Mimpi Indahnya Saum di Negeri Sendiri
- VIVA.co.id/Kusnandar
VIVA.co.id - Matahari sudah mulai turun. Mendekati senja. Dari balik petakan tercium aroma ikan asin. Seorang ibu sedang menyiapkan makanan buka puasa.
Beberapa bocah bermain-main. Terlihat riang. Berlari-lari di sekitar bangunan kumuh yang menempel di bangunan utama Wisma Transito di Mataram, Nusa Tenggara Barat.
Saat bedug bertalu, mereka langsung masuk ke beberapa bangunan yang tak layak disebut rumah. Satu dari bocah itu langsung melahap kolak pisang dan dilanjut makan besar.
Di meja sederhana itu tak banyak makanan. Hanya kolak --minuman khas pembuka buka puasa, nasi, sayur, dan ikan asin. Bocah itu menyantapnya. Lahap.
Belum kelar makannya, sang ayah sudah mengajak bocah delapan tahun itu menuju satu ruang yang disulap jadi musala. Mereka salat Magrib berjamaah.
Tak sabar, usai salam, bocah itu lari. Melanjutkan makannya.
Belum lama istirahat, kumandang azan sudah terdengar. Tanda memanggil jemaah untuk salat Isya dan Tarawih. Orang tua dan bocah-bocah yang menjadi bagian pengungsi itu menuju musala. Tak ada yang tertinggal.
Di pojok musala ada gadis pendiam. Tertunduk. Takut melihat orang asing. Saofia, nama gadis itu. Kini usianya sudah 17 tahun. Sudah kelas 11 Madrasah Aliyah.
Saofia tidak sendiri, ada empat gadis lain yang tumbuh minder. Jadi pendiam. Mereka masih terpatri sembilan tahun lalu saat segerombolan orang datang berteriak, “Allahu Akbar”. Mereka menyerang, menjarah, lalu membakar rumahnya.
Tanpa ampun, mereka pun mengusir 136 jiwa dari 36 keluarga. Keluar dari Kampung Ketapang, Desa Gegerung, Kecamatan Lingsar, Kabupaten Lombok Barat. Sejak peristiwa 4 Februari 2006 itulah mereka jadi kaum terusir.
Bukan Pertama
Saofia adalah sebagian kecil warga Ahmadiyah. Pengusiran dan penganiayaan terhadap warga Ahmadiyah di Lombok bermula pada 1999. Saat itu, masjid Ahmadiyah di Bayan, Kabupaten Lombok Barat, dibakar massa.
Satu orang meninggal, satu luka parah dibacok. Semua warga Ahmadiyah diusir dari Bayan.
Pada 2001, penganiayaan terjadi di Pancor, Lombok Timur. Selama satu pekan, rumah demi rumah Ahmadiyah diserang dan dibakar. Ironisnya, saat itu pemerintah Lombok Timur memberikan dua opsi: keluar dari Ahmadiyah atau keluar dari Pancor.
Semua warga Ahmadiyah memilih meninggalkan Pancor. Mereka ditampung di Transito, Mataram. Sebagian lagi mengontrak rumah.
Pada 2004, organisasi Ahmadiyah membeli perumahan BTN di Ketapang. Lalu, rumah-rumah itu dijual murah kepada anggota Ahmadiyah yang terusir itu. Kehidupan mulai normal.
Baru setahun menetap, Oktober 2005, pengikut Mirza Ghulam Ahmad ini kembali diserang. Ahmadiyah, kata penyerang, membawa ajaran sesat. Mereka mencoba bertahan. Tapi, lima bulan kemudian serangan kembali datang. 4 Februari 2006 mereka tersingkir lagi.
Karena tak punya tempat, pemerintah NTB lalu mengungsikan mereka ke Asrama Transito, di Majeluk Kota Mataram. “Di sini kami memang lebih aman,” ujar Basirun Ajiz, penasihat Jemaat Ahmadiyah Lombok.
Hidup di penampungan juga sulit. Kebutuhan mereka sempat ditopang sembako bantuan pemda hingga 2007. Setelah itu, agar tetap hidup, mereka kerja serabutan. Dari menjadi kuli kasar, mengasong, hingga tukang ojek.