SOROT 394

'Juru Padam' yang Terlunta

Razia obat-obatan ilegal oleh tim dari BPOM.
Sumber :
  • ANTARA/M Agung Rajasa

VIVA.co.id – Suara telepon berdering memecah kesunyian. Seorang wanita berseragam bergegas mengangkat gagang telepon yang terletak di atas meja.

Tak berselang lama, suara seseorang terdengar di ujung telepon. Lamat-lamat terdengar suara orang yang sedang mengadukan sesuatu. Wanita tersebut terlihat mendengarkan dengan sabar. Sesekali, ia memberikan penjelasan.    

Wanita itu tak sendiri. Ada sekitar lima orang dengan jenis kelamin sama di kiri dan kanannya. Mereka terlihat sibuk dengan komputer di depannya.
 
Sebagian terlihat sibuk mengetukkan jari-jarinya di atas keyboard. Sementara itu, sisanya terlihat sedang membaca data. Sesekali terdengar gurauan dan canda mereka.

Enam wanita ini merupakan staf call center pengaduan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Mereka bertugas menerima pengaduan atau laporan dari masyarakat terkait keberadaan makanan, kosmetik, atau obat-obatan berbahaya. Pagi itu, mereka sudah menerima belasan pengaduan dari masyarakat.

Kepala BPOM Roy Sparringa mengatakan, call center tersebut merupakan salah satu upaya lembaganya dalam memerangi peredaran makanan, kosmetik, dan obat-obatan berbahaya. Ia menuturkan, selain menyediakan call center, BPOM juga rajin menggelar operasi, baik dilakukan secara mandiri maupun bekerja sama dengan lembaga lain.

Ia mengakui, hingga saat ini peredaran makanan dan obat-obatan berbahaya masih menjadi ancaman. Buktinya, saat menggelar Operasi Opson V, BPOM menyita lebih dari empat juta produk pangan ilegal dan tak memenuhi syarat. Nilai ekonomisnya mencapai Rp18,2 miliar.

Dalam operasi tersebut ditemukan lebih dari 4,55 juta produk pangan ilegal.  Menurut dia, selain merugikan negara, produk pangan ilegal juga berisiko bagi kesehatan warga. Sebab, peredarannya tak melalui evaluasi keamanan, manfaat, dan mutu oleh BPOM.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/04/30/5723973bbe2bd-razia-kosmetik-ilegal_663_382.jpg

Secara keseluruhan, Operasi Storm VII di Indonesia ini telah berhasil menyita dan mengamankan farmasi bermasalah sebanyak 4.441 item dengan nilai keekonomian mencapai lebih dari Rp49,83 miliar.

Tak hanya makanan, BPOM juga menggelar operasi terkait keberadaan dan peredaran kosmetik serta obat-obatan berbahaya melalui Operasi Storm VII. Peredaran produk farmasi ilegal termasuk palsu merupakan ancaman serius bagi kesehatan.

Dalam kurun waktu satu bulan (Maret 2016) BPOM berhasil mengamankan obat ilegal termasuk palsu senilai Rp31,65 miliar, obat tradisional ilegal dan mengandung bahan kimia obat (BKO) Rp7,98 miliar, serta kosmetik ilegal dan mengandung bahan berbahaya Rp10,20 miliar.

Secara keseluruhan, Operasi Storm VII di Indonesia ini telah berhasil menyita dan mengamankan farmasi bermasalah sebanyak 4.441 item dengan nilai keekonomian mencapai lebih dari Rp49,83 miliar. Temuan besar tersebut diperoleh setelah melakukan pemeriksaan di 250 sarana produksi dan distribusi.

Sebanyak 174 sarana di antaranya teridentifikasi mengedarkan obat, obat tradisional, dan kosmetika ilegal termasuk palsu. “Dua operasi ini bekerja sama dengan Interpol. Kalau Opson baru digelar tahun ini. Selama ini, kami tidak ikut. Baru kali ini. Sementara, Storm sudah tahun ketujuh,” ujar Roy Sparringa kepada VIVA.co.id, Jumat, 29 April 2016.

Dari operasi Storm ada 174 kasus yang ditindak. Sebanyak 52 dari 174 dilakukan pro justisia. Sementara itu, sisanya diselesaikan secara administratif. “Gelar kasus dan gelar perkara. Kami punya 523 penyidik PNS,” dia menambahkan.

Jebolan Food Science and Technology, University of Reading, Inggris ini menuturkan, BPOM memiliki penyidik PNS (PPNS) terbanyak di Indonesia. Untuk itu, BPOM cukup aktif jika ada penegakan hukum.

“Kalau dalam penyidikan pro justisia bekerja sama dengan Polri, Korwas PPNS. Setelah berkasnya cukup diserahkan ke kejaksaan lalu pengadilan,” ujarnya.

Sayangnya, vonis atau hukuman yang dijatuhkan kepada para pelaku terbilang ringan. “Pelanggar obat ilegal itu kena Rp1,5 miliar atau 15 tahun. Itu sanksinya. Tapi yang paling besar vonisnya 2 bulan atau Rp4 juta. Itu obat ilegal lho mas. Biasanya juga palsu. Bahaya sekali,” ujarnya.

Roy mengatakan, masih maraknya kasus peredaran makanan dan berbahaya karena tingginya permintaan. “Jadi, pelaku nakal ini atau kejahatan itu karena ada peluang dan niat. Karena peluang, karena ada permintaan dan celah-celah hukum yang bisa dilewati,” ujarnya.

Sayangnya, menurut dia, masyarakat cenderung permisif dengan kejahatan ini. Padahal, kejahatan ini merupakan sesuatu yang luar biasa. Namun, sudah dianggap biasa.

Menurut dia, makanan dan obat-obatan berbahaya itu akan membunuh secara halus dan perlahan. “Ini bukan pelanggaran, tapi kejahatan. Bukan kejahatan yang dianggap sepele karena meracuni masyarakat,” tuturnya.

Selanjutnya...Kewenangan Terbatas


Kewenangan Terbatas
Sejumlah operasi yang digelar BPOM itu juga diapresiasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Sayangnya, kewenangan BPOM sangat terbatas.

Anggota Komisi IX DPR RI, Irma Suryani mengatakan, hingga saat ini tidak ada undang-undang yang mengatur soal pengawasan obat dan makanan. “Tidak ada Undang-Undang POM, sehingga dasar hukumnya tidak jelas,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Impaknya, ketika BPOM menggelar razia dan menemukan pelaku pelanggaran, lembaga tersebut tak bisa menjatuhkan sanksi. “Ketika BPOM melakukan razia, polisi, ya mohon maaf, tidak pernah terdengar apa tindakannya supaya orang-orang yang menggunakan bahan-bahan berbahaya itu kapok,” dia menambahkan.

Menurut dia, BPOM hanya bisa mengeluarkan sanksi administratif dan tak pernah ditanggapi para pengusaha yang melanggar. Selain itu, BPOM terkendala anggaran.

Ia mengatakan, anggaran BPOM kecil sekali. Akibatnya, BPOM tidak punya perwakilan di daerah. “Bisa dihitung dengan jari (perwakilan) di kabupaten, apalagi kecamatan. Di kabupaten pun ternyata susah, laboratorium pengujian untuk bahan berbahaya juga enggak ada,” dia menjelaskan.

Tugas pengawasan obat dan makanan, dia menambahkan, bukan hanya tanggung jawab BPOM. Ia mengatakan, seharusnya polisi juga ikut terlibat dan bertanggung jawab.
Sayangnya, kadang polisi pasif dan hanya menunggu laporan. “Seharusnya ketika tahu ada sesuatu yang salah, langsung menindaklanjuti. Tapi, hari ini polisi tidak bisa begitu. Harus ada laporan masyarakat dulu baru bertindak,” katanya.

Hal senada disampaikan Roy Sparringa. Ia mengatakan, BPOM kerap diposisikan sebagai pemadam kebakaran semata. Ia mengeluhkan kewenangan BPOM yang terbatas.

Ia mencontohkan. Dua tahun lalu, kasus obat-obatan berbahaya hanya 7 persen yang ditindaklanjuti Pemerintah Daerah. Sementara itu, 93 kasus mangkrak.

“Nah, mereka yang punya kewenangan dibiarkan saja. Jadi, bagaimana kita mau efektif,” ujarnya.

Menurut dia, BPOM memiliki tugas yang mulia. Sebab, lembaga ini bertugas memastikan barang-barang yang digunakan masyarakat mulai bangun tidur hingga akan tidur lagi aman. “Mau tidur gosok gigi, bangun lagi ada kosmetik. Kemudian mandi, ada sabun, lalu makan, minum obat. Bayangkan kalau tidak ada Badan POM,” kata dia.
 
Sayangnya, hingga saat ini tidak ada mandat yang jelas terkait BPOM. “Tidak ada Undang Undang soal Badan Pengawas Obat dan Makanan. Sehingga intervensi pihak lain sangat tinggi.” hingga saat ini regulasi yang mengatur BPOM hanya Peraturan Presiden (perpres).

Selanjutnya...Minim Pengawasan

Minim Pengawasan
Roy mengakui, pengawasan terhadap makanan, kosmetik, dan obat-obatan belum maksimal. Ia mengatakan, dari operasi Opson dan Storm diketahui, banyak makanan dan obat-obatan yang diselundupkan dari luar negeri.

Menurut dia, barang-barang itu masuk melalui pelabuhan tidak resmi. “Indonesia begitu terbuka, banyak pelabuhan informal dan pelabuhan rakyat,” ujarnya.

Kosmetik Rp30 Ribu-an di Pasar Asemka Mengandung Merkuri

Hal itu diamini Hari Mulya. Direktur Penindakan dan Penyidikan, Ditjen Bea Cukai ini mengatakan, 'barang-barang haram’ itu masuk lewat pelabuhan-pelabuhan tikus. Bahkan, di pantai timur ada 56 pelabuhan tikus.

“Jarak dari Singapura ke pantai timur kan dekat sekali. Jadi, kalau menggunakan kapal-kapal kayu tradisional dalam waktu 4-5 jam bisa sampai ke pelabuhan kita. Jadi, relatif dekat lah. Bisa saja mereka menyelundupkan dan memasukkan pada malam hari,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Menkes: Obat Ilegal Banyak Masuk di Apotek Rakyat

Selain itu, barang-barang tersebut kadang dibawa penumpang. Menurut dia, penumpang bisa membawa beberapa barang dan lolos dari pengawasan. “Misalnya dia membawa sedikit tapi rutin. Lama-lama akumulasinya cukup banyak,” tuturnya.

Kepala Bagian Hukum dan Humas Badan Karantina Kementerian Pertanian, Eddy Purnomo mengatakan, Indonesia merupakan negara dengan kepulauan besar. Hal itu membuat pemerintah tak bisa menjaga semuanya.

BPOM: Beli Obat di Tempat Legal dan Berizin

“Kalau saya lihat memang kemungkinan ada yang nakal, dan mencoba memanfaatkan kelengahan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

“Pengawasan, sosialisasi, dan edukasi masyarakat menjadi sesuatu yang penting,” ujar Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Medikolegal, Tari Tritarayati.

Menurut dia, masyarakat harus tahu dan ikut terlibat dalam pengawasan obat-obatan berbahaya. "Masyarakat dan pemerintah harus sama-sama. Masyarakat ada pengawasan, pemerintah juga,” kata Tari.

Sementara, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Srie Agustina mengatakan, selama ini ada tim terpadu yang melakukan pengawasan. “Ada tim terpadu yang dikoordinasi oleh Kementerian Perdagangan. Di dalamnya ada unsur Badan POM. Karena yang tugas dan fungsi utama, ya di Badan POM,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Selanjutnya...Tak Ada Efek Jera

Tak Ada Efek Jera    
Peneliti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Husna Zahir menyoal tindak lanjut dari operasi dan razia yang dilakukan BPOM terkait vonis dan penegakan hukumnya. Sebab, selama ini kasus-kasus seperti itu masih dianggap tindak pidana ringan.

Artinya, operasi yang dilakukan terus-menerus tak akan menyelesaikan persoalan jika tak ada penegakan hukum yang tegas. “Tidak akan bisa menyelesaikan, pasti akan terjadi, terjadi lagi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 27 April 2016.

Untuk itu, ia meminta, penegak hukum memberi sanksi atau vonis yang bisa memberikan efek jera terhadap pelaku. “Selama vonisnya masih kecil dari keuntungan yang mereka peroleh, jangan diharapkan bisa jera. Jadi, sanksi yang diberikan harus lebih dari keuntungan yang mereka peroleh. Kuncinya ada d penegak hukum,” dia menambahkan.

“Penegak hukum jangan sekadar melihat temuan, dari ada korban atau tidak. Tapi, efek dari produk berbahaya ini kan jangka panjang. Penegak hukum harus jeli melihat itu.”

Pendapat senada disampaikan Roy Sparringa. “Salah satu kurang efektif, karena begitu ketahuan sanksi hukumnya ringan,” ujarnya.  

Ia membandingkan antara BPOM dan lembaga serupa di luar negeri. Menurut dia, lembaga serupa BPOM di luar negeri sangat efektif, karena bisa menjatuhkan denda dengan jumlah yang tinggi. “Kami sudah ada, tapi tidak pernah dilaksanakan,” dia menambahkan.

Ke depan, ia berharap sanksi denda lebih ditingkatkan dibanding pro justisia. Sebab, jika lewat pro justisia vonisnya ringan. “Kadang hukumannya masa percobaan saja, bulanan, dan dendanya Rp1-2 juta,” kata Roy.

Kasubdit Bahan Berbahaya Direktorat IV Bareskrim Polri, Kombes I Wayan Sugiri mengatakan, penanganan kasus makanan dan obat berbahaya merupakan ranah BPOM.

“Sebenarnya itu kan domainnya BPOM. Menurut dia, seharusnya pelaku ditindak agar dapat memberikan efek jera dan dibuat kapok. Selama ini enggak ada yang dipublikasikan (media). Dari sekian kali penindakan apakah pelakunya ditindak tegas atau tidak,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Menurut dia, salah satu cara untuk membuat pelaku jera adalah dengan menerapkan hukuman secara maksimal.

Namun, Mahkamah Agung (MA) membantah, pengadilan memberi sanksi ringan terkait kasus makanan dan obat-obatan berbahaya. Juru Bicara MA, Suhadi mengatakan, kasus terkait makanan dan obat berbahaya yang masuk pengadilan masih sedikit dibanding kasus perlindungan anak, korupsi, dan narkoba.

“Tapi, sudah pernah terjadi yang sampai ke MA,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Ia mengatakan, tak ada perbedaan dalam penanganan kasus-kasus terkait makanan dan obat berbahaya. “Tetap sama penanganannya dengan kasus yang lain. Cuma kualitasnya makanan bagaimana. Kalau kerupuk enggak ada izin, dengan sarden kan beda," kata Suhadi. "Kalau kerupuk kan industri kecil. Sarden industri besar”.

Menurut dia, hakim akan menjatuhkan vonis dengan melihat kasusnya.“Kalau hakim berbicara, kalau mau tahu tentang perkara, dia harus baca dakwaannya. Kalau dia tahu tentang putusan, harus baca pertimbangan hukumnya. Jadi, model apa perkaranya, bagaimana pertimbangannya, baru kami bicara rendah tingginya putusan,” dia berdalih.

Jaksa Agung Muda Pidana Umum, Kejaksaan Agung Noor Rachmad mengatakan, dalam kasus makanan dan obat-obatan berbahaya, pihaknya dalam posisi menunggu. Menurut dia, jika berkas sudah masuk dan ada surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) maka lembaganya akan bekerja.

“Kalau berkas datang kami teliti. Kalau operasi BPOM, kami menunggu. Tidak terlibat penyidikan,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Jumat, 29 April 2016.

Salah satu warga, Gina (23) mengatakan, masih maraknya orang yang menjual makanan dan obat-obatan berbahaya, karena masih minimnya pengawasan. Selain itu, hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku juga rendah sehingga tak menimbulkan efek jera.
“Hukuman Indonesia lemah. Jadi jangan heran kalau produsen makanan yang nakal enggak pernah jera. Jangan heran kalau oplosan formalin, boraks masih banyak,” ujarnya.

Untuk itu, ia meminta agar para pelaku diganjar hukuman yang berat. “Kasih hukuman seberat-beratnya. Kalau hukumannya berat mereka enggak akan ngulangin lagi.”

Hal senada disampaikan warga yang lain, Sabar Abdullah (47). Ia mengatakan, masih maraknya peredaran makanan dan obat-obatan berbahaya karena hukumannya masih ringan.

Menurut dia, kalau hukumannya berat, pasti tidak akan banyak yang berani menjual makanan dan obat berbahaya. “Diberi hukuman berat, terus juga diberi sanksi sosial dibikin malu gitu,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 28 April 2016.

Lain lagi yang disampaikan Rudi (29). Warga Pamulang ini meminta agar pelaku dipenjara dan dikuras hartanya. “Sekalian suruh pelaku untuk gunakan produk mereka sendiri sampai mati,” ujarnya gemas. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya