Menanti Solusi Sengkarut BPJS Kesehatan

Petugas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberikan informasi kepada warga
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra

VIVA – Surat kepada Presiden Joko Widodo yang ditandatangani Eno Zthezia, seorang dokter cantik menyedot perhatian publik, terutama di dunia maya. Dokter berambut panjang itu meminta Jokowi menoleh  sejenak pada persoalan yang terjadi terkait Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Bak benang kusut.

BPJS Kesehatan Ingatkan Masyarakat Bayar Iuran JKN Tepat Waktu

Menurut Eno, yang terjadi kini adalah darurat BPJS. Ia menulis beberapa surat terbuka. Salah satu surat tersebut antara lain berbunyi.

Bekasi, 8 September 2018

Dukung Pers Sehat, BPJS Kesehatan Kembali Raih Penghargaan Bergengsi

Kepada Yth,
Bapak Presiden Joko Widodo

Pak,
apa Bapak tahu saat ini sedang ada permasalahan di bidang kesehatan?

Di Universitas Harvard, Dirut BPJS Kesehatan Ungkap Jurus Capai UHC dalam 10 Tahun

Apa Bapak tau program JKN/BPJS-K membuat banyak ketidaknyamanan berbagai pihak masyarakat, tenaga kesehatan juga fasilitas kesehatan?

Sekadar diketahui, sebelum tahun 2014, penyelenggara jaminan kesehatan masih dilakukan Jamsostek, Taspen, Asabri dan Askes. Namun tepat 1 Januari 2014, keempat penyelenggara jaminan kesehatan itu melebur dan bertranformasi menjadi satu lembaga hukum publik bernama BPJS Kesehatan.

Dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 24/2011, BPJS punya tujuan menyelenggarakan program jaminan kesehatan nasional sesuai dengan amanat UU Nomor 40/ 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Bagi peserta BPJS Kesehatan yang disiplin membayar iuran bisa mendapat manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Kelahiran BPJS pun menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia. Mereka yang sakit-sakitan, masyarakat berpenghasilan rendah dan pemilik penyakit berat hingga kronis dan lainnya, banyak bergantung pada BPJS. Sayangnya, seiring berjalannya waktu, tujuan mulianya mulai ternoda dengan pelayanan di beberapa fasilitas kesehatan, baik milik pemerintah atau swasta yang diskriminatif kepada peserta BPJS.

Kisruh BPJS

Perlahan tapi pasti, keluhan masyarakat makin banyak jumlahnya. Tak cuma dari pasien, tenaga kesehatan hingga fasilitas kesehatan yang terlibat dalam program itu pun merasakan dampaknya. Dan sebagai lembaga nonprofit, BPJS Kesehatan pun akhirnya berteriak.

Mereka mengaku mengalami kondisi keuangan 'besar pasak daripada tiang'. BPJS menderita defisit alias rugi hingga Rp9,75 triliun sepanjang tahun lalu. Dengan pendapatan sebesar Rp74,25 triliun yang didapat dari iuran Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), total pengeluarannya justru mencapai Rp84 triliun.

Biang keladinya, karena hitungan iuran dan aktuaria tidak seimbang dengan pengeluaran. Itu yang dikatakan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada tahun 2017 lalu. Misal, iuran masyarakat untuk kelas III senilai Rp25.500 per bulan, namun hitungan aktuarianya mencapai Rp53 ribu, sehingga ada selisih kurang sekitar Rp27.500.

Dengan makin bertambahnya jumlah masyarakat yang memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk berobat, namun tak diimbangi dengan pertambahan jumlah peserta BPJS maka akumulasi kekurangan tersebut menjadi sangat besar. Untuk mengurangi defisit, akhirnya dikeluarkan tiga Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan (Perdirjampel) terbaru. Menteri Kesehatan Nila Moeloek pun tak menapik bahwa peraturan baru itu dibuat lantaran defisitnya anggaran BPJS Kesehatan.

"BPJS Kesehatan tengah defisit dan kami lakukan tindakan-tindakan efisien," katanya, belum lama ini.

Regulasi yang dimaksud terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan dengan Bayi Baru Lahir Sehat dan Pelayanan Rehabilitasi Medik. Namun regulasi itu justru memicu kontroversi di kalangan pemangku kepentingan lantaran dianggap merugikan pasien BPJS.

Petugas BPJS Kesehatan membantu warga yang akan mengurus administrasi

Kisruh lainnya sebenarnya sudah mengantre banyaknya. Misalnya, peserta BPJS yang terpaksa membeli beberapa obat sendiri di luar atau kasus 'korban' BPJS, Yuniarti Tanjung pada Juli lalu. Penderita kanker payudara ini menggugat BPJS lantaran mereka tidak lagi menjamin obat kanker payudara trastuzumab dalam paket manfaat program JKN-KIS. Padahal obat itu diklaim efektif memperpanjang usia penderita kanker HER2 positif yang diderita Yuniarti. Sebagai gantinya, dokter penanggung jawab pasien memilih obat untuk terapi kanker payudara pasien sesuai pertimbangan kondisi klinis pasien.

Jika dijabarkan satu demi satu masalah di BPJS, rasanya tak akan cukup dipaparkan dalam halaman ini. Namun ungkapan kekecewaan yang terbaru dan membuat dunia maya heboh datang dari tenaga kesehatan. Seorang dokter cantik bernama Reno Yonora Enozthezia menulis surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo.

Ahli bedah anastesi ini mengungkapkan sejumlah pihak selain masyarakat yang dirugikan selama pelaksanaan BPJS. Mereka, yakni dokter dan dokter gigi, perawat, bidan, fasilitas kesehatan (faskes), karyawan faskes, industri alat kesehatan dan usaha lain yang terkait langsung dalam penyelanggaraan BPJS.   

"Masihkah bapak tidak merasa harus peduli memperbaiki kekisruhan ini? Kalau saya penasihat Bapak, saya akan lapor: Pak, ini darurat BPJS!" tulis Reno dalam akunnya di Facebook.

Dokter lain pun ikut bersuara. Dokter Spesialis anak Dr. Arifianto, Sp.A juga menuliskan kekecewaannya kepada BPJS dalam laman jejaring sosialnya. Bahkan, dokter yang berpraktik di RSUD Pasar Rebo Jakarta Timur ini membuka forum dalam kolom komentar tentang kekecewaan teman-teman sejawatnya terhadap BPJS karena menunggaknya pembayaran BPJS ke rumah sakit hingga berujung pada telatnya gaji tenaga kesehatan.

"Teman-teman sejawat sekalian dari seluruh Indonesia, yang utang RS-nya terus bertambah karena dana BPJS berbulan-bulan belum cair seluruhnya, boleh share foto tanggapan RS-nya dan tautan berita dari berbagai media di komentar ya," tulis dokter Arifin dalam akunnya di Facebook.

Dan ternyata banyak yang kecewa dengan dengan BPJS. Seorang bidan di jejaring faskes 1 bernama Tanty Soempena mengatakan bahwa tagihannya sejak November 2017 belum cair hingga kini, sementara pasien BPJS terus berdatangan. Di sisi lain, jika mereka menolak, faskes 1 akan diacabut izinnya.

Bahkan ada petugas kesehatan di rumah sakit swasta yang gajinya mundur selama dua pekan lantaran klaim BPJS menunggak hingga Rp2,8 miliar. Tak cuma rumah sakit, perusahaan farmasi pun mengalami kondisi miris.

"Bukan cuma RS Dok, perusahaan farmasi juga sudah banyak yang kejepit, bahkan beberapa gulung tikar. Pengurus pusat GP Farmasi Indonesia mengirim kepada Menkes perihal utang jatuh tempo obat dan alat kesehatan JKN belum dibayar mencapai Rp3,5 triliun per Juli 2018. Siap-siap obat banyak yang kosong," tulis Vita Dwi Amiria.

Mencari solusi

Banyaknya masalah yang membelit BPJS, membuat banyak pihak yang dirugikan berusaha mencari solusinya. Bahkan, demi menambal defisit anggaran BPJS, pemerintah akhirnya turun tangan. Presiden Jokowi telah menyetujui pencairan dana Rp4,9 triliun untuk membantu BPJS.

"Kami sudah rapatkan seminggu yang lalu. Sebentar lagi akan dikucurkan Rp4,9 triliun, untuk menutupi kebutuhan yang mendesak," ujar Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko usai acara Kampanye Nasional Pencegahan Stunting di Silang Barat Monas, Jakarta Pusat, Minggu, 16 September 2018.

Kementerian Keuangan juga menyiapkan sejumlah alternatif pendanaan yang bisa digunakan sepenuhnya untuk menutupi defisit. Adapun defisit anggaran BPJS Kesehatan tahun ini diperkirakan membengkak menjadi Rp11,2 triliun dari Rp9,75 triliun pada tahun lalu.

Soal tarif yang rendah hingga menyebabkan defisit, dr Reno menyarankan untuk segera menuntaskannya. Bila tarif yang diberikan dirasa tidak adil dan tak masuk akal, sebaiknya diperbaiki dan ditentukan oleh pusat supaya seragam.

"Sebenarnya tarif itu berdasarkan apa? Misal operasi caesar paketnya Rp4,3 juta, kenapa enggak dirinci dari pusat saja. Kalau mereka bisa menghargakan Rp4,3 juta, kenapa rumah sakit ribut?" tuturnya.

Karena itu, dia meminta BPJS yang merinci soal tarif, bukan masing-masing RS, baik itu tarif dokter, obat hingga alat kesehatan, sehingga tidak akan menimbulkan kekisruhan. Selain itu, BPJS akan mengetahui apakah tarif yang diberikan masuk akal atau tidak.  

"Harusnya ada rincian dari pusat, enggak boleh masing-masing RS merincinya karena tendernya cuma satu company dari pusat, obat, alkes dari pusat. Jadi pusat ada pertimbangan dasar tarif karena apa," ujar dia. Reno pun berharap supaya BPJS Kesehatan segera melakukan perubahan.

Di samping soal masalah dana, BPJS Kesehatan memang secara bertahap berupaya memperbaiki diri. Salah satunya, dengan menguji coba sistem rujukan online JKN-KIS, yang sedianya akan diterapkan pada 1 Oktober 2018 mendatang. Sistem ini dimaksudkan untuk mengurangi antrean pada pelayanan fasilitas BPJS Kesehatan.

Aplikasi digital dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan

Deputi Direksi Bidang Pelayanan Peserta BPJS Kesehatan Arief Syaifuddin mengatakan, sistem baru itu akan memudahkan peserta BPJS Kesehatan dan rumah sakit. Peserta BPJS Kesehatan mendapatkan rujukan dari Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama atau Puskesmas (FTKP) untuk ke rumah sakit. Melalui rujukan online, peserta akan dilayani dokter spesialis dan mendapatkan rujukan dokter yang tepat karena adanya rekam jejak pasien dalam sistem tersebut dan memilihkan rumah sakit terdekat dengan lokasi peserta.

"Yang dulu peserta membludak di satu rumah sakit, antrenya sejak subuh, maka harapannya dengan sistem ini pasien akan terdistribusi dengan baik," kata Deputi Direksi Bidang Jaminan Pembiayaan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief.

Tak berhenti di sana, Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun memanggil pihak-pihak terkait untuk mencari solusi kekisruhan BPJS Kesehatan. Komisi IX akan menggelar Rapat Kerja Gabungan bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, serta Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Dewan Jaminan Sosial Nasional (DSJN) dan Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada Senin, 17 September 2018, pukul 14.00 WIB. Agendanya membahas beberapa masalah BPJS Kesehatan, termasuk upaya menanggulangi dan mengendalikan defisit keuangan.  

Sementara anggota Komisi IX Irma Suryani mengatakan bahwa  BPJS sangat berguna bagi rakyat. Namun Irma mengakui pelayanannya memang belum sempurna karena selain tarif yang belum sesuai, peserta tidak disiplin bayar iuran, masyarakat belum sadar kesehatan, sosialisasi yang kurang masif dan kapitalisasi yang tidak berdasarkan pelayanan. "Karena itu, solusinya akan kami bicarakan bersama besok (Senin, 17 September 2018), termasuk tentunya membahas defisit BPJS," katanya kepada VIVA, Minggu, 16 September 2018.

Upaya mengurai sengkarut BPJS ini diharapkan segera terealisasi. Pembenahan BPJS, intervensi pemerintah dan usaha yang dilakukan bersama para stakeholder, dan wakil rakyat diharapkan mendapatkan solusi tepat. Dan bagai sedang di gurun pasir, mereka semua berharap menemukan sebuah oasis.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya