Cegah Stigma, Dokter: Bangun Kesan HIV Tak Beda Dengan Diabetes

Ilustrasi HIV/AIDS.
Sumber :
  • Freepik

VIVA Lifestyle  – Stigma terhadap HIV/AIDS masih sangat negatif dengan beragam opini miring di masyarakat Indonesia. Tak sedikit yang menganggap bahwa HIV/AIDS merupakan kutukan atau penyakit berbahaya yang menular seperti batuk dan flu, yang faktanya tak demikian.

Dokter Boyke Ungkap Gaya Bercinta Ini Nikmat Tapi 100 Kali Berisiko Tularkan HIV/AIDS

Dokter spesialis kulit kelamin, dr Santoso Edi Budiono SpKK mengatakan bahwa stigma HIV/AIDS harus dihapuskan demi membantu menekan kasus penularan virus tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan membangun kesan bahwa terinfeksi HIV/AIDS tak jauh berbeda dengan penyakit kronis lain seperti diabetes dan hipertensi. Scroll untuk simak artikel selengkapnya.

"Bangun kesan bahwa HIV nggak ada beda dengan diabetes dan hipertensi. Selama mau diperiksa teratur, bisa dikendalikan," ujarnya dalam temu media Kementerian Kesehatan, Selasa 29 November 2022.

Terpopuler: Ramalan Zodiak sampai Penjelasan Buya Yahya Soal Panggilan Pak Haji

Menurut dokter Santoso, masyarakat tak perlu khawatir tertular virus HIV karena proses penularannya berbeda dengan sakit batuk dan flu. Berteman dengan pasien HIV/AIDS pun justru membantunya untuk mendapatkan pengobatan dengan tepat sehingga menekan munculnya kasus baru.

"Nggak perlu takut. Sama dengan hadapi orang diabetes, hipertensi, kan," ujarnya.

Gelapnya Dunia Pendidikan: Perundungan Mengancam Kesehatan Mental Calon Dokter Spesialis

Lebih dalam, pengobatan HIV saat ini pun kian digencarkan oleh pemerintah untuk menekan perburukan kondisi pasien. Meski belum bisa disembuhkan, namun AIDS dapat dicegah dari pasien HIV agar kondisinya tetap sehat dan bugar melalui pengobatan yang rutin.

"Sejauh dia bisa akses obat dengan baik, AIDS bisa rubah jadi HIV, HIV ubah jadi normal selama bisa konsumsi obat dengan baik. Asal jangan sudah parah, biasanya repot karena infeksinya menganggu. Sehingga perlu temukan orang di stadium awal," tutur dia.

Mendeteksi dini adalah cara paling mudah menemukan pasien HIV di stadium awal sebelum mencapai kondisi AIDS. Kalau pun sudah di kondisi AIDS, dokter Santoso menegaskan bahwa rutinnya konsumsi obat anti virus akan sangat membantu membuat tubuh pasien tetap terlihat seperti orang sehat pada umumnya. Lagi-lagi, kendalanya ada pada stigma di masyarakat sehingga harus dipatahkan dengan edukasi tepat.

"Mungkin stigma (sebabkan terlambat obati). Belum apa-apa mereka sudah menstigma dirinya sendiri. Itu juga kembali lagi pada pengetahuan," kata dia.

Berdasarkan data modeling AEM, tahun 2021 diperkirakan ada sekitar 526,841 orang hidup dengan HIV dengan estimasi kasus baru sebanyak 27 ribu kasus. Yang mana, sekitar 40 persen dari kasus infeksi baru tersebut terjadi pada perempuan.

Ilustrasi HIV AIDS

Photo :
  • vstory

Penyebabnya beragam mulai dari pandemi COVID-19, retensi pengobatan ARV yang rendah, adanya ketidaksetaraan dalam layanan HIV serta masih dirasakannya stigma dan diskriminasi yang berawal dari kurangnya pengetahuan masyarakat tentang HIV-AIDS.

“Hal ini menunjukkan bahwa upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak masih memerlukan penguatan,” kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular, Imran Pambudi dalam acara virtual Kemenkes, Selasa 29 November 2022.

Direktur Imran pun menegaskan komitmen Kementerian Kesehatan berkomitmen mengakhiri endemi HIV pada tahun 2030. Sebagai bentuk dari komitmen tersebut, Kemenkes melakukan upaya penanggulangan HIV-AIDS dengan menempuh jalur cepat 95-95-95. Artinya mencapai target indikator 95 persen estimasi Orang Dengan HIV (ODHIV) diketahui status HIV-nya, 95 persen ODHIV diobati dan 95 persen ODHIV yang diobati mengalami supresi virus.

Namun, menurut data tahun 2018-2022, capaian target tersebut khususnya pada perempuan, anak dan remaja masih belum optimal. Sebab, baru 79 persen Orang Dengan HIV (ODHIV) mengetahui status HIV-nya, baru 41 persen ODHIV yang diobati dan 16 persen ODHIV yang diobati mengalami supresi.

Penguatan strategi triple 95 dilakukan dengan menggencarkan promosi kesehatan, upaya pencegahan perilaku berisiko, penemuan kasus (skrining, testing, tracing) dan tatalaksana kasus. Tak hanya itu, Kemenkes juga mencantumkan strategi pengendalian HIV-AIDS bagian dari Standar Pelayanan Minimum di Fasyankes.

Strategi ini tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 4 Tahun 2019 tentang Standar Teknis Mutu Pelayanan Dasar Pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan.
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya