Merawat Jejak Wayang Sasak

- VIVA.co.id/Kusnandar
“Melalui wayang, ini alternatifnya yang akan kami cari, pertunjukan wayang alternatif. Kami tidak bisa biarkan wayang tetap bertahan dengan pola yang lama, sedangkan perkembangannya mulai terkikis,” ujar jurnalis salah satu media nasional ini.
Latif menjelaskan, Wayang Sasak berbeda dengan wayang kulit dari daerah lain. Menurut dia, yang membedakan Wayang Sasak dengan wayang jenis lain terutama dari tema ceritanya. Wayang Sasak membawa cerita menak, cerita tentang kerajaan Islam.
Sementara itu, wayang lain menceritakan Ramayana atau Mahabarata. “Kalau Wayang Sasak itu tokoh-tokoh yang diceritakan tokoh Islam dan penyebaran Islam di Lombok,” dia menambahkan.
Uniknya, meski wayangnya bertemakan Islam, ada beberapa dalang tua legendaris yang memainkan wayang ini beragama Hindu.
“Melalui sekolah dalang ini, kami tonjolkan tentang literatur Wayang Sasak itu seperti apa. Anak anak sekolah itu jadi tahu Wayang Sasak itu seperti apa, belajar Wayang Sasak untuk apa, baru kemudian mereka akan mencari formula untuk tetap menghidupkan Wayang Sasak dengan model yang baru,” ujarnya.
Bantuan Pemerintah
Latif mengatakan, sejauh ini belum ada bantuan dari pemerintah. Menurut dia, orang-orang yang aktif dalam pendirian dan pengelolaan sekolah ini merupakan kelompok masyarakat yang kecewa dengan pemerintah, karena dianggap menutup mata. Mereka bertahan dengan budaya-budaya yang menyita perhatian pariwisata tetapi dukungan pemerintah sangat minim.
“Jadi, kami berpikir tidak perlu bantuan dari pemerintah. Kami bisa berjalan sendiri.”
Salah satu guru Sekolah Pedalangan Wayang Sasak, Sukardi, mengatakan, ia tertarik mengajar di sekolah ini, karena ingin mempertahankan keberadaan Wayang Sasak. Pria yang sudah menjadi dalang selama puluhan tahun ini berharap, keberadaan sekolah ini akan melahirkan generasi penerus Wayang Sasak yang dapat melanjutkan seni budaya Sasak.
“Kalau saya mati, siapa lagi dalang yang akan memainkan cerita Wayang Sasak tentang sejarah perkembangan rakyat Suku Sasak,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Juli 2015.
Sukardi mengajar cara membuat wayang dari kulit agar lebih menghayati perang dan karakter tokoh wayang. Ia mengaku tak menerima gaji atau honor selama mengajar.
“Kami tidak meminta honor atau gaji, karena bersama-sama membangun perjuangan untuk keberlangsungan budaya.” Ia hanya berharap, siswanya bisa menyerap ilmu yang diajarkan agar bisa menjadi penerus pedalangan wayang sasak di Lombok.
Wandi (18), salah seorang siswa sekolah Pedalangan Wayang Sasak mengaku ingin menambah pengetahuan terkait wayang khas Lombok tersebut. Sebab, ia belum pernah nonton Wayang Sasak. Ia mengaku ingin menjadi dalang.