Gerakan Rp1.000 Bagi Balita Shafa dan Azka

Deklarasi Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka, penderita GBS
Sumber :
  • Antara/ M Agung Rajasa

VIVAnews - Sejumlah orang mendeklarasikan Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka, dua balita yang menderita Guillain–Barré syndrome (GBS). Dua bocah itu sekarat karena penyakit yang mengacaukan kerja daya tahan tubuh mereka sehingga harus hidup dengan bantuan alat di rumah sakit.

Jelas saja pengobatannya membutuhkan biaya besar. Puluhan juta diperlukan setiap harinya mempertahankan kehidupan kedua bocah yang berasal dari kota berbeda itu.

Untuk itu, sejumlah mantan penderita GBS, dan orang tua mantan penderita GBS mendeklarasikan gerakan ini, dengan tujuan menghimpun dana kemanusiaan dari masyarakat luas. Dana itu dipakai untuk meringankan biaya pengobatan dan perawatan Shafa dan Azka. Dengan demikian mengurangi beban pinjaman keluarga penderita.

"Kami juga ingin mensosialisasikan penyakit GBS pada masyarakat, mulai dari keluhan, gejala klinis, sampai tindakan medis yang dapat dilakukan berdasarkan pengalaman dari Shafa, Azka, dan penderita GBS lainnya," ujar Ketua Koordinator Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka, Silvia Wahyuni, dalam jumpa pers di Kayumanis, Jakarta Timur, Minggu, 7 Agustus 2011.

Penyakit GBS yang diderita dua balita yang kini dirawat di RS Cipto Magunkusumo itu mengacaukan kerja daya tahan tubuh sehingga terjadi autoimmune. Sel pada susunan syaraf tepi hingga beberapa organ tertentu tidak merespons informasi dari otak. Akibatnya penderita GBS akan mengalami kelumpuhan bahkan gagal nafas dalam jangka waktu cukup lama.

"Biasanya penyakit ini diderita orang dewasa berusia 40 tahun ke atas. Menteri Kesehatan sendiri merasa kaget dan kecolongan, kenapa baru sekarang ketahuan ada pasien balita penderita GBS. Kami tidak ingin ada Shafa dan Azka berikutnya," kata Silvia.

Orangtua Azka, Anto, yang juga hadir di jumpa pers itu, mengatakan kondisi putranya kini cukup baik setelah dipindahkan ke RSCM pada 2 Agustus 2011 dini hari lalu. "Ada perbaikan tapi belum banyak. Di sana Azka sudah mulai bisa duduk, tapi motorik tangan belum ada respons," kata dia.

Anto adalah dosen di Universitas Lancang Kuning Pekanbaru, dan ia berharap pemerintah dapat membantu Azka dan Shafa 100 persen dalam hal pembiayaan pengobatan sesuai janji Dirjen Kementerian Kesehatan beberapa waktu lalu.

"Sejak awal Azka mengidap penyakit GBS, saya harus deposit uang Rp10 juta tiap harinya. Tapi saya juga memanfaatkan Askes. Mudah-mudahan Azka tidak menggunakan dana ini, dan bisa digunakan ke penderita GBS lainnya, karena mudah-mudahan biaya Azka akan ditanggung pemerintah 100 persen," ujarnya.

Rp24 Juta Sehari

Namanya Cadas Propopuli Azzam Baribin. Pada usia 10 tahun, kecadasan Cadas pun diuji dengan penyakit GBS ini.

Film Keajaiban Air Mata Wanita Sajikan Keajaban dan Kehangatan

"Awalnya anak saya mengalami kesemutan di telapak kaki yang menyebabkan sakit luar biasa hingga ke paha, lalu saya bawa ke dokter, akhirnya dirujuk ke RS Pondok Indah," ujar orang tua Cadas, Nia Damayanti, saat ditemui VIVAnews.com dalam acara deklarasi Gerakan Seribu Rupiah Peduli Shafa dan Azka di Kayumanis, Jakarta Timur.

Cadas dirawat di RS Pondok Indah sejak 2 Mei 2010 sampai dua minggu kemudian. Dalam masa pengobatan tersebut, Nia mengatakan bisa mengeluarkan biaya hingga lebih dari Rp24 juta per hari.

"Penderita GBS itu obatnya bernama Gamunex, berupa cairan yang dimasukkan ke dalam tubuh melalui infus. Kadar obatnya tergantung berat badan pasien, kebetulan untuk anak saya waktu itu membutuhkan 18 ampul dalam sehari," kata Nia. Nia menjelaskan, satu botol Gamunex berisil lima ampul, harga per botolnya Rp7,5 juta. Dalam sehari, Nia membeli 3 botol Gamunex dan 3 ampul satuan seharga Rp2,5 juta.

"Pokoknya totalnya harus 18 ampul sehari, itu harganya bisa Rp24 juta sehari. Sampai-sampai suster di RSPI itu suka kasihan tiap memberi bon itu kepada saya tiap hari, dan itu saya lakukan terus selama 14 hari demi kesembuhan anak saya," kata dia.

Nia mengaku, keadaan ini sempat membuat kondisi keluarganya berubah total. Setiap hari Nia terobsesi mencari tahu mengenai penyakit GBS di internet maupun melalui ahli, sehingga keluarganya sempat terabaikan. "Penyakit ini mengubah kehidupan keluarga, saya jadi tidak pernah mengobrol dengan suami, anak bungsu saya jadi diurus pembantu, karena saya sibuk mencari penyebab anak saya bisa begini," katanya.

Setelah dua minggu, Cadas masih harus melakukan fisioterapi sampai Juli 2010, dan berjalan dengan bantuan tongkat. Namun, siapa sangka seminggu kemudian kambuh kembali penyakit GBS tersebut.

"Anak saya kembali diinfus dengan Gamunex. Kemudian saya terbang ke Singapura untuk memastikan kesembuhannya, lalu September 2010 baru anak saya dinyatakan benar-benar sembuh," tuturnya.

Kini, Cadas telah berusia 12 tahun dan bersekolah di SMP Negeri 68 Jakarta. Ahli medis telah membolehkannya beraktivitas seperti remaja pada umumnya.

Setelah Cadas sembuh, Nia baru ingat, sekitar enam bulan sebelum anaknya didiagnosa GBS, dia sempat mengantar Cadas ke dokter THT. "Waktu itu dia flu, lalu dokternya menemukan katanya ada virus yang bisa menyerang (sampai) ke gagal organ. Tapi belum sampai ke GBS. Enam bulan setelah itu Cadas malah kena GBS, ternyata dari sinusitis kata dokternya bisa kena GBS," katanya.

Nia pun berharap dengan pengalamannya ini, bisa membuat para penderita GBS lainnya memiliki semangat hidup tinggi agar bisa sembuh lagi. "Memang tidak bisa dibandingkan dengan keadaan Shafa dan Azka, karena anak saya cuma baru sampai paha dan masih bisa bicara. Tapi saya berharap dua balita ini bisa kembali sembuh seperti anak saya tentunya," katanya.

Janji Menkes


Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih sudah mengetahui kondisi Azka dan Shafa ini. Endang sudah mengunjungi Shafa Azalia (4) di RS St. Carolus, Jakarta, Senin 1 Agustus 2011. Dalam kunjungannya tersebut, Menkes mengakui bahwa penyakit itu merupakan jenis penyakit yang langka.

Kesemutan mungkin dianggap sebagai suatu hal yang wajar karena efek yang tidak terlalu besar pada penderita ketika itu terjadi. Terlebih, biasanya, dalam waktu yang tidak lama, kesemutan akan hilang dengan sendirinya.

"Kesemutannya nggak hilang-hilang, kalau kita ketindihan biasanya kesemutan tapi hilang. Kalau ini nggak hilang-hilang dan makin naik," kata Endang.

Menkes menerangkan bahwa GBS adalah penyakit langka yang ditemukan pada tahun 1859 tetapi baru tahun 1916 dideskripsikan dengan jelas oleh beberapa ilmuwan Perancis, diantaranya adalah Jean-Alexander Barré dan Georges Charles Guillain.

Pada awalnya, Endang berpikir penyakit itu hanya menyerang orang dewasa. Namun ketika dua balita Indonesia, Muhammad Azka Arriziq dari Bogor (4) dan Shafa Azalia dari Jakarta (4,6), terinfeksi pemahamannya pun berubah.

Oleh karena itu, langkah terbaik menurutnya, ketika seseorang merasakan gejala-gejala penyakit itu adalah memeriksakan diri ke rumah sakit atau puskesmas terdekat. "80 Persen bisa sembuh total. Meskipun obatnya mahal, satu botol antara 2,2-2,7 juta sehari, diberikan hanya 5 hari tergantung dari berat badan," katanya.(np)

Mobil All New Agya GR Sport

Bikin Istri dan Pacar Senang, Ini Pilihan Mobil Baru Buat Gaji UMR

Bagi karyawan yang bekerja di Jakarta dengan rata-rata gaji UMR, atau upah minimum regional sebesar Rp5 jutaan, ada beberapa mobil baru yang bisa dibeli dengan kredit....

img_title
VIVA.co.id
11 Mei 2024