SOROT 358

'Jalur Sutra' Super Cepat

Beberapa Kereta cepat yang ada di China.
Sumber :
  • www.railwaygazette.com

VIVA.co.id - Tak sulit mencari tempat di mana menaiki bus atau kereta api di Bandara Internasional Kuala Lumpur. Begitu keluar dari pemeriksaan imigrasi dan barang bawaan, sejumlah penunjuk jalan terpampang di langit-langit bandara yang lebih terlihat seperti pusat perbelanjaan itu.

Ada beberapa pilihan kendaraan masal, mulai dari mobil rental, taksi, bus, kereta api atau mobil pribadi. Jika hendak naik kereta api menuju Kota Kuala Lumpur yang berjarak 57 kilometer dari bandara, Anda tinggal jalan kaki sebentar dari pintu keluar imigrasi, kira-kira 10 menit  kemudian akan menemukan pintu masuk stasiun kereta.

Berlomba Bangun Transportasi Berbasis Rel

Ada dua pilihan kereta, KLIA Transit dan KLIA Express. Sesuai namanya, KLIA Transit akan berhenti di beberapa stasiun sampai terakhir di KL Central, sementara yang satu lagi langsung menuju KL Central.

Namun saya memilih naik bus umum. Terminal bus terletak di lantai dasar bandara, sehingga saya harus menyeret koper turun dua lantai melalui eskalator. Terlihat beberapa bus besar sudah menanti penumpang. Ada sejumlah jurusan yang dituju bus-bus ini. Saya membeli tiket yang menuju KL Central.

Saya memilih naik bus berdasarkan saran seorang rekan jurnalis di Kuala Lumpur. “Lebih murah,” katanya. Jika naik KLIA Express, saya harus merogoh kocek 35 ringgit. Sementara dengan bus, saya cukup mengeluarkan 11 ringgit. Namun semua ada harga.

Dengan KLIA Express, dalam waktu 28 menit, Anda akan tiba di Stasiun KL Central. Sementara dengan bus, butuh waktu satu jam. Saya pilih yang kedua karena tidak ada yang perlu saya kejar di Ibu Kota Malaysia itu.

Di dalam bus yang tak kalah nyaman dengan bus Damri Bandara Soekarno-Hatta di Jakarta, saya duduk di sebelah seorang bapak-bapak bertampang Melayu.

“Awak dari Indonesia?” si bapak bertanya. Saya mengiyakan. Si bapak bernama Ismail ini ternyata sering bolak-balik Kuala Lumpur-Bandung, terima kasih pada maskapai AirAsia yang memiliki penerbangan langsung ke ibu kota provinsi Jawa Barat itu. Dia mengaku berbisnis pakaian, pesan di Bandung, lalu dibawa ke Kuala Lumpur.

Kami pun mengobrol sepanjang perjalanan melalui jalan tol yang mulus dan tidak ramai. Kiri dan kanan tampak perkebunan kelapa sawit, yang jika dilihat dari tinggi pokoknya, sudah berusia lebih dari 20 tahun. Mereka menjulang seperti pohon kelapa, bukti kejayaan Malaysia dulu pernah jadi produsen kelapa sawit terbesar dunia sebelum akhirnya disalip Indonesia beberapa tahun lalu.

Cetak Biru Proyek Kereta

SOROT MRT/LRT Kelana Jaya Salah Satu Kereta LRT di Malaysia

Kereta LRT Kelana Jaya yang beroperasi di Malaysia. Foto: www.hssgroup.com
Kapolri Klaim Sudah Hajar Pelaku Tambang Ilegal Karena Bikin Kebocoran Negara

“Di mana kamu menginap?” kata Ismail yang mengaku warga Kuala Lumpur itu.
Saya lalu ceritakan menginap di sebuah hotel tak jauh dari Stasiun KL Central. Dia tampak terkejut.

“Itu daerah gangsters,” katanya.  “Kamu harus hati-hati. Sering ada perampokan di sana.”

Saya pun jadi deg-degan mendengar cerita dia. Namun dalam kepala saya terpikir, tak mungkin Kuala Lumpur lebih banyak kejahatan daripada Jakarta.

Alasan terbesar kejahatan adalah kemiskinan. Dan bukankah Malaysia lebih maju secara ekonomi daripada Indonesia dan Kuala Lumpur adalah pusat pertumbuhannya?

Akhirnya bus tiba di Stasiun KL Central yang ternyata, seperti halnya di bandara, juga berada di lantai dasar sebuah bangunan besar. Ismail mengajak saya naik lift naik ke atas. “Saya akan kasih tunjuk bagaimana cara naik LRT atau jalan menuju hotel kamu,” katanya. Begitu keluar dari lift, suasana ramai langsung menyergap. Sebuah mal.

Stasiun KL Central terkoneksi dengan mal besar di tengah kota: Mal Nu Central. Jika terminal bus terletak di lantai dasar, KLIA Express yang melayani rute bandara terletak di bawah tanah. Di atas, terdapat stasiun light rapid transit (LRT) dan monorel yang melayang.

KL Central menjadi pusat integrasi lima angkutan massal yakni Kereta Api Tanah Melayu (KTM) Komuter, LRT, kereta bandara, monorel dan bus. Sesuai namanya, LRT berkapasitas lebih kecil daripada kereta api, maksimum enam gerbong saja, namun saat saya datang, yang beroperasi baru yang empat gerbong.

KTM Komuter dikelola oleh Kereta Api Tanah Melayu, semacam PT Kereta Api Indonesia, yang sahamnya dikuasai negara. Kemudian KLIA Express dan KLIA Transit dikelola oleh  Express Rail Link Sdn. Bhd, sebuah perusahaan yang separuh sahamnya dimiliki YTL Corporation, salah satu perusahaan swasta terbesar di Malaysia.

YTL Corporation ini kini sedang menjajaki pembangunan kereta api cepat Kuala Lumpur-Singapura bersama mitra sebuah perusahaan di Singapura.

Sementara LRT yang memiliki beberapa jalur di Kuala Lumpur, bersama satu layanan monorel dan bus rapid transit (BRT) Kuala Lumpur, dipayungi satu perusahaan bernama Prasarana Malaysia Berhad, sebuah perusahaan negara. Di Kuala Lumpur, mereka terintegrasi dalam merek dagang RapidKL.

SOROT MRT/LRT Salah Satu Transportasi Monorail di Kuala Lumpur

Salah satu moda transportasi monorel di Kuala Lumpur. Foto: www.malaysiasite.nl

Karena satu payung, semua moda ini bisa dinaiki dengan satu kartu. Sebuah siaran pers dari RapidKL pada 4 Juli 2015, KL Monorel yang hanya punya satu jalur saja, menargetkan membawa 25 juta penumpang di tahun 2015 ini.

Namun integrasi lima moda ini belum cukup. Saat saya datang pada Senin,10 Agustus 2015, masih di sekitar KL Central, terlihat proyek pembangunan mass rapid transit (MRT) yang nantinya juga akan terkoneksi dengan KL Central.  Menurut laporan The Star, jalur MRT pertama di Malaysia ini akan beroperasi pada 2017.

Petang saat tiba di Kuala Lumpur itu, saya langsung menjajal LRT. Saya mencoba LRT yang menuju Kuala Lumpur Convention Centre (KLCC). Tiket yang berupa token saya beli melalui mesin tiket. Cukup 1,6 ringgit atau sekitar Rp5 ribuan untuk menuju stasiun yang terletak tak jauh dari Menara Kembar Petronas yang ternama itu.

Begitu masuk kereta, di lantai persis di depan pintu kereta, terlihat tulisan ‘Bombardier’, apalagi kalau bukan menunjukkan pembuat gerbong adalah perusahaan yang sama dengan pembuat pesawat Embraer yang berbasis di Brasil.

Dari awalnya melayang di atas jalan, LRT meliuk turun masuk ke bawah tanah menuju stasiun KLCC. Rupanya Stasiun KLCC ternyata juga terkoneksi  dengan mal, Suria KLCC, yang membentang di perut Menara Petronas. Betul-betul nyaman, seperti naik pesawat terbang tanpa perlu cemas turbulensi.

Infrastruktur Perkotaan Jadi Kunci

Kemajuan infrastruktur perkotaan Kuala Lumpur memang menarik banyak orang, bukan hanya turis tapi juga pekerja migran. Resminya, penduduk Kuala Lumpur tak lebih dari 2 juta jiwa. Pook Ah Lek, Pemimpin Redaksi Sin Chew Daily, sebuah koran berbahasa Mandarin di Kuala Lumpur, menyebut, angka populasi Kuala Lumpur pada siang hari bisa tiga kali lipat dari itu.

“Banyak pekerja migran,” kata Pook. Dan Indonesia adalah salah satu penyumbang tenaga kerja, baik legal atau pun ilegal.

Dan memang, Kuala Lumpur terlihat seperti kota internasional, orang-orang dari beragam kebangsaan dan etnis atau ras berseliweran di stasiun-stasiun atau pusat-pusat perbelanjaan. Namun Kuala Lumpur kini berfokus diri sebagai kota jasa, perdagangan, keuangan dan pariwisata.

Pusat pemerintahan Malaysia kini di Putrajaya, tak jauh dari Bandara Internasional Kuala Lumpur. Sementara pusat industri lebih ke selatan Kuala Lumpur, masuk negara bagian Selangor.

Namun semua pusat-pusat baru ini terkoneksi dengan Kuala Lumpur melalui jalan tol, kereta api atau pun beragam angkutan massal lainnya. Semuanya tercakup dalam Greater Kuala Lumpur.

Cara China

Bukan hanya Malaysia yang melakukan strategi mengembangkan infrastruktur perkotaan sebagai cara membangun ekonomi. Republik Rakyat China melakukannya dalam skala yang lebih besar. Semua ibu kota-ibu kota provinsi di China melakukan strategi serupa Kuala Lumpur.

Profesor dari Universitas Peking, Fan Gang, menyatakan, infrastruktur menjadi kunci China melipatgandakan permintaan. Permintaan meningkatkan produktivitas.

"Salah satu dari dasar penilaian kita adalah siapa yang bisa menciptakan permintaan akan memenangi inisiatif di ekonomi masa depan," kata Direktur Institut Pembangunan China itu dalam tulisannya "The Twelfth Five-Year Plan and the Megatrend of Urbanization" yang terdapat dalam buku "Where is China Going" yang diterbitkan tahun 2012.

Infrastruktur konstruksi bersama infrastruktur perkotaan dan pembentukan formasi kota-kota akan mendorong mesin permintaan ekonomi. Investasi infrastruktur ini meliputi kereta bawah tanah, kereta cepat, dan perumahan.

Pengembangan infrastruktur ini menjawab syarat mendasar bagi industrialisasi untuk membangun permintaan, yaitu urbanisasi atau migrasi pekerja dari perdesaan ke perkotaan.

Ekonom China Wu Jinglian, dalam buku yang sama, menyatakan, perubahan ekonomi China sejak era keterbukaan yang dicanangkan Deng Xiaoping 1980-an, bersandar pada empat pendekatan. Pertama, mendorong urbanisasi para pekerja pedesaan ke perkotaan untuk mencari pekerjaan di bidang nonpertanian.

Kedua, meningkatkan kemampuan industri pemrosesan dan manufaktur dan mengembangkan industri manufaktur modern. Ketiga, mempercepat pembangunan industri jasa. Dan keempat, mewujudkan integrasi informatisasi dan industrialisasi dan mengubah keseluruhan ekonomi nasional dengan teknologi informasi.

SOROT MRT/LRT Transportasi Kereta Terintegrasi dengan Bandara di Beijing

Transportasi kereta terintegrasi dengan bandara di Beijing. Foto:
www.beijingchina.net.cn

Kebijakan mendorong urbanisasi membuat kota-kota besar China dipenuhi anak-anak muda dan bahkan tenaga kerja migran dari Afrika atau Asia Selatan. Kota-kota favorit umumnya di pantai timur China yang infrastrukturnya relatif lebih baik daripada di pedalaman China. Daerah Otonom Uygur Xinjiang yang terletak di paling barat di pedalaman jelas masih kalah jauh dibandingkan provinsi lain di pantai timur China.

"Kami ini adalah termasuk less developed (tertinggal-red) di China," kata Kepala Kantor Urusan Luar Negeri Xinjiang, Wu Guangrong, saat menjamu delapan jurnalis dari Indonesia dan Malaysia di kantornya, awal Agustus 2015 lalu.

Namun meski tertinggal, infrastruktur Xinjiang mulai dibenahi habis-habisan. Sejak tiba di Bandara Urumqi, Ibu Kota Xinjiang, kami selalu melintasi jalanan mulus yang sebagian besar melayang. Lampu-lampu jalan yang LED mewarnai perjalanan kami menuju hotel. Nyaris tak ditemui jalan rusak.

Wu Guangrong memfasilitasi kami mendatangi Urumqi Economic and Technological Development Zone (UETD), sebuah area seluas 480 kilometer persegi yang disiapkan sejak 1994 sebagai kawasan industri di Daerah Otonom Xinjiang.

UETD disiapkan sebagai “Silicon Valley” Xinjiang, sekaligus sebagai pusat industri, pusat pendidikan termasuk pembangunan sebuah perguruan tinggi Islam yang menelan dana hingga Rp570 miliar, pusat logistik, pusat keuangan, pusat kebudayaan, pusat kedokteran dan terakhir, pusat perhubungan. Sejumlah perusahaan besar dunia sudah mulai beroperasi dari zona ini, termasuk misalnya pabrik perakitan mobil Volkswagen.

Di zona ini sedang berlangsung pembangunan stasiun utama kereta api cepat yang menghubungkan Urumqi dengan Beijing yang terpisah lebih dari 2.000 kilometer. Jalan-jalan lebar membentang membelah kawasan industri yang juga dilengkapi dengan apartemen untuk perumahan buruh.

“UETD akan menjadi bagian dari rencana strategis satu sabuk satu jalan (one belt one road) yang dicanangkan Presiden Xi Jinping,” kata Wu Guangrong. Urumqi akan menjadi pusat dari ambisi China menghubungkan lagi Barat dan Timur melalui jalan raya, kereta api dan kabel optik, sejak dari Turki sampai ke Thailand, Malaysia, lalu ke Singapura. China akan berada di pusatnya. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya