- VIVA/Harry Siswoyo
VIVA – "Saya cuma ingat anak dan keluarga di rumah," tutur Syarif usai bergelantungan dari dua tali baja sepanjang 60 meter di punggungan Gunung Parang.
Pasi di wajahnya perlahan surut, ketika kedua tangannya kembali memegang tangga besi yang dipasak di dalam batu. Ini menjadi kali pertama baginya memanjat tebing.
Sekaligus menjadi momen pertamanya tidur di atas tebing setinggi ratusan meter, dan mesti terikat di webbing lengkap dengan cincin kait selama beberapa jam.
Petang sebelumnya, sejak awal kami sudah berdecak kagum melihat pesona Gunung Parang dari kejauhan. Bukit batu andesit raksasa setinggi hampir 1.000 meter ini hilang timbul dari kejauhan karena dibebat oleh gumpalan kabut putih pekat.
Dalam sekilas, kesan misterius pun seketika muncul. Apalagi ditambah rinai hujan yang perlahan membasahi Desa Pasanggarahan. (simak ulasan sebelumnya, soal Badega Skylodge Hotel di sini)
Papan petunjuk jalur pemanjatan Gunung Parang via Ferrata di bawah kaki tebing
Namun demikian, pikiran klenik itu mesti dibuang. Petang itu, sebuah hotel mewah yang digantung di atas tebing setinggi 500 meter menunggu. Meski sedikit ragu lantaran hujan bersahutan petir menggelegar di langit.
Tapi apa daya, penasaran tidur beratap langit dan keinginan melihat karya Tuhan dari pucukan tebing mengalahkan segalanya. Menunggu hujan dan petir reda pun jadi pilihan.
Skylodge Hotel yang dikelola kelompok Padjajaran Anyar, dibangun di punggungan tebing Gunung Parang. Bentuknya seperti kapsul kaca transparan dengan posisi menggantung dan terikat dengan rangkaian tali baja yang dipasak ke dalam batu.
Untuk menuju hotel ini, pengunjung harus memanjat tangga besi atau Ferrata dengan ketinggian 1.640 kaki atau setara 500 meter. Butuh waktu sekurangnya dua jam pemanjatan untuk tiba di bangunan hotel.
"Setiap pengunjung harus dinyatakan sehat dan tidak memiliki riwayat epilepsi atau sakit jantung," ujar Dhani Dhaelami, pengelola Skylodge.
Ferrata atau tangga besi yang terpasang di punggungan tebing Gunung Parang Purwakarta Jawa Barat
Memanjat Ferrata, memang bukan perkara mudah untuk yang tak terbiasa ketinggian. Meski setiap orang wajib menggunakan harness dan sling pengaman yang dipasang cincin kait atau carabiner.
Namun tetap akan membuat 'gemetar'. Sebab, keselamatan dan keamanan ada di tangan kita sendiri. Guide hanya cuma bisa memandu, bagaimana memindahkan cincin kait ke sling baja yang sudah menempel di tebing.
Jadi mau tak mau selain energi difokuskan untuk merayapi undakan tangga besi, konsentrasi kita juga mesti disiapkan untuk memindahkan cincin kait setiap jarak 2,5 meter dari pasak pembatas yang dipasang. Bisa dibayangkan bagaimana ini kami lakukan di malam hari dengan hanya mengandalkan penerangan dari headlamp yang menempel di helm.
Pemasangan cincin kait atau carabiner di ferrata Gunung Parang
"Di ketinggian 200 meter nanti akan ada teras besar. Di sana kita bisa istirahat leluasa," ujar Syaefullah, guide yang memandu kami di Ferrata.
Di titik 200 meter, memang terdapat sebuah teras batu besar yang cukup lapang. Di sini juga terdapat dua pondok istirahat. Sehingga memang bisa menjadi tempat untuk beristirahat sekaligus memompa lagi semangat buat pendakian lebih tinggi berikutnya.
"Sumpah, ini seumur-umur gua naik gunung setinggi ini," cerocos Syarif dengan muka penuh keringat dan headlamp yang sudah miring-miring.