Nasibnya, Sepahit Kopi

- ANTARA/Septianda Perdana
Tauke membantah tudingan sebagai pihak yang dianggap menyebabkan petani kopi terus dijerat kemiskinan. Salah satu tauke, Ruslan (40) mengatakan, nasib tauke juga tak jauh berbeda dengan para petani.
Menurut dia, tauke juga ikut merasakan dampak harga kopi yang tak stabil. Tak sedikit tauke yang menutup usahanya dan gulung tikar karena didera kerugian. Selain itu, persoalan lain yang dihadapi para pengepul kopi ini adalah semakin menjamurnya para pemain baru.
"Sekarang siapa yang banyak duit yang diincar para petani," ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Oktober 2015.
Menurut dia, tak semua petani menjual kopi merah kepada para tauke. Pasalnya, koperasi yang bergerak di bidang ekspor kopi sudah kian menjamur, sehingga sebagian petani memilih menjual langsung ke koperasi.
"Kalau menjual kepada kami, atau kepada koperasi tidak untung dan tidak rugi, sama saja, jual ke koperasi untung, jual kepada kami para tauke juga untung.”
Hal senada disampaikan Sekretaris Eksekutif Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Miftakhul Kirom. Ia membantah jika petani kopi miskin karena permainan harga para pedagang. Karena, saat ini perdagangan kopi sangat terbuka. Bisnis kopi secara umum mengacu kepada harga terminal, arabica di AS, dan robusta di London.
Ia menilai, saat ini para petani memiliki posisi tawar yang kuat. Pasalnya, ada sejumlah jenis kopi yang hanya ada di daerah tertentu. “Petani punya itu dan secara umum masyarakat sudah menghargai itu dan mau membeli kopi dengan harga yang tinggi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 8 Oktober 2015.
Menurut dia, yang menjadi persoalan jika permintaan turun. Karena hal itu akan berdampak langsung terhadap petani. “Karena dalam jalur mata rantai itu patokannya terminal itu. Kalau lagi turun ya ikut turun, dan sebaliknya.”