itu mengingatkan orang untuk bersyukur," kata dia.

Lalu, mengapa banyak orang melakukan selfie di lokasi bencana? Etis kah hal tersebut?

Mencekam, Seorang Pria Nekat Masuk Kandang Singa Untuk Beswafoto Hingga Tewas Diterkam

Menurut Psikolog yang juga Ketua Ikatan Psikologi Klinis, Dr. Indria Laksmi Gamayanti, M.Si, hal itu terjadi karena kurangnya rasa kepedulian dan empati terhadap korban bencana. Meski datang untuk memberi bantuan, Gamayanti mengatakan, bahwa melakukan selfie dengan latar belakang lokasi bencana menunjukkan sikap yang kurang bijak.

"Memang sebetulnya ada yang berniat memberi bantuan. Tetapi sikap-sikap yang dimunculkan menjadi kurang pas. Karena euforia dengan media sosial. Kalau saya melihat kekurangpekaan dalam memanfaatkan media sosial, jadi empati yang terbangun menjadi kurang tepat," kata Gamayanti saat dihubungi VIVA, Kamis, 27 Desember 2019.

Ia melanjutkan, bahwa sah-sah saja mendokumentasikan atau mengambil gambar di lokasi bencana. Namun, hal yang harus digarisbawahi bahwa foto tersebut hanya sebagai data untuk tindakan bantuan lebih lanjut.

"Bukan hanya seakan-akan menonton atau menjadi berwisata. Bukan seperti itu. Itu menjadi dokumentasi, kita bisa melakukan apa di sana," kata dia.

Associate professor di School of Communication di The Ohio State University, Jesse Fox, juga mengungkapkan hal senada dengan Gamayanti. Sebelumnya, Fox juga memimpin sebuah penelitian tentang psikologi selfie yang diterbitkan dalam jurnal Personality and Individual Differences.

Di dalamnya, terungkap bahwa pria yang mengambil selfie lebih cenderung menderita masalah seperti narsisme dan psikopat. Ia melanjutkan mengambil dokumentasi tentang diri, daripada situasi yang terjadi, menunjukkan bahwa tingkat narsisme tertentu masih berperan.

"Orang-orang mungkin berpikir ke depan bahwa foto mereka dapat dibagikan secara luas, dan dengan demikian ingin menanamkan diri mereka sebagai bagian dari tindakan. Atau, mereka mungkin mencoba membuktikan bahwa mereka benar-benar ada," kata dia. (zho)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya