SOROT 327

Menggali Ilmu di Sawah

Sekolah Pertanian SPP Al-Bayyan dan Sarimukti
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - Puluhan anak terlihat meriung di ruangan seluas lapangan bola volley. Mereka duduk di lantai yang terbuat dari papan kayu.

Orang Tua Murid yang Diskors Adukan Kepala Sekolah ke Polisi

Ada yang melapisi lantai dengan karpet karena tak kuat menahan dingin yang menusuk dari kayu yang mulai lapuk. Dinding ruangan yang terbuat dari anyaman bambu tak mampu menahan udara dingin yang turun dari lereng gunung.

Beberapa dari mereka terpaksa mengenakan sweater guna menangkal dingin.
Di samping mereka, puluhan buku tampak tersusun rapi di atas papan yang melintang.

INFOGRAFIK: Sekolah Petani

Buku-buku tentang pertanian ini menempel pada dinding yang kapurnya sudah mulai rontok di sana sini. Anak-anak ini merupakan siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Pertanian Sarimukti, Kecamatan Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Siang itu, mereka sedang belajar cara merawat tanaman.

Tak ada meja dan kursi laiknya sekolah. Juga tak ada alat peraga layaknya sekolah kejuruan.

Menggapai Asa dari Balik Bukit

Bahkan tak tampak poster kepala negara dan wakilnya di dinding ruangan, apalagi foto pahlawan. Hanya ada dua white board berukuran besar.

Salah satunya sedang dicoret-coret perempuan berusia muda yang sedang mengajarkan bagaimana cara merawat tanaman dengan benar.

“Apakah tanaman butuh makan dan minum?” ujar perempuan tersebut bertanya. Anak-anak ini serempak menjawab, “Butuh!”

Perempuan ini lalu menjelaskan, seperti manusia, tanaman juga membutuhkan makanan dan minuman. Nama perempuan ini adalah Ai Anti Srimayanti (19). Ia merupakan salah satu guru di SMK Pertanian Sarimukti.

Mahasiswi semester pertama di salah satu universitas swasta di Garut ini merupakan lulusan SMK Pertanian Sarimukti. Mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) ini dua kali mengajar dalam sepekan.

Ini dia lakukan sebagai bentuk pengabdian kepada sekolah tempat ia dulu medngenyam pendidikan. Meski kuliah di jurusan PAI, Anti merasa tak kesulitan mengajar mata pelajaran pertanian.

Pasalnya, ia sudah mendapatkan cukup ilmu dan keterampilan tentang pertanian saat belajar di SMK. “Meski saya kuliah di jurusan lain, apa yang kita tahu harus kita bagikan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 15 Januari 2015.

Praktik siswa SMK Pertanian Sarimukti Garut

Siswa SMK Pertanian Sarimukti Garut sedang belajar merawat tanaman kentang Foto: VIVA.co.id/Mustakim

Tak Dibayar

Anti mengatakan, ia tak mendapat honor apalagi gaji. Ia mengajar secara sukarela tanpa upah dan bayaran, meski harus meluangkan waktu dan tenaga di sela-sela kuliah.

Ia mengaku mulai mengajar sejak lulus dari SMK. Bahkan saat masih di SMK, ia sudah sering berbagi ilmu dan pengetahuan dengan adik kelasnya. “Di sekolah ini kita dididik untuk mandiri. Kalau tak ada guru kita isi dengan diskusi,” ujarnya menambahkan.

Sistem belajar mengajar di SMK Pertanian Sarimukti ini memang mengedepankan dialog dibanding monolog. Menurut Anti, siswa biasa diajak berfikir kritis dan dilatih untuk berani berbicara dan menyampaikan pendapat.

Guru dan siswa juga dekat bak keluarga. Meski siswa tetap menjaga sopan santun dan etika.

Hal itu diamini Syaeful. Siswa kelas 3 SMK Pertanian Sarimukti ini mengatakan, tak ada sekat antara guru dan siswa. Selain itu, guru lebih sering mengajak diskusi dibanding menceramahi.

Sementara dari sisi pelajaran, siswa lebih banyak diajak praktek di lapangan. Karena keterbatasan guru dan fasilitas, Syaeful dan kawan-kawannya juga sering belajar secara mandiri, seperti Anti.

Namun, itu tak menyurutkan tekad Syaeful untuk menjadi petani berdasi. Ia sengaja memilih sekolah di SMK Pertanian Sarimukti karena ingin menciptakan pertanian yang modern.

Sebab, selain gratis, sekolah ini mengembangkan inovasi dalam bidang pertanian. “Saya ingin membangun desa lewat pertanian,” ujarnya bangga.

Dari Mimpi

SMK Pertanian Sarimukti berdiri sejak 2008. Sekolah ini dibangun berawal dari keprihatinan.

Masyarakat prihatin karena banyak anak-anak lulusan MTs Sururon yang tak bisa melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya karena terkendala biaya. Sebagian besar warga Desa Sarimukti merupakan buruh tani.

Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja warga kesulitan. “Sekolah ini dibangun agar anak-anak bisa melanjutkan sekolah,” ujar salah satu pendiri SMK Pertanian, Syamsudin (76).

Warga yang tak fasih berbahasa Indonesia ini mengatakan, Desa Sarimukti merupakan salah satu desa tertinggal. Salah satu penyebabnya karena sejak dulu warga sulit mengakses pendidikan.

Mayoritas warga hanya lulus Sekolah Dasar (SD). Karena itu, warga mendirikan sekolah setingkat SMP bernama MTs Sururon.

Namun, masalah belum selesai. Pasalnya, banyak lulusan MTs yang tak bisa sekolah ke jenjang berikutnya.

Untuk itu, warga mendirikan SMK Pertanian. “Karena belum ada sekolah setingkat SMA di sini,” ujarnya menambahkan.

Sekolah ini murni merupakan hasil jerih payah warga. Dengan bantuan Serikat Petani Pasundan (SPP) warga bahu membahu, gotong royong membangun sekolah.

Pemerintah Desa menyumbang lahan. Warga menyumbang bahan bangunan dan tenaga. Sementara yang lain menyumbang makanan dan minuman saat proses pembangunan.

“Mengapa pertanian dipilih, karena mata pencaharian warga adalah bertani.” Syamsudin berharap, SMK Pertanian mampu menyemai bibit-bibit generasi petani yang mumpuni. Ia ingin, generasi muda di desanya mampu meningkatkan taraf hidup dan ekonomi warga. Juga bisa memaksimalkan potensi desa.

Tokoh masyarakat setempat, Saefudin (42) menambahkan, selama ini banyak lulusan sekolah tak sesuai dengan potensi lokal. Karena potensi Desa Sarimukti adalah pertanian, maka warga mendirikan sekolah setingkat SMA yang menaruh perhatian pada pertanian.

Tujuannya, tentu saja untuk memajukan pertanian. Sebab, tak mungkin warga mengolah lahan tanpa ilmu dan pengetahuan.

Orang tua siswa yang juga ketua komite sekolah ini menjelaskan, SMK tempat anaknya sekolah tersebut merupakan hasil kerja sama antara warga dengan SPP. “Jika dirupiahkan biaya pembangunan mencapai 100 juta,” ujarnya menerangkan.

Kepala Desa Sarimukti, Rohaya Rohadi (61) berharap, sekolah milik warga tersebut mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pasalnya, sampai saat ini desa yang ia pimpin masih masuk kategori desa tertinggal.

Sebagian besar warga merupakan buruh tani dengan penghasilan pas-pas an. Itu sebabnya banyak anak-anak yang putus sekolah dan memilih kawin muda atau menjadi kuli di kota. Ia mengaku, pemerintah dan desa belum bisa banyak membantu.

Sekolah ini tak memungut biaya. Untuk mendaftar, siswa cuma diminta membawa cangkul dan lima bibit pohon.

Meski sederhana, sekolah ini memiliki kebun untuk laboratorium tanaman. Sementara untuk mengembangkan dan uji coba pembibitan, sekolah nebeng di lokasi milik salah satu orang tua siswa.

Sekolah Pertanian SPP Al-Bayyan dan Sarimukti

SMK Pertanian Sarimukti hanya memiliki lima ruangan. Namun, hanya ada dua hingga tiga ruang kelas yang layak untuk belajar. Foto: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

Melawan Keterbatasan

SMK Pertanian Sarimukti hanya memiliki lima ruangan. Namun, hanya ada dua hingga tiga ruang kelas yang layak untuk belajar.

Sisanya menjadi gudang atau lapuk dimakan usia. Maklum, sebagian besar bahan bangunan berasal dari bambu dan kayu.

Kepala Sekolah SMK Pertanian Sarimukti Anas Nasihin (50) menjelaskan, meski sekolah butuh renovasi, ia tak mau menarik pungutan dari siswa. Sebab, sejak berdiri hingga saat ini sekolah yang ia pimpin tak pernah menarik biaya dari siswa.

Guru dan staf pengajar di sekolah ini juga tak menerima honor atau gaji. Sejak awal, sekolah ini memang didedikasikan untuk anak-anak desa yang tak mampu melanjutkan sekolah ke tingkat SMA karena keterbatasan biaya.

Menurut dia, sekolah ini mengkhususkan pada jurusan pertanian dan tak membuka jurusan lain. Alasannya, agar lulusan sekolah ini bisa membantu dan membangun desa.

Anas mengawinkan kurikulum pemerintah dengan pendidikan seputar pertanian. Sementara untuk sistem pembelajaran, sekolah ini mengedepankan dialog dan diskusi serta praktek di lapangan.

Ada sekitar 23 guru yang mengajar di sekolah ini. Sebagian besar guru tak memiliki latar belakang pendidikan sesuai dengan pelajaran yang diajarkan. “Banyak guru yang masih kuliah,” ujar Anas.

Tak ada alat peraga apalagi laboratorium. Hanya ada sepetak lahan tempat siswa belajar cara bercocok tanam dan mengembangkan teknik pertanian. Meski demikian, Anas dan para siswa tak berkecil hati.

Buktinya, sekolah ini berhasil mengembangkan budi daya kentang lewat biji. Tak hanya itu, pada tahun 2013, sekolah ini berhasil meraih Juara II Lomba Pertanian Tingkat Nasional di Bogor, Jawa Barat.

Hari menjelang siang. Puluhan siswa SMK Pertanian Sarimukti tampak berkemas dan bergegas keluar dari ruang kelas.

Beberapa di antaranya membawa cangkul. Puluhan anak ini menuju ladang untuk praktek cara merawat tanaman.

Jarak antara sekolah dan lahan cukup jauh. Butuh waktu sekitar setengah jam untuk mencapai ladang yang berada di ketinggian tersebut.

Mereka langsung melipat lengan baju dan mengangkat celana serta langsung bergumul dengan tanah dan tanaman kentang.

Ada yang menggemburkan tanah dengan cangkul. Sementara yang perempuan memilih menyiangi rumput agar tanaman bersih dari gulma.

“Ayo bersihkan gulma dari tanaman. Jangan lupa tanah di sekitar tanaman digemburkan,” sahut Ai Anti Srimayanti kepada para siswa, yang juga adik tingkatnya di SMK milik warga. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya