SOROT 526

Sutopo: Hidup Bukan Ditentukan Panjang Pendeknya Usia

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Sutopo susah payah menghela nafas. Matanya menerawang dan tangannya memegangi dada. Sesekali helaan nafas berat terdengar. Ia mengaku sedang menahan nyeri. "Kanker itu sakit, sakit sekali," ujarnya lirih. Tak ada nada gundah. Ia hanya mengungkapkan apa yang ia rasakan.

HUT RI Ke-79, Menko Luhut: Jangan Khianati Pengorbanan Pahlawan Kita

Sutopo Purwo Nugroho, pria yang punya peran penting dalam pemberitaan bencana di Indonesia ini mengaku tak ingin menyerah pada kanker paru stadium 4B yang kini menderanya. Seolah ingin melepas lelah, ia lalu merebahkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Ada pain killer disini," ujarnya. 

Ia membuka kancing baju, memperlihatkan bagian dada. Di situ terlihat semacam plester, berwarna coklat dengan ukuran sekitar 2x4cm.  "Pakai ini lumayan mengurangi nyeri dan sakit," ujarnya menambahkan. 

Pimpin Apel Kehormatan dan Renungan Suci di IKN, Jokowi Janji Teruskan Perjuangan Para Pahlawan

Ia kembali mengangkat bajunya, memperlihatkan pinggang bagian belakang. "Bagian ini dibolongi," ujarnya sambil memegangi area tubuh yang ia maksud. "Ini tempat untuk mengeluarkan cairan yang memenuhi rongga dada saya," ujarnya menjelaskan. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.

Pimpin Renungan Suci di Kalibata, Wapres Ma'ruf: Kami Hormat Sebesar-besarnya

Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho

Ia lalu memperlihatkan rekaman video ketika proses pengeluaran cairan dari tubuhnya dilakukan. Sebuah selang dimasukkan ke tubuhnya, di ujung selang ada tabung untuk menyedot cairan dari dalam tubuh. Ketika cairan disedot, Sutopo mengatakan itu adalah proses yang juga sakit. Tapi demi kesembuhan ia rela melakukan proses itu. Entah berapa liter cairan yang berhasil dikeluarkan. Warnanya kemerahan, karena bercampur darah. 

Ia bukan tak peduli dengan sakit yang kini telah menyebar ke berbagai bagian di tubuhnya, ia hanya tak ingin berlarut dalam diam. "Saya justru jadi bertambah sakit jika tidak melakukan sesuatu," tuturnya kepada VIVA yang menemuinya di Graha BNPB, Jakarta, Kamis, 8 November 2018. 

Meski dokter sudah memintanya untuk beristirahat, tapi Sutopo menolaknya. Ia mengaku tak enak jika hanya diam dan membiarkan penyakit melumpuhkan semangat hidupnya.

Peran dan jabatan Sutopo sangat strategis. Jika terjadi bencana di Indonesia, maka nama Sutopo Purwo Nugroho akan disebut pertama. Posisinya sebagai Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB menjadi rujukan utama. Nama Sutopo begitu terkenal,  bukan saja karena ia bekerja dengan penuh dedikasi dan selalu menjawab ketika dikontak. Tapi, juga karena sakit kanker paru stadium 4B yang menderanya. 

Sutopo terkenal, karena di tengah perlawanan mengatasi rasa sakit dan pengobatan yang ia jalani, ia tetap menerima telpon untuk wawancara, menggelar konferensi pers, membuat dan menyebarkan rilis soal bencana, membalas pesan melalui whatsapp, hingga menerima tamu dari berbagai kalangan. 

Selanjutnya, Menolak jadi Humas...

Tiga Kali Menolak Jadi Humas, Kini Populer

Nama Sutopo mulai dikenal publik ketika terjadi insiden jebolnya waduk Situ Gintung, Tangerang Selatan, Maret 2009. "Saya ada di sana dua pekan sebelum kejadian. Saya sempat memotret bendungan yang sudah mulai retak-retak. Saat itu saya sampaikan kepada warga agar berhati-hati. Tapi mereka menjawab bahwa bendungan itu tak akan jebol karena dibangun oleh Belanda," ujarnya mengenang.

Ucapan Sutopo terbukti, bendungan itu jebol. Derasnya air merusak ratusan rumah di sekitar aliran dan menewaskan 58 orang. Saat itu ia masih bekerja sebagai peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi atau BPPT.  Status sebagai peneliti membuat Sutopo boleh memberikan informasi soal dinding waduk yang retak dan sempat ia foto, termasuk bagaimana ia memberikan peringatan  pada warga sekitar.

"Saya perlihatkan semua foto-foto yang saya ambil, kepada wartawan. Ternyata informasi itu berharga sekali. Wartawan menulis penjelasan dan kutipan saya," tuturnya. Sejak itu, nama Sutopo mulai dikenal publik. 

Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB ternyata terkesan pada cara kerja Sutopo. Tahun 2010 ia diminta bergabung dengan BNPB. Sutopo bersedia karena merasa sudah jenuh dengan pekerjaan sebagai peneliti. Ia tak langsung bergabung penuh, namun masih paruh waktu. Agustus 2010, Sutopo bergabung secara penuh di BNPB, jabatan pertamanya adalah sebagai Direktur Pengurangan Risiko Bencana. 

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho (tengah) memberikan pemaparan mengenai dampak gempa bumi dan tsunami di kota Donggala dan Palu, Sulawesi Tengah saat konferensi pers di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jak

Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho

Bencana kembali terjadi di Indonesia. Tiga bencana besar terjadi, banjir di Wasior, gempa bumi dan tsunami di Mentawai, juga erupsi gunung Merapi. "Setelah meninjau tsunami Mentawai, Kepala BNPB saat itu Pak Syamsul Maarif langsung meminta saya menjadi Kepala Pusdatin dan Humas BNPB. Tapi saya menolak. Saya ngga bisa bikin berita hanya tentang kegiatan pak kepala," ujarnya. 

Saat itu ia mengira, pekerjaan humas adalah pekerjaan yang selalu membaguskan atasan dan lembaga. Ia juga mengaku tak percaya diri untuk menjadi Humas, karena tak memiliki kemampuan komunikasi semacam Humas. Tapi Kepala BNPB saat itu, Syamsul Maarif dengan tegas mengatakan, "Sudahlah, kamu itu sudah S3, sangat menguasai soal bencana. Publik pasti akan percaya kamu karena latar belakangmu." Tapi ucapan Kepala BNPB itu ditanggapi tawa oleh Sutopo. Ia tetap menolak. 

Bapak dua anak ini mengatakan, hingga tiga kali  ditawari memegang jabatan Kepala Pusdatin dan Humas BNPB, ia konsisten menolak. Tapi setelah meninjau erupsi Merapi, Kepala BNPB dengan tegas meminta ia geser jabatan. "Saya sempat mempertanyakan posisi saya saat itu sebagai Direktur Pengurangan Risiko Bencana. Tapi Pak Syamsul tegas menjawab, biarkan saja jabatan itu, atau kalau memang kamu keberatan jabatan itu kosong, kita tutup saja sekalian," ujar Sutopo, menirukan perintah Syamsul Maarif. Hanya selang beberapa hari setelah 'dipaksa' menerima jabatan, ia dilantik menjadi Kepala Pusdatin dan Humas BNPB. 

Perhitungan Syamsul Maarif tepat. Di tangan Sutopo, Pusdatin dan Humas BNPB menunjukkan tajinya. Sutopo bekerja dengan cekatan. Ia juga sangat menguasai bencana alam, sehingga wartawan yang bertanya akan merasa mudah menulis karena kemampuan Sutopo menjelaskan dengan detil. Ia bahkan tak keberatan ditelpon ulang oleh wartawan hanya untuk memastikan mereka tak salah kutip. Tak hanya menunggu dikejar pertanyaan, Sutopo juga memutuskan rutin membuat rilis soal bencana yang terjadi. 

Bahkan saking inginnya berita soal bencana ditulis dengan benar, Sutopo membuat sendiri rilis dalam bentuk powerpoint. "Supaya wartawan bisa mengabarkan dengan tepat, kondisi yang terjadi di lokasi bencana alam," ujarnya. Ia juga membuat group whatsapp dengan ratusan wartawan. "Saya kumpulkan kontak mereka satu per satu. Memudahkan saya untuk memberi informasi dan menyebar rilis," ujarnya menjelaskan. 

Tanpa terasa, kini sembilan tahun sudah Sutopo menjalankan perannya. Diawali dengan penolakan, kini ia menjalankan jabatan itu dengan sungguh-sungguh. Bahkan ketika terjadi gempa Palu dan Donggala, Presiden Jokowi menunjuk Humas BNPB itu menjadi juru bicara nasional pemberitaan gempa Palu dan Donggala. Sutopo mengaku sangat bersyukur atas apa yang ia terima saat ini. Di tengah rasa nyeri dan sakit yang ia alami, kepopulerannya membuat ia banyak menerima surat dan bingkisan dari orang-orang yang tak ia kenal. Mereka memberi support melalui surat, juga aneka obat-obatan tradisional yang dikirim oleh mereka yang bersimpati padanya. 

"Hampir setiap hari saya menerima surat atau bingkisan berisi obat-obatan tradisional. Di suratnya, mereka memberi dukungan dan mendoakan saya semoga cepat sembuh," ujarnya. Untuk itu ia mengaku senang tak terkira. "Saya tak berjuang sendirian demi kesembuhan saya. Banyak warga yang tak saya kenal mengirimkan surat, mendoakan, dan menyarankan aneka pengobatan. "Jika saya tak seperti sekarang ini, belum tentu dukungan sebesar ini saya terima," ujarnya. 

Selanjutnya, Menerima Kenyataan...

Berjuang Menerima Kenyataan

Sutopo mengaku tak mudah untuk bisa tiba di proses seperti saat ini. Di mana ia akhirnya memilih berdamai dengan penyakitnya dan terus bergerak untuk kemanusiaan. Ketika pertama divonis kanker, Sutopo mengaku kerap menangis dan mempertanyakan mengapa ia kena kanker. 

Penyakit berat itu baru ketahuan awal Januari 2018. Diawali batuk yang tak kunjung sembuh, nyeri dada, dan susah bernafas, Sutopo memeriksakan kesehatannya. Dokter di sebuah rumah sakit di Jakarta mengatakan ia terkena TBC. Tapi Sutopo tak yakin. Ia merasa sehat. Maka obat-obatan medis yang harusnya ia minum setiap hari selama enam bulan ia hentikan. Ia memilih mencari second opinion. 

Rumah sakit kedua memeriksa lebih seksama, hasilnya malah mengagetkan. Ia divonis terkena kanker paru. Mengikuti saran seorang kolega, ia kemudian ke Malaysia, memeriksakan diri di sebuah rumah sakit terkenal. Ternyata hasilnya tetap kanker.

"Tanggal ketika saya di Malaysia bertepatan dengan gempa besar yang mengguncang Jakarta. Saya ingat, di rumah sakit saya pantau terus perkembangannya. Lalu ketika mendarat di bandara Soekarno Hatta, saya membuat rilis dan menyebarkannya ke media. Padahal saat itu saya baru pulang dari Malaysia," ujarnya. 

Ketika pertama divonis kanker, Sutopo sempat terpuruk. Ia mengaku shock, dan tak percaya. Bolak balik ia bertanya dan mengggugat Tuhan. "Mengapa saya, saya hidup sehat, tak merokok, menjaga pola makan, dan olahraga rutin. Tetap saja kena," ujarnya. 

Sutopo Purwo Nugroho menjalani pengobatan Kanker Paru-paru

Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menjalani pengobatan

Tak sreg dengan pengobatan di Malaysia, yang menurutnya tak jauh beda dengan Jakarta, ia memilih kembali ke tanah air. Padahal ia sudah membayar untuk proses kemoterapi di rumah sakit Malaysia tersebut.

Butuh dua bulan untuk Sutopo menguatkan diri sebelum memberi tahu kedua orangtuanya. Ia butuh menguatkan diri sendiri dulu dan menemukan jawaban tepat, mengapa ia sakit kanker. "Setelah saya tanya-tanya, dan cari informasi tentang kanker itu, kemudian saya menyimpulkan, semua hidup itu sudah digariskan oleh Allah, jadi termasuk saya yang kanker ini, yaa itu sudah perjalanan hidup. Kita jalani saja," tuturnya. 

Kemudian bapak saya juga bilang, "Le, orang itu hidup itu tinggal menjalani semua, dan tidak semuanya hidup itu seperti yang kita inginkan, lancar semuanya. tapi terkadang kita itu ada jurang, ada lembah yang harus kita lalui. Jadi kamu juga sama, sekarang kamu lagi dikasih cobaan dengan kanker seperti ini." 

Ketika ditanya apa yang membuatnya kuat dan terus bertahan, kristal air langsung muncul di matanya, suaranya tertahan di kerongkongan. Dengan suara gemetar dan terbata-bata, ia mengatakan, anaknya adalah hal yang membuat ia terus berusaha sembuh dan bertahan. Ketika menyebut anak, pertahanan Sutopo jebol. Matanya memerah, air mengalir perlahan. Sutopo sesaat terisak, ia tak mampu bicara. Setelah bisa menguasai diri, Sutopo lalu berkata, kedua anaknya selalu menelpon untuk menanyakan kabar. 

Anak pertamanya yang saat ini kuliah semester tiga di Universita Diponegoro sudah berpesan, ia ingin sang ayah menemani saat nanti diwisuda. Anak keduanya, yang baru duduk di kelas 7, kerap mengajaknya bermain Ludo melalui ponsel. Sutopo paham, itu adalah cara sang anak agar ia tak terlalu larut dan bisa mengalihkan rasa sakit. Tapi akhirnya ia terpaksa harus minta berhenti karena tak mampu menahan rasa sakit. Setiap mengingat kedua anaknya, Sutopo mengaku selalu merasakan ada api yang menyala di dalam dadanya. Mengajaknya untuk sembuh dan terus bertugas mengabarkan bencana. 

Sutopo mengatakan, kini ia menjalani garis hidupnya, semampu yang ia bisa. Kemampuan menerima apa yang terjadi membuatnya lebih tenang. "Setelah sakit, saya berani mengatakan, makna hidup itu bukan ditentukan panjang atau pendeknya usia, tapi seberapa besar kita bermanfaat untuk sesama. itu saya temukan ketika saya sakit seperti ini. selebihnya untuk karir dan lain sebagainya, saya tidak berfikir untuk karir, selebihnya saya hanya menjalani dengan tetap bekerja menjaga integritas, dan tetap berdoa. Terlebih doa orang tua," ujarnya.

Alumnus UGM dan IPB ini sangat ingin sembuh. Ia sungguh-sungguh berdoa mengharapkan kesembuhan. "Saya harapkan sekarang saya hanya ingin sembuh. Hanya itu saja sudah lah," ujarnya. Sutopo berharap sembuh, sehingga dirinya  bisa bekerja, dan mendampingi anak-anaknya sampai dewasa. “Ya sebatas itu," ujarnya.

Ia  mengaku sudah tak lagi mengejar karier. Baginya, jika ingin naik pangkat akan mudah sekali buat ia mengurus dokumen. "Kalau saya mau, tidak susah, dari segi prestasi saya banyak, dari segi kepangkatan saya sudah mentok, dari segi sekolah saya sudah doktor, sudah mentok. artinya sudah memenuhi persyaratan-persyaratan semua itu," ujarnya. 

Tetapi ia sadar fisiknya sudah tak mendukung. Meski menyadari banyak potensi lepas, tapi ia memilih ihklas. "Saya menikmati saja sekarang ini. Ikhlas saya bekerja dengan kondisi ini."  (mus)

Baca Juga

Syacrul Anto: Nyawa Ini untuk Menolong Orang

Anthonius Gunawan Agung Ajarkan Cara Mencintai Kemanusiaan

Tsunami Aceh Dekatkan Neni Muhidin ke Wilayah Bencana

Kisah Serdadu ‘Al-Maun’ di Lombok

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya