Polemik Defisit Anggaran BPJS Kesehatan

- ANTARA FOTO/Irsan Mulyadi
VIVA – Gugatan hukum yang dilayangkan pasien terhadap Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan baru-baru ini menyentak kita semua. Lembaga yang diberi mandat menyelenggarakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu sontak mendapat sorotan.
Jika Anda mengikuti pemberitaan media sejak pertengahan Juli lalu, mungkin sudah mendengar kisah Edi Haryadi dan istrinya, Yuniarti Tanjung. Pasangan ini kecewa lantaran BPJS Kesehatan menghapus penjaminan obat kanker HER2 positif, trastuzumab, yang dibutuhkan Yuni untuk menyembuhkan penyakitnya.
“Jujur saja, saya menyesalkan dengan pelayanan dan juga adanya kebijakan penghapusan obat trastuzumab yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan ini. Karena ini kan masalah nyawa manusia. Obat itu kan memang diperuntukkan untuk penderita kanker seperti istri saya, dan kami ini adalah masyarakat yang membayar iuran BPJS,” kata Edi pada VIVA, saat mengantar istri berobat di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Rabu 15 Agustus 2018.
Menurut Edi, Yuni yang divonis menderita kanker sejak Desember 2017 lalu, diberi penanganan oleh dokter melalui metode kemoterapi dan resep obat trastuzumab. Obat yang memiliki nama lain herceptin ini diklaim manjur menghancurkan sel kanker, dan memang khusus digunakan untuk terapi jenis kanker seperti yang menyerang Yuni.
"Trastuzumab disetop 1 April, istriku terdeteksi bulan Mei, dokter itu sempat meresepkan pada bulan Juni pas kemoterapi pertama, trastuzumab untuk istriku. Ketika aku ke apotek baru ketahuan bahwa trastuzumab itu sudah dihentikan," ujar Edi menambahkan.
Polemik antara Edi-Yuni dan BPJS Kesehatan tersebut, lantas menjadi isu besar. Sempat beredar kabar bahwa alasan pemangkasan trastuzumab, disebabkan harga obat yang terlampau mahal, yaitu mencapai Rp15-25 juta untuk sekali pakai. Sedangkan pasien kanker HER2 positif membutuhkan setidaknya 17 kali sesi terapi menggunakan obat itu.
BPJS Kesehatan menampik tudingan tersebut. Trastuzumab tidak lagi dijamin karena Dewan Pertimbangan Klinis (DPK) menyatakan, obat ini tidak lagi efektif dengan skema JKN. DPK merupakan lembaga inisiasi Kementerian Kesehatan yang bertugas memberi rekomendasi obat-obatan serta layanan yang dijamin BPJS Kesehatan.