Para Penyelamat di Pusaran Tragedi

- ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
VIVA – Menjelang sore di Pelabuhan Tigaras, udara kawasan Danau Toba terasa makin dingin, angin pun berembus kian kencang. Dikelilingi perbukitan, di pelabuhan itu sayup-sayup terdengar isak tangis yang menambah pilu suasana.
Dalam jarak tertentu dari zona sandar kapal di dermaga, tampak orang berkumpul. Wajah-wajah di sana menunjukkan raut sedih dan harap-harap cemas. Tubuh-tubuh para penanti terlihat lemas, lunglai sambil memandang ke kejauhan danau Toba yang menghampar luas.
Mereka menanti anak, orangtua, sepupu, kemenakan dan kerabat yang raib, bisa ditemukan setelah berhari-hari KM Sinar Bangun tenggelam makin jauh ke dasar danau. Kapal penumpang tersebut karam pada 18 Juni 2018 saat berlayar dari Tigaras menuju Simanindo akibat kelebihan muatan yang luar biasa. Akibat musibah ini, dari 21 korban, tiga orang tewas dan 18 berhasil selamat. Yang menyedihkan, hingga 167 korban masih hilang. Mereka diduga masih berada di bawah permukaan air.
Keluarga korban KM Sinar Bangun
Namun di sela kondisi ratap tangis itu, sekelompok orang dengan busana warna jingga sibuk berkomunikasi dan mempersiapkan berbagai peralatan yang mereka punya. Di sisi lain pelabuhan, tampak diatur persiapan tim yang akan diterjunkan secara bergantian termasuk para penyelam yang menyisir korban-korban Sinar Bangun. Kapal patroli dan perahu-perahu karet juga disiagakan.
Sejak pagi hingga petang setiap harinya, tim Basarnas mengawal pencarian dan penyelamatan tragedi kemanusiaan ini. Hingga 1800 personel SAR gabungan termasuk sebagian besar dari Basarnas ikut turun. Jumlah tim yang cukup masif segera didelegasikan setelah diketahui lebih dari 160 orang korban saat itu belum ditemukan.
Budiawan termasuk personel yang bertugas. Pada Senin, 18 Juni 2018, dia menerima informasi karamnya KM Sinar Bangun. Sejurus, Budiawan langsung membentuk tim yang siap berangkat ke lokasi kejadian dengan perjalanan sekitar empat jam bahkan lebih dari Kota Medan.