Survei

Kaum Muda Muslim, Politik dan Demokrasi

Ratusan santri mengaji di pondok Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)
Sumber :
  • Antara/ Arief Priyono

VIVAnews –  Survei politik ramai lagi.  Mei lalu Indobarometer merilis hasil survei soal pemerintahan reformasi dan Orde Baru. Mengejutkan -- di tengah hinggar binggar politik belakangan ini --mayoritas responden mengaku sudah rindu dengan jaman Soeharto. Meski metode survei ini dikritik sejumlah kaum cendekia, pembicaraan soal Soeharto kembali marak. Dinasti Soeharto kemudian masuk radar politik nasional.

MTsN 1 Pati Kirim Tiga Siswa ke Thailand untuk Olimpiade Matematika Internasional

Sesudah itu muncul jajak pendapat Lingkaran Suvei Indonesia. Dari jajak pendapat ini diketahui bahwa elektabilitas Partai Demokrat merosot.  Perolehan partai itu berkurang lantaran kasus hukum yang membelit sejumlah elit partai itu. Partai itu dinilai tidak tegas terhadap kadernya yang terbelit kasus hukum.

Kini ada survei baru lagi. Digelar oleh  Goethe Institut dan The Friedrich Naumann Foundation for Freedom bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI). Soal politik dan korupsi. Cuma lebih spesifik. Responden mereka adalah kaum muda muslim di tanah air.

Prabowo Tetap Dikawal Satgas Pengamanan Capres Polri hingga H-30 Pelantikan

Hasil survei itu dikirim ke media massa Selasa 14 Juni 2011. Sejumlah 48 persen responden menganggap politik  sudah membosankan, sementara hanya 28,6 persen responden yang merasa tertarik dengan dunia politik. Kaum muda muslim juga meragukan mekanisme politik yang berlaku di republik ini.

Mayaoritas kaum muda yang menjadi responden itu menilai bahwa korupsi masih marak. Sebanyak 66,7 persen menilai korupsi dan suap belum berkurang di Indonesia.  Mereka tidak berharap banyak pada politisi memperbaiki keadaan itu. Sebab 62,6 persen responden merasa  bahwa para politisi hanya berkepentingan untuk memperoleh suara terbanyak pada pemilu berikutnya, tahun 2014.

Survei juga menunjukkan bahwa kaum muda muslim yang sudah bekerja dan memiliki pendapatan memadai, tidak begitu percaya dengan pemerintah, dibanding dengan rekan mereka yang memiliki pendapatan lebih rendah. Lebih jauh lagi, kaum muda muslim di pedesaan ternyata cenderung mengikuti proses politik dan lebih optimis tentang masa depan Indonesia, dibanding dengan rekan mereka di daerah perkotaan.

“Bukan berita menyenangkan mengetahui mayoritas anak muda muslim tidak tertarik politik dengan berbagai alasan. Meski demikian, ketidaktertarikan mereka terhadap politik itu tidak termasuk soal demokrasi,” kata Vera Jasini Putra, Project Officer The Friedrich Naumann Foundation for Freedom.

Ia menjelaskan, berkebalikan dengan hasil survei yang menunjukkan apatisme politik, kaum muda muslim justru cenderung memandang sistem demokrasi itu baik. “Anak muda muslim percaya, demokrasi membuat politik makin terbuka,” kata Vera di Goethe Institut, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa 14 Juni 2011.

Survei terhadap kaum muda muslim ini sebenarnya tidak hanya digelar di Indonesia, tapi juga di Malaysia. Khusus untuk Malaysia, Goethe Institut dan The Friedrich Naumann Foundation for Freedom bekerja sama dengan Merdeka Center for Opinion Research Malaysia. Total responden di kedua negara adalah 2.500 kaum muda muslim berusia antara 15 sampai 25 tahun.

Responden di Indonesia sendiri berjumlah 1.496 kaum muda yang tersebar di ke-33 provinsi. Metode wawancara dilakukan secara tatap muka, dengan margin of error 2,6 persen. Meski baru dirilis sekarang, namun survei sebetulnya dilakukan tahun lalu, tepatnya 18-26 November 2010.

Kecurigaan Partai Islam

Wasekjen PPP Romahurmuziy menyatakan, hasil survei tersebut sebenarnya tidak mengejutkan. “Itu merupakan cerminan pandangan masyarakat secara umum terhadap politik dan partai politik,” kata dia kepada VIVAnews. Politisi muda itu berpendapat, apatisme kaum muda muslim terhadap proses politik merupakan akibat perilaku politisi yang mengecewakan.

Sementara perilaku politisi yang mengecewakan, semisal terlibat suap dan korupsi, menurutnya adalah dampak dari kontestasi politik pasca reformasi yang berbiaya tinggi. “Mereka seperti itu karena ingin mengembalikan modal politik yang terkuras habis,” kata pria yang akrab disapa Romi itu.

Apapun, Romi justru mencurigai survei yang membidik kaum muda muslim itu. “Survei tersebut tendensius. Kenapa hanya menyasar kaum muda muslim? Apakah untuk mengecilkan animo masyarakat muslim di Indonesia?” kata Romi. Ia berpendapat, dikotomi antara kaum muda muslim dan nonmuslim sebetulnya tidak relevan, karena mayoritas rakyat Indonesia memang menganut agama islam.

Patahnya Teori Benturan Peradaban

Analis Politik LSI Burhanuddin Muhtadi membantah kecurigaan Romi. Ia menjelaskan bahwa ada tiga alasan mengapa Goethe Institut, The Friedrich Naumann Foundation for Freedom, dan LSI melakukan survei terhadap kaum muda muslim. “Pertama, secara statistik, kaum muda muslim jumlahnya besar – separo dari jumlah penduduk Indonesia di bawah 30 tahun,” kata Burhanuddin.

Kedua, lanjutnya, sampai saat ini belum ada studi soal kaum muda muslim di tanah air. “Ketiga, kaum muda muslim menjadi fokus karena dalam literatur sering disebut adanya benturan antara sistem demokrasi dengan Islam,” kata Burhanuddin sambil menyebut tesis Samuel P. Huntington yang berjudul ‘The Clash of Civilizations.’

“Ternyata, melalui survei ini, tesis benturan peradaban Barat (demokrasi) dengan Islam itu tidak terbukti di Indonesia,” tegas Burhanuddin. Survei tersebut justru menunjukkan dengan jelas bahwa kaum muda muslim Indonesia sangat mempercayai nilai-nilai demokrasi.

Melalui sistem demokrasi, 70 persen responden dalam survei ini meyakini bahwa rakyat dapat mengganti pemerintah yang tidak mereka kehendaki, 66,3 persen responden berpendapat bahwa keberlangsungan demokrasi memerlukan partai oposisi, dan 49 responden tidak setuju bila pemimpin agama menggantikan peran para politisi.

Dengan demikian, ketidakpuasan kaum muda muslim terhadap proses politik, bukan akhir dari segalanya. Burhanuddin mengemukakan, dengan penerimaan kaum muda muslim tanah air terhadap sistem demokrasi, maka apatisme politik mereka masih berada pada level praksis.

“Pemuda kita bisa membedakan kok. Misalnya, jika ada partai yang korup, maka yang buruk itu bukan sistem demokrasinya, tapi pelakunya. Sama seperti pelaku teroris itu bukan Islam, tapi oknum,” kata Burhanuddin. Jadi, imbuhnya, yang harus dilakukan saat ini adalah membangun sistem demokrasi yang memenuhi ekspektasi kaum muda dalam soal keamanan, hukum, dan politik.

Partai politik sebagai institusi pun, ujar Burhanuddin, harus diperbaiki agar bisa menarik minat kaum muda. “Ada persoapan pada parpol. Itu harus diperbaiki untuk menghapus apatisme politik, karena bagaimanapun, kaum mudalah yang akan melanjutkan perjuangan bangsa ini,” kata dia.

DPR Tolak Iuran Pariwisata Dibebankan ke Industri Penerbangan, Tiket Pesawat Bisa Makin Mahal
Laura Theux dan Indra Brotolaras

Selamat! Laura Theux dan Indra Brotolaras Dikaruniai Anak Pertama

Laura Theux dan Indra Brotolaras memberi nama  anak pertamanya itu Wayan Victoria Semesta Brotolaras, yang lahir pada pukul 08.06 pagi.

img_title
VIVA.co.id
26 April 2024