SOROT 557

Nada Miring Generasi Z

Generasi Z.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Bagi orang dewasa, teknologi yang ditawarkan melalui gawai alias gadget seperti dewasa ini, bisa dikatakan telah mengubah cara dalam menjalani hidup. Sebagai contoh, katakanlah kelompok demografi generasi Y, yaitu yang lahir pada awal 1980-an hingga 1994.

Wapres Gibran Sebut Sektor Digital Bisa 'Dongkrak' Pertumbuhan Ekonomi RI

Setidaknya, mereka pernah menghadapi masa, di mana surat-menyurat menggunakan perangko menjadi andalan untuk mengirim kabar pada keluarga, atau merasakan pengalaman menerima kiriman uang melalui wesel. Begitu juga mengabadikan suatu momen dalam bentuk foto, musti dilakukan dengan rol film di dalam kamera.

Itu hanya sebagian contoh. Jika Anda lahir di dekade yang sama dengan penulis (akhir 80an), Anda tentu menjadi saksi sejarah kehadiran ponsel layar monokrom. Gadget ini ada yang dilengkapi antena kecil, bernada dering 'seperti suara tikus' karena saking nyaringnya.

Era Digital dan Hak Cipta, Melly Goeslaw Dorong Pembaruan UU HKI

Ilustrasi pesan singkqt SMS.

Ilustrasi SMS

BPJS Ketenagakerjaan Launching Buku “Tantangan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan di Indonesia"

Namun sudah cukup membuat orang-orang yang memilikinya bahagia - atau bahkan bangga - karena dengan layanan Short Messages Service (SMS) dan panggilan suara, komunikasi jarak jauh bisa berlangsung lebih cepat dan langsung. Tak peduli mereka membayar mahal untuk mengisi pulsa.

Generasi Y juga menjadi saksi ketika orang-orang mulai meninggalkan telegram (surat kawat) yang tarifnya dihitung per huruf, atau menulis makalah memakai mesin tik yang bunyi cetak-cetoknya bikin sungkan pada tetangga sebelah.

Begitulah. Generasi Y sempat mengalami masa peralihan dari zaman teknologi jadul menjadi serba digital.

Nah, berbeda dengan generasi Y, generasi Z mereka lahir dan tumbuh di periode kemajuan teknologi digital yang telah memainkan peranan penting dalam sejarah kehidupan manusia. Generasi Z yang lahir pada rentang masa 1995-2010 ini tidak kenal dunia di mana perangkat pintar berada di luar jangkauan lengan. Dengan kata lain, saat mereka membuka mata pertama kali di dunia ini, cikal bakal smartphone mulai eksis.

Tak heran pula jika mereka dijuluki generasi net yang umumnya memiliki karakteristik digital native, lantaran telah bersinggungan dengan teknologi sejak lahir. Hingga pada dewasa ini, internet menjadi kebutuhan dasar mereka. Saat terjaga hingga akan tidur, Gen Z terhubung dan di-ninabobo-kan oleh perangkat elektronik yang online.

Duniaku Dunia Maya

Dengan internet yang mudah diakses 24/7, gen Z mengubah cara pemecahan masalah, mulai dari gaya berkomunikasi, belajar, mencari informasi, melamar kerja, hingga berbelanja. Ruang virtual bernama internet seolah tak ubahnya dunia nyata bagi gen Z karena mereka menemukan beragam jawaban dan kebutuhan hidup dari sana.

Untuk memahami lebih mendalam bagaimana kedekatan gen Z dengan internet, seorang pembicara khusus milenial dan gen Z, Ryan Jenkins, memaparkan sejumlah data tentang kebiasaan gen Z di Amerika Serikat.

Data ini dimuat di blog Ryan Jenkins - Next Generation Speaker. Dia memaparkan beberapa poin menarik dari generasi Z di Negeri Paman Sam itu.

1. 45 persen generasi Z di AS telah menggunakan paket layanan seluler antara usia 10 dan 12.

2. Aktivitas teratas generasi Z termasuk pengiriman pesan teks (81 persen), mengunduh aplikasi (59 persen), memainkan game yang sudah diinstal sebelumnya dan internet seluler/ mengakses situs web (53 persen) dan panggilan video langsung (46 persen).

3. 91 persen generasi Z menggunakan perangkat digital di tempat tidur di malam hari.

4. 40 persen generasi Z mengatakan Wi-Fi lebih penting daripada kamar mandi.

5. 32 persen generasi Z lebih suka pergi tiga hari tanpa mandi daripada pergi seminggu tanpa ponsel mereka.

6. Generasi Z di AS kemungkinan besar menerima perangkat game dan TV pada usia 4 hingga 7.

7. 66 persen generasi Z mencantumkan game sebagai hobi utama mereka.

8. 92 persen mahasiswa generasi Z memiliki akses ke Netflix dan 38 persen mengonsumsi video harian melalui Netflix.

sorot sosial media - akses internet - smartphone

Gen Z akrab dengan digital

Data ini masih belum termasuk perilaku mereka terhadap media sosial yang dipaparkan secara terpisah. VIVA merangkumnya berikut ini:

- Situs web/aplikasi teratas yang digunakan oleh generasi Z adalah YouTube (91 persen), Gmail (75 persen), Snapchat (66 persen), Instagram (65 persen), dan Facebook (61 persen).

- Generasi Z menggunakan hingga lima media sosial yang berbeda per hari.
- Tiga perempat generasi Z menonton video YouTube setidaknya setiap minggu.
- 42 persen generasi Z mengatakan media sosial memengaruhi harga diri, dibandingkan dengan 31 persen generasi Millenial, 23 persen Generasi X, dan 20 persen Baby Boomer.
- 82 persen generasi Z berpikir dengan hati-hati tentang apa yang mereka pasang di media sosial.
- 44 persen dari generasi Z memeriksa media sosial setidaknya setiap jam, dengan 7 persen memeriksa lebih sering daripada setiap lima belas menit.
- 1 dari 10 dari generasi Z lebih suka pergi tiga hari tanpa mengganti pakaian mereka daripada pergi tiga hari tanpa memperbarui feed Twitter mereka.

Dari sejumlah data tersebut, setidaknya diperoleh gambaran begitu akrabnya kaum Z dengan internet yang merupakan salah satu aspek dalam teknologi digital.

Nada Miring Generasi Z

Kelihaian mengandalkan teknologi sebagai bagian dari solusi pemecahan masalah hidup tentu merupakan nilai plus generasi Z. Namun jika bicara ranah dunia digital khususnya internet, bukan berarti tak ada sisi gelap yang mengancam keseimbangan hidup.

Di satu sisi, kalangan generasi Z dilabeli sebagai antisosial karena aktivitas online yang mereka jalani memperlihatkan gestur ‘melulu menatap layar gadget’. Tak peduli di mana pun.

Bayangkan saja jika berdasarkan data Ryan Jenkins, Anda menemukan gen Z yang tiap 15 menit memantau Instagram, ia tentu tampak seperti seseorang yang kecanduan screen time.

Lantas, sejatinya benarkah gen Z antisosial?

Sebuah narasi dari kalangan awam memberi penjelasan bahwa mereka bukan antisosial, gen Z justru sangat sosial hanya saja memiliki cara yang berbeda, yaitu melalui gawai dan perangkat media sosialnya.

Bahkan, sebuah artikel di thriveglobal yang dimuat pada 23 Oktober 2018, mengemukakan generasi Z tak begitu mementingkan interaksi tatap muka, asalkan koneksi di dunia online sudah cukup memadai.

Generasi Z bisa dengan mudah bertemu teman baru secara online. Hanya saja zonasi dan jaringan mereka kadang terkoneksi dengan earphone, sehingga memblokir semua kebisingan di luar (dunia nyata), dan ini tak perlu keluar kamar. Inilah mengapa mereka dicap sebagai generasi antisosial.

Gerakan patungan THR oleh platform donasi online, Kitabisa.com

Aksi donasi online di Kitabisa.com

Semua teknologi digital yang tersedia saat ini semua membuatnya lebih mudah untuk terhubung online. Mereka akan menghabiskan sebagian besar waktu berselancar di internet dan memilih versi digital dari semua aspek kebutuhan.

Mereka menghadiri webinar, menonton video di YouTube, kursus online, dan bahkan menemukan pasangan hidup.

Itu adalah hal yang impersonal dan seringkali tidak memerlukan banyak investasi emosional. Jadi, jika sebagian orang men-judge generasi Z sebagai antisosial, sepertinya harus dikaji ulang.

Akan tetapi, yang tak dapat dikesampingkan adalah pandangan sejumlah pakar yang khawatir terhadap keterampilan sosial generasi Z di dunia nyata.

Generasi Z digambarkan, mereka tidak lagi tahu bagaimana mengelola reaksi dan tindakan dalam situasi kehidupan sesungguhnya di mana mereka berdiri di depan orang-orang yang berinteraksi dengan mereka.

Generasi Z tidak lagi tahu bagaimana merespons situasi bermasalah atau sulit, di mana mereka harus berbicara dengan orang secara langsung untuk menyelesaikan persoalan atau mencari solusi.

Belum lagi masalah kesehatan mental generasi Z yang kerap dikaitkan dengan tekanan hidup. Sebuah laporan yang dirilis oleh American Psychological Association menemukan, jumlah remaja yang melaporkan gejala-gejala depresi berat meningkat 52 persen antara tahun 2005 dan 2017, yakni dari 8,7 persen menjadi 13,2 persen - di kalangan remaja berusia antara 12 dan 17.

Peningkatan ini bahkan lebih tinggi - 63 persen dari 2009 hingga 2017 - di antara orang dewasa muda berusia antara 18 dan 25. Perlu diketahui rentang usia generasi Z di tahun 2019 ini adalah 9 hingga 24 tahun.

Sebagai pembanding, survei mencermati data dari 611.880 responden usia remaja dan dewasa. Para peneliti tidak menemukan peningkatan serupa pada orang dewasa yang berusia lebih dari 26 tahun - yang mana mereka tidak termasuk generasi Z.

Masalah mental yang dialami generasi Z tersebut banyak dikaitkan dengan kedekatan mereka dengan dunia digital, yaitu di mana ranah itu adalah tempat mereka ‘hidup’ secara virtual. Di internet, mereka mudah menemukan beragam informasi, namun konten-kontennya tak selalu bernilai positif.

Menurut Anthony (2015) dalam artikel berjudul Generation Z: Technology and Social Interest, di internet terdapat banyak  situs yang menampilkan self-harm dan mengajarkan orang untuk membuat senjata. Situs-situs tersebut dapat diakses dengan mudah oleh siapa saja.

Hal itu bisa mendorong anak muda membentuk perilaku sesuai apa yang ia simak di internet. Tak heran, banyak anak muda yang melukai diri sendiri hingga melakukan percobaan bunuh diri.

Ditambah lagi, aksi perundungan siber (cyberbullying) yang marak terjadi. Dan internet, adalah rumah aman bagi oknum yang bersembunyi di balik anonim.

Generasi Z Sehat Sosial

Ada cara untuk menjaga kesehatan digital generasi Z atau pengguna dari kalangan demografi mana pun. Masih dari thriveglobal, kuncinya adalah diperlukan keseimbangan yang sehat antara aktivitas online dan offline. Baik aktivitas di dunia maya maupun nyata harus memberi pertumbuhan dan kepuasan dalam semua aspek kehidupan.

Penting bagi setiap orang untuk tidak pernah melupakan nilai dan tujuan mereka dalam hidup. Ini harus mengarahkan mereka ke arah yang benar dan 'mengatur' waktu dan aktivitas digital mereka.

Generasi Z yang tidak merasa nyaman dengan interaksi tatap muka tidak perlu harus menjadi kupu-kupu sosial online. Mereka masih dapat membatasi kontak pribadi jika mereka menginginkannya.

Selain itu, generasi Z juga harus belajar bagaimana mengatur waktu digital (screen time) sehingga dapat mencurahkan lebih banyak waktu untuk interaksi kehidupan nyata. Mereka harus mengakui fakta ini dan mulai mengambil langkah-langkah untuk mengatur jadwal mereka sehingga mereka tidak terjebak dalam dunia online 24/7.

Manusia secara alami adalah makhluk sosial. Teknologi jelas telah menyediakan sejumlah alat dan fitur yang memungkinkan orang dari semua generasi untuk bersosialisasi dan berinteraksi satu sama lain.

Bahkan dengan menjamurnya cara-cara baru dan inovatif untuk memenuhi kebutuhan ini, tidak dapat dipungkiri bahwa interaksi dan aktivitas kehidupan nyata konvensional juga diperlukan. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya