Ketika Sikap Diam Jadi Petaka

Ilustrasi Keluarga
Sumber :
  • Pixabay/ myphotojourneys

VIVA.co.id –  Ternyata pepatah 'diam adalah emas' tak selamanya berbuah baik. Diam tidak selalu bisa menjadi emas jika digambarkan pada situasi tertentu, salah satunya hubungan antar anggota keluarga. 

Tips Memberi Pemahaman Soal Keuangan kepada Anak

Contohnya seperti yang dialami  Rindi, sejak beberapa bulan lalu, wanita 30 tahun ini merasakan seperti ada yang membeku dalam keluarga besar suaminya. Tidak lama bagi Rindi merasakan hal itu, meskipun usia pernikahannya baru satu tahun namun atmosfernya begitu terasa.

Suaminya adalah tiga bersaudara dan anak tengah. Masalah muncul saat kakak sulung sang suami menikah siri dengan wanita lain padahal belum bercerai dari istrinya. Akibatnya, anak kakak ipar Rindi yang masih berusia 14 tahun depresi dan tidak mau sekolah.

Moms, Ini Cara agar Tak Mudah Stres dan Bisa Bonding dengan Anak

“Permasalahannya sungguh kompleks, kakak ipar dan istrinya pun sudah tidak pernah bicara padahal tinggal satu rumah,” ujar Rindi.

Ia melanjutkan bahwa tidak ada yang berani menegur atau berbicara dengan kakak iparnya, bahkan ibunya. Semuanya diam, entah sudah angkat tangan atau tidak tahu bagaimana cara menegurnya. Semua dibiarkan seolah tidak ada apa-apa. Begitu pun yang dilakukan suaminya.

7 Perilaku Gaslighting Orangtua pada Anak, Banyak yang Gak Sadar

Suami Rindi mengatakan bahwa kakaknya sudah dewasa dan bisa menyelesaikan masalah sendiri. Namun, kondisi semakin memburuk saat sang mertua jatuh sakit karena tetangga mulai bergunjing.

“Padahal menurut saya, jika masalah ini dibicarakan sejak awal ujungnya tidak akan serumit ini. Memang, keluarga besar suami saya tidak terbiasa terbuka dan menunjukkan kasih sayang mereka,” ungkapnya.

Lain dengan Rindi, ditemui di tempat berbeda Dayu (30) juga mengeluhkan masalah keterbukaan dalam keluarga. Kali ini permasalahan datang dari diri Dayu sendiri, Ibu dari bayi laki-laki bernama Carlo ini mengaku sering salah komunikasi dengan mertua. Dayu yang bekerja di sebuah bank swasta ini mengaku menitipkan buah hatinya kepada mertuanya.

Namun, sang mertua rupanya masih sangat mempercayai tradisi. Salah satunya mendatangi dukun bayi yang kemudian membuat ramuan untuk anak Dayu.

“Itu tanpa sepengetahuan saya, alasannya supaya Carlo doyan makan. Karena hal itu malamnya Carlo demam,” ujar Dayu.

Meski kesal dengan kelakuan mertuanya, namun Dayu mengaku sungkan untuk menegur. Alasannya takut menyakiti hati mertua dan takut di cap sebagai menantu ‘judes’. 

“Saya masih menghargai mertua dan enggak ingin ada konflik panjang nantinya. Jadi sekarang yang bisa saya lakukan ya memberikan pengawasan ketat untuk Carlo,” ungkapnya. 

Dayu dan Rindi hanyalah salah satu contoh kasus dari sekian banyak yang terjadi akibat tindakan saling mendiamkan yang berujung pada hilangnya keterbukaan antar anggota keluarga. 

Dari sekian banyak masalah keluarga yang ada, masalah ;keterbukaan’ adalah yang paling banyak mendominasi masalah keluarga. Seperti keterbukaan terhadap ekonomi, keluarga, pekerjaan, hingga prinsip-prinsip dan pola hidup. Padahal, beberapa anggota keluarga yang tidak dapat melalui masalah-masalah tersebut justru dapat terjebak dalam stres berkepanjangan, hingga berujung pada penyakit fisik.

Orang Indonesia senang bercerita tapi tidak kepada keluarga

Menurut sebuah survei yang dilakukan Sariwangi baru-baru ini menyebutkan bahwa tingkat keterbukaan keluarga di Indonesia cenderung rendah. Dalam penelitian tersebut mengungkapkan, hampir sebagian besar dari responden mengakui hanya mencari topik yang mudah dan aman untuk dibicarakan, sedangkan 2 dari 3 responden menyatakan bahwa kurangnya keterbukaan tersebut bertujuan untuk menghindari konflik.

Psikolog Anak dan Keluarga, Ratih Ibrahim yang mendampingi penelitian tersebut menjelaskan lebih lanjut bahwa umumnya masyarakat Indonesia senang sharing (bercerita) namun menghindari pembicaraan serius.

“8 dari 10 orang Indonesia itu senang ngomong, senang cerita, senang sharing. Jadi yang dimaksud sharing itu adalah cerita, mengungkapkan dirinya bagaimana. Frekuensi sharing-nya setiap hari, bahkan yang paling pendiam sekalipun seminggu kali akan melakukan sharing,” ujarnya kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu.

Namun sayangnya, 3 dari 5 orang yang suka sharing itu justru menghindari pembicaraan yang sifatnya sulit, apalagi dengan anggota keluarga. Survei yang melibatkan 531 responden dari seluruh Indonesia tersebut terdiri dari usia dewasa muda.25 sampai 30 tahun. Dengan persentase 50 persen pria dan 50 persen wanita. Dari data tersebut juga ditemukan bahwa kaum wanita lebih senang sharing dibandingkan kaum pria.

Fakta menarik lainnya yang ditemukan dalam survei tersebut adalah mengenai kedekatan. Berdasarkan asumsi, jika seseorang senang bercerita dan sharing maka akan timbul kedekatan. Namun pada kenyataannya kedekatan tersebut tidak terjalin akibat menghindari bahasan yang mengandung konflik.

“Berdasarkan asumsi, kalau kamu senang cerita dan dekat, kamu akan bisa cerita dan open up tentang apapun juga. Di sini ternyata enggak, ngakunya dekat, ngomongnya tentang apapun juga tapi cuma dua dari lima, mereka menghindari bahasan yang dapat menimbulkan konflik,” ujarnya.

Selanjutnya...Jika tak ada keterbukaan dalam keluarga?

Jika tak ada keterbukaan dalam keluarga?

Secara harfiah, keterbukaan adalah suatu sikap dan perasaan untuk selalu bertoleransi serta mengungkapkan kata-kata dengan sejujur-jujurnya sebagai landasan berkomunikasi.

Keterbukaan dalam keluarga menjadi sebuah kebutuhan mendasar. Jika dalam sebuah keluarga berhasil membangun kebiasaan komunikasi yang terbuka, maka banyak persoalan seperti perbedeaan, ketidakpuasan, dendam dan pertengkaran dapat diselesaikan atau dicairkan sejak dini.

“Dampaknya kamu tidak akan mampu membangun relasi yang lebih dalam. Kalau kita tidak membuka diri, maka tidak akan ada koneksi antara satu dengan yang lain. Berarti ada issue (masalah), rasa tidak percaya lah, ketidakcocokan, dan kemudian jadi kurang relate, berarti pondasi relasinya juga akan menjadi tidak cukup kuat. Kalau itu terjadi di keluarga, siapapun akan jadi kesepian di rumah sendiri,” ujarnya.

Lebih lanjut, keluarga yang mengalami keretakan bahkan kegagalan biasanya juga diawali dengan enggan melakukan keterbukaan dan musyawarah antar anggota keluarga.  Masing-masing berpikir, merasakan, berpandangan dengan caranya sendiri-sendiri, tidak mau berdialog dengan anggota keluarga yang lain. Dampaknya akan saling mendiamkan dan tidak peduli yang disebabkan tidak pernah ada usaha untuk pendekatan.

Bagaimana cara memulai keterbukaan dalam keluarga?

Keluarga adalah ‘rumah’ bagi seluruh anggota keluarga untuk pulang dan beristirahat setelah seharian beraktivitas, karenanya penting sekali untuk membangun rasa nyaman satu sama lain. Bagaimana membangunnya?

“Pertama belajar empati, baca reaksi dari sana kita tahu bagaimana cara masuk (berbicara) ke mereka (keluarga). Kemudian, ketika kedekatan telah terbangun relasi maka makin banyak isu (permasalahan) yang bisa dibuka. Dan saat permasalahan yang dihadapi telah terbuka satu sama lain kemudian kita bisa percaya bahwa dia akan baik-baik aja,” ujar Ratih.

Lebih lanjut, Ratih memberikan saran bahwa sebaiknya segala hal tidak bisa langsung dibicarakan tiba-tiba. Semua harus dimulai dari sesuatu yang sederhana.

Sharing the things itu menyehatkan dan lebih kokoh relasinya. Cara mulainya start from the easy things, use your empathy, dan ciptakan suasana hangat. Ini bisa diterapkan dalam pola asuh anak sejak kecil sehingga mereka terbiasa,” ungkapnya.

Lalu bagaimana jika telah terlanjur terjadi konflik? Bagaimana memulai kembali komunikasi?

“Kalau sudah terlanjur ada konflik, siapa yang harus lakukan the first move atau rekonsiliasi? Kita enggak bisa atur orang lain tapi kita bisa atur diri kita. Kita yang netral dahulu dengan cara empati sekaligus mempertimbangkan banyak sudut pandang. Kita bisa memposisikan diri kita di tempatnya,” ujar Ratih.

Kemudian langkah selanjutnya yang harus dilakukan adalah bersikap netral dan lihat lagi reaksinya. Jika memang tetap tidak ada feedback atau reaksi,

“Tapi jika kamu sudah netral dan lawan bicara tetap tidak bisa terbuka. Maka yang harus dilakukan turn down dan you forgive yourself, itu ada di titik nol, and then you forgive that person itu juga di titik nol. Nanti tergantung dia, dia mau masuk proses rekonsiliasi itu atau tidak. Kalau enggak ya urusan dia, yang penting kamu sudah ada di titik nol dan siap untuk maju,” ungkapnya.


 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya