Menyingkap Mitos Angker Tanjakan Emen

Polantas menjaga lokasi kecelakaan lalu lintas beberapa waktu lalu.
Sumber :
  • Antara/Sigid Kurniawan

VIVA – Dua puluh tujuh orang tewas dan belasan luka-luka dalam kecelakaan bus pariwisata di Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada 10 Februari 2018. Lokasi kecelakaan sudah tersohor di seantero Bumi Priangan, yaitu satu kawasan jalan yang populer disebut tanjakan Emen.

Operasi Keselamatan 2024 Rampung, Catat 372 Orang Tewas Karena Kecelakaan

Kawasan itu memang dikenal sebagai salah satu jalur tengkorak di Jawa Barat karena sering terjadi kecelakaan. Sedikitnya sudah 55 orang tewas di jalur itu dalam delapan kasus kecelakaan lalu lintas sejak tahun 2004. Sebagian besar korban adalah pelancong objek wisata pemandian air panas Ciater atau Gunung Tangkuban Perahu.

Namun insiden maut termutakhir itu menjadi peristiwa kecelakaan paling banyak korban meninggal dunia, 27 orang. Di antara tujuh insiden serupa di tempat yang sama tahun-tahun sebelumnya, satu kasus yang cukup banyak korban tewas, yakni sembilan orang, pada 17 Juni 2014.

Korlantas Polri Beri Bantuan ke Bocah SD yang Kecelakaan hingga Kaki Kanan Diamputasi

Nah, angka 27 orang meninggal dalam kejadian pada Sabtu sore itu seolah peringatan keras kepada pemerintah agar tanjakan Emen tak meminta tumbal lagi. Daftar 55 orang yang dijemput malaikat maut di kawasan itu tak perlu ditambahi lagi.

Mitos si Emen

Utamakan Keselamatan, Ini Tips Aman Berkendara Sepeda Motor

Tak dapat dimungkiri lagi bahwa tiap terjadi kecelakaan di kawasan itu hampir selalu dikaitkan dengan cerita angker tentang Emen, seorang sopir yang konon tewas di sana pada tahun 1960. Bermula dari kisah yang entah fakta atau rekaan belaka itulah nama Emen disematkan. Lama-kelamaan jalur curam dan berliku disebutlah tanjakan Emen.

Sebenarnya cerita mistis tentang tanjakan Emen di ruas jalan raya yang menghubungkan Kabupaten Bandung Barat dengan Kabupaten Subang itu cukup variatif. Tokoh utamanya memang Emen tetapi detail kejadian sehingga si sopir meninggal dunia di kawasan itu banyak versi.

Satu versi menyebut bahwa pada satu hari mobil yang dikemudikan Emen terbalik dan terbakar di tanjakan itu. Emen tewas seketika. Sejak peristiwa itulah warga Kampung Cicenang di Kecamatan Ciater menyakini sosok Emen kerap mengganggu para pengemudi.

Versi lain menyebutkan bahwa Emen sebenarnya korban tabrak lari dan mayatnya disembunyikan di semak-semak sekitar tanjakan. Dalam cerita yang lain disebutkan Emen terbakar dalam mobil yang kecelakaan, hingga jasadnya hangus bersama kendaraannya.

Ada yang menyebut si Emen sebenarnya bukan sopir, melainkan kenek truk. Konon, dalam satu kecelakaan pada tahun 1960, Emen terseret bus saat sedang memperbaiki kendaraannya yang mogok. Dongeng lain menyebutkan bahwa Emen adalah sopir opelet dengan trayek Subang-Bandung. Dia dan penumpang opeletnya tewas setelah kendaraan yang dikemudikannya menabrak tebing lalu terbakar.

Semua versi cerita itu akhirnya melahirkan mitos baru agar setiap pengendara dapat selamat ketika melintasi tanjakan Emen. Banyak sopir membuang puntung rokok yang menyala saat melintas di tanjakan Emen demi menghindari sial. Konon, para sopir selalu merokok saat menyetir kendaraannya. Ritual itu dikaitkan dengan cerita bahwa Emen perokok berat.

Jalur berbahaya

Tak ada bukti yang membenarkan semua versi kisah si Emen itu. Tetapi sejumlah fakta dapat ditelusuri dari sekian banyak kejadian kecelakaan: kebanyakan selalu berkisar dugaan rem blong atau rem tiba-tiba tak berfungsi, mobil tergelincir hingga terguling atau terjun ke jurang.

Diakui atau tidak, jalur sepanjang tiga kilometer itu memang berbahaya; setiap pengemudi harus sangat waspada dan berhati-hati. Pertama-tama karena kontur jalan memanglah curam dengan kemiringan 45-50 derajat. Jalurnya cukup panjang menanjak dari arah Subang menuju Lembang, Kabupaten Bandung Barat; sebaliknya menurun panjang pula jika dari arah Lembang menuju Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang.

Konsekuensi dari kontur jalan yang seperti itu ialah pengemudi kerap merasa leluasa meluncur dari arah kawasan Tangkuban Perahu dan sebaliknya pengendara sangat berat jika menanjak dari arah kawasan Ciater.

Kedua ialah kontur jalan naik dan turun, kemudian berbelok tajam, dan sering diselimuti kabut sehingga jarak pandang terbatas. Dalam kondisi siang saja jarak pandang amat terbatas kalau kawasan itu sudah berkabut, apalagi saat malam. Ditambah juga minim penerangan jika malam. Para pengemudi biasanya membunyikan klakson untuk memberi tanda kepada pengendara lain yang datang dari arah berlawanan.

Polisi sebenarnya sudah memasang sejumlah rambu peringatan agar para pengendara harus ekstra berhati-hati jika melintasi jalur itu, terutama di titik yang dianggap paling rawan, yaitu dua kilometer jalan curam menurun. Bahkan telah dibangun sebuah monumen kecelakaan lalu di tepi jalan, sekira dua kilometer sebelum lokasi rawan.

“(Kalau ada) kendaraan yang melintas daerah Emen ini, (saat) melihat (monumen kecelakaan dapat memperingatkan diri) ‘Oh, ada (lokasi rawan) kecelakaan’; ada mobil yang rusak karena kecelakaan, jadi lebih safety gitu, harapannya begitu,” kata Direktur Lalu Lintas Kepolisian Daerah Jawa Barat, Komisaris Besar Polisi Prahoro, ketika dihubungi VIVA pada Minggu, 11 Februari 2018.

Prahoro mengakui, dalam sekian banyak kasus kecelakaan di tanjakan Emen, rata-rata terjadi pada jalur menurun atau dari arah Lembang menuju Kecamatan Ciater, Kabupaten Subang. Begitu pula bus nahas berpenumpang 50 orang asal Tangerang, Banten, yang terguling pada Sabtu sore itu.

Bus baru saja meninggalkan Gunung Tangkuban Perahu untuk kembali pulang ke Tangerang Selatan melalui Tol Cikopo-Palimanan yang diakses dari Gerbang Tol Subang Kota. Setelah keluar dari gerbang Tangkuban Perahu, bus melewati turunan panjang sekira dua kilometer. Saat melewati turunan panjang yang curam dan berkelok-kelok di tengah kebun teh dan hutan pinus itulah bus menabrak sepeda motor, menabrak tebing di kiri jalan, lalu terguling.

Polisi masih menyelediki penyebab pasti kecelakaan maut itu. Namun Prahoro mengisyaratkan ada sesuatu yang tak beres atau sekurang-kurangnya ada bagian jalan yang memang berpotensi mencelakakan pengendara, yaitu kontur yang tak seimbang untuk dilintasi kendaraan berbadan besar. "Memang,” katanya, “kalau dari kontur, kurang seimbang; seandainya mobil belok kanan, tapi (badan mobil justru) miringnya kiri.”

Rambu-rambu lalu lintas sebenarnya tak kurang, yang pada pokoknya memperingatkan setiap pengendara agar berhati-hati, terutama keharusan mengurangi laju kendaraan saat di jalur menurun. Risiko lebih besar jika pengemudi tak mengurangi laju kendaraan ialah terjun ke jurang, alih-alih menabrak tebing.

Prahoro membandingkan tingkat keberbahayaan tanjakan Emen dengan jalur naik-turun dan berkelok-kelok di kawasan Puncak, Bogor. Memang, katanya, jalur Puncak juga rawan, tetapi lebih berbahaya dan mematikan jalur Emen. Sebabnya ialah jalur menurun yang sedikit atau banyak memberikan kesempatan bagi pengendara seolah meluncur dari ketinggian.

“Kalau (jalur) Emen, kan, turunan; menurunnya itu yang rawan banget. Kalau Puncak, jalurnya pendek-pendek. Coba kalau (di jalur Emen) dari Tangkuban Perahu sampai ke TKP (lokasi kecelakaan), kan turunan," kata Prahoro.

Jalur lingkar

Bagi sebagian pengendara, rambu-rambu lalu lintas maupun keberadaan monumen kecelakaan itu tak cukup. Masalah utamanya ialah jalur itu memang rawan dan sangat berbahaya. Jalur itu tampak baik-baik saja, lapisan aspalnya pun mulus, tetapi tak disadari bahwa sesungguhnya menyimpan risiko besar.

Ringkasnya ialah jalur tanjakan Emen itu melenakan pengemudi yang tidak atau kurang mengenali karakter jalan di sana. Menurut keterangan seorang sopir yang telah berpengalaman melewati jalur itu, kebanyakan sopir dari luar Subang atau Bandung keliru membuat perhitungan di jalur Emen; rata-rata mengira turunan tak terlalu curam.

Analisis itu seolah mendapatkan pembenaran kalau melihat fakta-fakta pada delapan kecelakaan maut di tanjakan Emen sejak tahun 2004. Hampir semua kendaraan utama yang terlibat dalam kecelakaan itu ialah bus atau minibus berpenumpang wisatawan, bahkan dua kasus di antaranya berpenumpang turis asing.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebenarnya sudah menandai jalur itu. Gubernur Ahmad Heryawan pernah mengatakan akan mengevaluasi struktur jalan di tanjakan Emen. "Saya khawatir mitos (tanjakan) Emen jadi benar, setiap tahun ada saja masalah di situ," katanya pada 18 Juni 2014, sehari setelah kecelakaan yang menewaskan delapan pelajar asal Jakarta.

Masalahnya, rencana evaluasi itu tinggal rencana, bahkan sampai si Emen meminta korban lagi yang lebih banyak ketimbang sebelum-sebelumnya. Gubernur berdalih bahwa mengevaluasi jalur tengkorak itu tak mudah karena tanjakan Emen adalah jalan nasional yang melibatkan banyak pihak, misalnya, Kepolisian, Dinas Bina Marga, Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pekerjaan Umum. 

Kalau penyebab kecelakaan sering terjadi di jalan itu karena rem blong kendaraan, kata Gubernur, tentu bukan kesalahan pada infrastruktur jalan, melainkan perkara kelaikan kendaraan. Pemerintah akan lebih dulu mengkaji apakah ada faktor lain, selain urusan kelaikan kendaraan.

“Kita ingin penelaahan lebih lanjut, karena jalannya juga bagus; kira-kira apa yang harus dilakukan untuk mengecilkan kemungkinan kecelakaan, karena cukup sering di situ, banyak yang meninggal. Mungkin perlu dibuat semacam antisipasi ketika rem blong," kata Aher, sapaan akrab sang gubernur.

Pada 2014, Pemerintah Provinsi Jawa Barat berencana memapas bagian tebing di sekitar tanjakan Emen. Pemapasan itu untuk mengurangi tikungan tajam sebagai upaya menekan risiko kecelakaan. Rencana termutakhir ialah membangun jalur lingkar Subang sepanjang 5-7 kilometer. Skenario itu untuk mengalihkan lalu lintas agar kendaraan tak melewati jalur tanjakan Emen.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya