SOROT 396

Berani Tanggung Risiko Demi Reformasi

Taufik Basari ketika masih menjadi aktivis di tahun 98. Foto: Dokumentasi Pribadi Taufik Basari
Sumber :
  • Dokumentasi Pribadi Taufik Basari

VIVA.co.id – Taufik Basari termasuk sekian banyak aktivis mahasiswa yang ikut menumbangkan rezim Soeharto pada 1998. Dia bersama banyak elemen mahasiswa di Jakarta berdemonstrasi turun ke jalan untuk memaksa Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden.
 
Unjuk rasa besar-besaran itu sebenarnya bukan aksi pertamanya. Taufik bersama teman-temannya sesama mahasiswa Universitas Indonesia mula-mula terlibat dalam gerakan massa membela Sri Bintang Pamungkas, yang diadili aparat rezim Orde Baru karena dianggap menghina Soeharto, pada 1996.
 
Taufik mengenang, aksi itulah kali pertama dia berhadapan dengan aparat keamanan. Dalam unjuk rasa itu pula dia merasakan dipukuli polisi yang menjaga sidang pengadilan Sri Bintang Pamungkas. Dia juga dikejar-kejar aparat karena dituduh provokator.
 
Setahun kemudian, pada 1998, situasi politik nasional kian memanas. Dipicu krisis finansial Asia yang melemahkan ekonomi Indonesia. Masyarakat kian tak puas dengan pemerintahan pimpinan Soeharto. Meletuslah demonstrasi besar-besaran yang dilakukan berbagai organ aksi mahasiswa di berbagai wilayah Indonesia.
 
Demonstrasi di Jakarta dimulai dari kampus Universitas Indonesia (UI). Taufik mengingat ketika itu dia bersama teman-temannya mengonsolidasikan kelompok-kelompok mahasiswa UI yang terpecah, kemudian membuat Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI pada Februari 1998. Mereka mencoreti kampus UI di Salemba, Jakarta Pusat, dengan kalimat “UI Kampus Perjuangan Orde Baru”. Mereka juga membentangkan spanduk bertulis “UI Kampus Perjuangan Rakyat” di kampus UI di Depok.
 
Kala itu aksi mahasiswa masih sporadis dan tidak terorganisasi dengan rapi. Tetapi aksi-aksi itu ibarat semacam pesan kepada rezim Soeharto bahwa mahasiswa bersama rakyat sudah mulai melawan. ”Saat itu kita ingin tegaskan Orde Baru harus dilawan dan harus berakhir,” kata Taufik, mengenang peristiwa itu, saat ditemui VIVA.co.id di Depok, pada Kamis 12 Mei 2016.

Peringati 26 Tahun Reformasi, Aktivis 98: Kekejaman Orba Tak Boleh Dilupakan

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/13/5735e5d0c423a-taufik-basari_663_382.jpg
 Taufik Basari di tengah-tengah aktivis 98 lainnya. Foto: Dokumentasi Pribadi Taufik Basari 


Taufik mengaku cukup takut dan cemas ketika dia dan teman-temannya menunjukkan perlawanan terbuka terhadap pemerintah. Soalnya rezim Orde Baru yang ditopang militer dan polisi saat itu sedang kuat-kuatnya. Kekuatan mahasiswa jelas tak sebanding dengan aparat.
 
Tetapi para mahasiswa meyakini bahwa saat itulah momentum paling tepat untuk menggelorakan perlawanan, meski risiko terburuknya ialah diculik lalu dibunuh. Mahasiswa tak mau mengharapkan momen lain untuk menghentikan kediktatoran Soeharto.
 
“Sebagian besar dari kita merasa inilah saatnya dan kita harus buang rasa takut itu. Sekali melangkah, pantang kita surut ke belakang,” ujar Taufik, yang juga aktivis Himpunan Mahasiswa Islam.

Aktivis 98 Soroti Tantangan Geopolitik Dunia yang Makin Penuh Friksi

Simak Pertaruhan Hidup dan Mati

Baca juga:

Rampai Nusantara: Ramadan Bisa Jadi Momentum Rawat Persatuan Pasca-pemilu


Pertaruhan Hidup dan Mati
 
Pada pagi 12 Mei 1998, Taufik sempat hadir dalam aksi mahasiswa di kampus Universitas Trisakti di Jakarta, sebagai bentuk dukungan dari mahasiswa UI. Namun tak lama setelah kembali ke kampus UI, Taufik mendapat kabar ada mahasiswa Trisakti tertembak.
 
Taufik kembali ke kampus Trisakti untuk memberikan dukungan solidaritas bagi mahasiswa yang tertembak pada esok hari. Dia turut mengantar jenazah Hendrawan, seorang mahasiswa Trisakti yang ditembak aparat ke pemakaman.
 
Taufik bersama para mahasiswa yang lain tak dapat menerima kematian mahasiswa yang ditembak itu. Tetapi mereka bertekad untuk tidak berhenti mengobarkan semangat perlawanan kepada pemerintah dengan kembali turun ke jalan.
 
Puncak kerusuhan di Jakarta terjadi pada 14 Mei 1998. Taufik dan beberapa mahasiswa sengaja turun ke jalan untuk mengurangi aksi vandalisme warga. “Kami sempat menghalangi massa yang ingin membakar toko, yang kami ketahui masih ada orang di dalamnya. Meski sulit untuk menghalau massa, dengan bantuan warga sekitar, kita berhasil menyelamatkan beberapa nyawa,” ujar Taufik mengingat kembali momen bersejarah itu.
 
Ketika massa mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR selama beberapa hari sejak 19 Mei 1998, sempat beredar isu bahwa tentara akan menyerbu gedung Parlemen dan menyapu para mahasiswa. Mahasiswa berinisiatif menyusun peta jalur evakuasi apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Pada 21 Mei 1998, Soeharto pun menyatakan berhenti sebagai Presiden.
 
Sebagian mahasiswa menganggap perjuangan selesai ketika Soeharto tak lagi menjadi presiden, yang kemudian digantikan Bacharuddin Jusuf Habibie. Sebagian yang lain menilai perjuangan belum selesai karena militer masih menguasai kekuatan politik dan reformasi belum tuntas. “Saya termasuk kelompok yang merasa perjuangan belum tuntas,” kata Taufik.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/13/5735e6d26c7de-taufik-basari_663_382.jpg
 Taufik Basari bicara di Mahkamah Konstitusi. Foto: Dokumentasi Pribadi Taufik Basari 


Setelah Soeharto mengundurkan diri, Taufik masih aktif dalam pergerakan mahasiswa, termasuk dalam aksi yang kelak dikenal dengan Tragedi Semanggi, dua peristiwa protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa MPR yang mengakibatkan warga sipil tewas.
 
Peristiwa pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I yang terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999, yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan 11 orang lain di seluruh Jakarta serta melukai 217 orang.
 
Taufik masih mengingat peristiwa dalam Tragedi Semanggi I, ketika dia harus mengangkat seorang mahasiswi yang ditembak peluru karet lalu masuk selokan dan masih diinjak-injak tentara. Dia dan teman-temannya segera membawa mahasiswi itu ke Rumah Sakit Jakarta, yang letaknya di sebelah kampus Universitas Atma Jaya. Mahasiswi itu terpaksa dioperasi di selasar rumah sakit karena kamar penuh pasien.
 
Simak Perjalanan Berikut Taufik

Jadi Pengacara

Taufik sebenarnya menjalani dua kuliah selagi mahasiswa UI: pertama sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dan mahasiswa Jurusan Filsafat pada Fakultas Ilmu Budaya. Dia menyelesaikan kuliah fakultas hukumnya pada 2000 dan meraih gelar sarjana filsafat pada 2003.
 
Taufik menekuni dua profesi: pengacara dan dosen. Dia dikenal sebagai pengacara publik karena kerap membela warga sipil, terutama yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Dia juga masih aktif mengajar pada Departemen Filsafat UI.
 
Kariernya sebagai advokat publik diawali di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, mula-mula sebagai asisten pengacara publik (2000-2001), anggota staf Divisi Hak-Hak Sipil dan Politik (2001-2003), Kepala Divisi Advokasi Kebijakan (2003-2005), dan Kepala Divisi Riset (2005-2006). Pada tahun 2006, ia dipercaya menjadi Direktur Bantuan Hukum dan Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Kemudian ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat.
 
Semasa aktif sebagai pengacara publik pada LBH Jakarta, Taufik mendapatkan beasiswa Fulbright, sebuah beasiswa bergengsi di Amerika Serikat, pada 2004. Dia melanjutkan studi strata dua pada Northwestern University, Chicago, Amerika Serikat, dan lulus dengan mengantongi gelar LL.M dalam International Human Rights Law pada 2005.
 
Selagi di Amerika Serikat, Taufik sempat menjadi Program Consultant untuk International Center for Transitional Justice di New York. Dia juga pernah menjalani pendidikan International Law Program di University of California, Davis (UC-Davis) dan University of California, Berkeley (UC-Berkeley), dan mengikuti Fulbright enrichment program di Arizona State University.
 
“Lalu menjadi konsultan dan peneliti pada Asian Human Rights Commission di Hong Kong, dan kembali ke Indonesia untuk melanjutkan pengabdian di LBH dan YLBHI serta mengajar di UI,” ujarnya.
 
Dia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) setelah merasa mentas di YLBHI. LBHM fokus pada pemberian penyuluhan hukum, pembelaan HAM. Tak lama kemudian dia mendirikan kantor hukum sendiri dan menjadi Managing Partner Taufik Basari & Associates Law Office.
 
Berbagai kasus publik dan HAM yang ditanganinya, antara lain, memenangi gugatan PTUN kasus KTP tahanan politik Nani Nurani; memenangi kasus PTUN skorsing mahasiswa UI; memenangi kasus gugatan PTUN Sri Bintang Pamungkas melawan Mendiknas; dan membebaskan kasus pidana Ketua BEM UI dan ketua KAMMI Jakarta di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, advokasi kasus pelanggaran HAM Wasior, kasus penyiksaan dan kekerasan oleh aparat, dan sebagainya.

http://media.viva.co.id/thumbs2/2016/05/13/5735e69c93387-taufik-basari_663_382.jpg

 Taufik Basari bicara di Mahkamah Konstitusi. Foto: Dokumentasi Pribadi Taufik Basari 

Taufik dikenal juga sebagai advokat spesialisasi konstitusi. Berbagai perkara di Mahkamah Konstitusi (MK) telah ditanganinya. Kiprahnya di MK lengkap ketika menangani perkara Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara mewakili DPR Papua melawan KPU Pusat.
 
Pada tahun 2013, Taufik diminta menjadi pengurus pusat Partai Nasdem dengan posisi sebagai Ketua Bidang Hukum dan HAM. Posisi itu diembannya hingga kini.
 
Simak: Perjuangan Jalur Hukum

Perjuangan Jalur Hukum
 
Taufik menyebut aktivitasnya sebagai pengacara publik itu adalah bagian dari upaya menuntaskan agenda reformasi. Begitu juga keberadaannya sebagai pengurus teras partai politik.
 
Menurutnya, cita-cita reformasi belum tuntas meski sudah banyak hal juga yang berhasil dicapai. Dia bertekad mengawal demokratisasi, terutama dalam bidang penegakan hukum dan HAM. Jalur politik diklaim akan memperkokoh upayanya. “Motivasi saya sekarang bergabung di parpol pun dalam rangka melanjutkan perjuangan tersebut,” katanya.
 
Taufik berharap, Indonesia menjadi negara demokratis yang dijalankan dengan berpedoman pada nilai-nilai HAM. Dia ingin memastikan penyelenggaraan pemerintahan tetap menghormati HAM. Masih banyak pelanggaran HAM, terutama di masa lalu, yang belum terungkap. Dia menyebut secara khusus pelanggaran HAM sepanjang transisi demokrasi pada tahun 1998.
 
“Terkait dengan pengusutan tragedi 1998, menurut saya, masih menjadi tanggung jawab negara untuk memprosesnya. Kita harus mengungkap kebenaran dan melakukan reformasi institusi serta mencegah berulangnya kejadian itu,” kata dia.
 
Sampai sekarang, Taufik mengaku masih berkomunikasi dengan sebagian kawan seperjuangan dulu, seperti aktivis Kesatuan Aksi Keluarga Besar UI dan Senat Mahasiswa UI maupun organisasi ekstra kampus, semisal, Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta, Forum Kota (Forkot), Front Aksi Mahasiswa untuk Reformasi (Famred), dan lain-lain.
 
Dia berpendapat bahwa situasi sekarang tentu lebih baik dibanding semasa era Orde Baru. Masyarakat bebas berpendapat. Saluran demokrasi terbuka luas, termasuk pemanfaatan sarana teknologi informasi yang turut membuat banyak perubahan. Maka gerakan mahasiswa pun seharusnya harus ikut berubah dan menyesuaikan dengan perubahan zaman.

(ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya