Nasibnya, Sepahit Kopi

- ANTARA/Septianda Perdana
Meski telah lama menjadi petani kopi, Sarhan mengaku penghasilannya belum bisa untuk mencukupi semua kebutuhan. Alasannya, ia hanya memiliki setengah hektare lahan. “Dengan luasan setengah hektare itu sebetulnya hanya pas-pasan. Untuk keluarga yang besar itu pasti kurang,” ujar pria yang hangat ini.
Tak hanya dia, banyak petani Kopi Gayo yang miskin. Menurut dia, hal itu terjadi salah satunya karena petani tak bisa mengelola keuangan guna membiayai pertanian. Banyak petani yang mengandalkan uang pribadi untuk mengolah kebun kopi. Mereka tak mau meminjam ke bank.
“Mereka meminjam uang kepada pembeli kopi. Sehingga luasan usahanya tidak berkembang, karena mereka gali lobang tutup lubang,” ujar Sarhan.
Menurut dia, para petani kopi di dataran tinggi Gayo masih banyak yang menggantungkan kehidupan kepada para tengkulak atau tauke yang nyaris ada di setiap kampung. Ketergantungan para petani kopi terhadap tauke di daerah berhawa sejuk ini tergolong tinggi, mengingat kopi bukan tanaman yang hasilnya bisa dipanen setiap bulan.
Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Para petani ini akan membayarnya dengan biji kopi merah yang baru saja dipanen.
Penghasilan petani tidak tetap, sehingga mereka terpaksa meminjam uang kepada tauke untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Foto: ANTARA/Zulkarnain
Membantah