Dana Daerah Sia-sia, Belanja Pegawai Diatur

Agus Martowardojo
Sumber :
  • VIVAnews/Adri Irianto

VIVAnews- Ini soal keuangan daerah. Sesudah reformasi bergulir, pemerintah melakukan desentralisasi fiskal. Desentralisasi keuangan. Otonomi disusul dengan mengalirkan uang dari pusat ke pemerintah daerah. Sudah satu dasawarsa, kebijakan itu dinilai kurang efektif. Ekonomi daerah tak kunjung mandiri. Malah kian kuat menyusu ke pusat. Ada pula yang tidak optimal memakai uang.

Kisah Jenderal Soemitro, dari Ramalan Boneka Jailangkung Jadi Tentara Kesayangan Soeharto

Selasa 13 September 2011, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menegaskan bahwa realisasi transfer dana ke daerah dinilai belum sepenuhnya optimal. Sebagai contoh Agus menyebut daerah seperti Papua, Papua Barat, dan Aceh. "Selama satu dasawarsa terakhir, desentralisasi fiskal banyak keberhasilan, namun ada juga kekurangan," katanya.

Mengapa tidak optimal. Sejumlah daerah itu, kata Agus, lemah dalam menyusun perencanaan. Padahal perencanaan yang baik akan menentukan arah pengunaan anggaran. Perencanaan adalah hulu dari arah pembangunan daerah.

Jadwal Mobil SIM Keliling DKI Jakarta, Depok, Bandung, Bekasi Sabtu 11 Mei 2024

Itu sebabnya pemerintah akan merevisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004. Ini undang-undang yang mengatur perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pemerintah akan memasukkan batas dan batas bawah(capping) belanja pegawai dan belanja modal dalam keuangan daerah.

Belanja pegawai adalah biaya gaji dan pengeluaran lain, sedang belanja modal antara lain pembangunan infrastuktur daerah. Pembangunan infrastuktur itu jelas mempunyai daya dorong yang kuat terhadap pertumbuhan ekonomi daerah ketimbang belanja pegawai. Belanja modal jelas lebih berkualitas bagi ekonomi daerah ketimbang belanja pegawai.

Kylian Mbappe Umumkan Perpisahan dengan PSG, Menuju Real Madrid?

Repotnya proporsi kedua jenis belanja itu timpang selama ini. Dirjen Perimbangan Keuangan, Marwanto Harjowiryono, menegaskan bahwa kualitas belanja daerah itulah yang menjadi tantangan pemerintah daerah ke depan. Belanja aparatur daerah cenderung meningkat dari tahun ke tahun. "Jumlah rata-rata belanja pegawai di daerah 45 persen, bahkan ada beberapa daerah yang lebih," ujar Marwanto.

Batas atas dan batas bawah tadi diharapkan bisa mengontrol porsi kedua jenis belanja itu. Caranya dengan memasukkan ketentuan reward and punishment dalam revisi undang-undang tadi. Bagaimana bentuknya? Itulah yang kini tengah dibahas pemerintah.

Ada dua pilihan. Pertama, jika daerah memiliki belanja dengan rasio di atas 50 persen, maka daerah tersebut tidak diperkenankan menambah pegawai negeri. Alternatif kedua adalah menetapkan capping belanja modal minimal 20 persen. Jumlah itu perlu ditetapkan sebab, "Ada daerah yang belanja modalnya hanya 10-15 persen," kata Marwanto.

Daerah yang memiliki prestasi seperti penyusunan APBD tepat waktu, daerah yang opini transfer daerah wajar tanpa pengecualian, akan diberikan reward. "Sedangkan daerah yang pengelolaan APBD belanja pegawai tinggi tentu mendapat semacam penalti seperti moratorium pegawai negeri," katanya.

Dana transfer daerah selama 10 tahun terakhir memang meningkat cukup signifikan. Saat ini, dari Rp1.200 triliun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2011, sekitar Rp400 triliun merupakan dana transfer daerah dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Otonomi Khusus.

Kini sebuah tim khusus sedang mengkaji berbagai masukan soal perimbangan keuangan pusat dan daerah ini. Diharapkan akhir tahun ini draf revisi sudah siap dan dapat diajukan Dewan Perwakilan Rakyat pada 2012.

Soal membesarnya gaji pegawai di sejumlah daerah memang membuat pemerintah pusat kelimpungan. Uang dialirkan ke daerah, tapi saban tahun ketergantungan kian tinggi. Sebab banyak yang digunakan untuk gaji pegawai negeri itu. Itu sebabnya, tahun ini pemerintah memberlakukan moratorium atau penghentian penerimaan PNS sambil mengatur struktur pengaturan gaji pegawai yang ideal.

Dua tahun belakangan proporsi anggaran gaji pegawai itu meningkat signifikan. Tahun 2011 sebesar  20,14 persen dari  APBN-P dan naik  22,61 persen atau mencapai Rp215,7 triliun pada tahun 2012.

Presiden SBY Juga Mengeluh

Soal ketimpangan dalam pengunaan anggaran itu juga dikeluhkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato kenegaraan di DPR, 16 Agustus 2011. Daerah, kata SBY, harus mengoptimalkan pemanfaatan anggaran.  Jenis belanja yang lebih produktif, seperti belanja modal atau belanja infrastruktur harus diberikan porsi yang lebih besar dan diprioritaskan dalam pembangunan daerah.

"Pengelolaan APBD di berbagai daerah masih belum efektif, yang ditunjukkan alokasi belanja pegawai yang terus meningkat. Sebaliknya, porsi belanja modal untuk pembangunan daerah justru menurun," ujar SBY waktu itu.

Yudhoyono menegaskan bahwa untuk memperbaiki postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pemerintah daerah harus benar-benar menempatkan kesejahteraan masyarakat sebagai prioritas utama, baik dalam perencanaan dan pelaksanaannya, maupun dalam pengelolaan keuangan daerah.

"Kebijakan moratorium pengangkatan PNS daerah yang kita jalankan dewasa ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan pemanfaatan anggaran di daerah. Sebaliknya, belanja-belanja yang lebih produktif, seperti belanja modal atau belanja infrastruktur harus diberikan porsi yang lebih besar dan diprioritaskan dalam pembangunan daerah," kata SBY.

Menurut SBY, peningkatan porsi belanja pegawai dalam APBD berkaitan erat dengan terjadinya penambahan dan pengangkatan Pegawai Negeri Sipil baru daerah setiap tahun, yang dalam banyak kasus, tidak sesuai dengan kompetensi dan keperluannya.

"Yang lebih memprihatinkan, sebagian belanja modal juga digunakan untuk pembangunan rumah dinas, pengadaan mobil dinas, dan pembelanjaan lain yang tidak tepat. Seharusnya, belanja modal digunakan untuk pembangunan infrastruktur, misalnya jalan dan jembatan, yang justru perlu ditingkatkan," tambah dia.

SBY juga mengajak DPR untuk mencermati pertumbuhan daerah baru. Sejak pelaksanaan otonomi daerah pada 1999 hingga saat ini, daerah baru  mengalami penambahan yang luar biasa hingga 205 daerah, yang terdiri atas 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34 kota. Dengan demikian, jumlah daerah saat ini telah mencapai 524 daerah, yang terdiri atas 33 provinsi, 398 kabupaten, dan 93 kota.

"Akibatnya, alokasi anggaran yang sesungguhnya diperuntukkan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat, banyak yang harus kita alihkan untuk pembangunan fasilitas pemerintahan, belanja pegawai, dan keperluan lain bagi pemekaran daerah baru," kata SBY.

Dari sisi pendanaan APBN, pemekaran daerah baru akan berdampak terhadap keuangan negara. Implikasi paling nyata yang dirasakan oleh daerah adalah menurunnya alokasi riil dana alokasi umum.

Semakin banyak daerah, tentu akan berdampak pada penyebaran dana alokasi umum secara proporsional kepada seluruh daerah. Sementara itu, implikasi yang dirasakan oleh pemerintah pusat adalah meningkatnya kebutuhan penyediaan dana alokasi khusus dan meningkatnya alokasi belanja pemerintah untuk mendanai instansi vertikal di daerah.

Belanja Pegawai Bisa Mencapai 75 Persen

Kementerian Dalam Negeri sendiri pernah mengungkapkan belanja pegawai daerah yang diambil dari dana alokasi umum (DAU) pusat rata-rata nasional sebesar 57 persen. Beberapa daerah bahkan bisa mencapai 60-80 persen.

"Dari data DAU yang ditransfer ke daerah, tak dibantah 57 persen habis untuk gaji pegawai," ujar Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Raydonnyzar Moenek saat dihubungi VIVAnews.com.

Raydonnyzar menjelaskan meski gaji pegawai menghabiskan 57 persen dari DAU, namun secara agregat jika belanja pegawai dibandingkan dengan total belanja, rata-rata nasional mencapai 39 persen. Ada juga daerah yang belanja pegawainya mencapai 75 persen.

Sementara itu dari sisi postur anggaran, Eksekutif Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai postur anggaran Rancangan Anggaran Pendapatan Negara (RAPBN) 2012 tidak ideal. Anggaran belanja modal hanya 17,62 persen sedangkan alokasi belanja rutin justru naik alokasinya dari 78,49 persen APBN-P 2011 menjadi 80,43 persen 2012.

Dana transfer daerah dari pemerintah pusat ke daerah meningkat, tetapi proporsi terbesarnya adalah untuk Dana Alokasi Umum. DAU itu 70 persen-nya digunakan untuk membayar gaji pegawai sehingga dana transfer daerah tidak berdampak pada penguatan ekonomi daerah.

Indef juga menilai pemerintah tidak konsisten terkait kebijakan anggaran. Proporsi anggaran gaji pegawai meningkat dari 20,14 persen pada APBN-P 2011 menjadi 22,61 persen atau mencapai Rp215,7 triliun. Meningkatnya alokasi belanja untuk gaji pegawai itu bertentangan dengan kebijakan untuk moratorium PNS.

"Semua lembaga independen menyatakan jumlah PNS kita sudah terlalu besar, sehingga kalau ada pembentukan lembaga baru seharusnya bisa relokasi, jadi jangan ada lembaga baru pegawainya baru juga," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya