SOROT 421

Menguji Demokrasi di Amerika

Capres AS, Hillary Clinton dan Donald Trump saat mengikuti debat ketiga di Las Vegas, Nevada, AS
Sumber :
  • REUTERS/Mike Blake

VIVA.co.id – Jam di tangan menunjukkan pukul 18.00 waktu Amerika Serikat, Rabu, 19 Oktober 2016. Cuaca cerah. Suasana di Thomas & Mack Center, University of Nevada, Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat, sangat ramai. Ribuan orang berkumpul.
 
Keramaian di stadion bola basket ini biasanya terjadi ketika ada pertandingan. Namun, kali ini berbeda. Di sepanjang jalan menuju stadion berkapasitas 19.522 itu berkibar spanduk dan baliho bertuliskan “2016 President Debate”.
 
Memasuki stadion, terlihat kursi tertata rapi mengarah panggung utama. Dua podium tampak menghadap penonton.
 
Sementara itu, para pendukung dua kandidat presiden Amerika Serikat, Hillary Rodham Clinton dan Donald John Trump, memasuki stadion dengan tertib. Mereka begitu antusias menyaksikan tokoh pilihannya berdebat.
 
Berbagai atribut pendukung kedua kandidat pun turut meramaikan forum debat itu. Suasana pun terlihat tidak membosankan.
 
Stadion yang dibuka pada 16 Desember 1983 itu menjadi saksi bisu perjalanan akhir kampanye Hillary dan Trump. Mereka selanjutnya akan dipilih oleh rakyat AS di seluruh dunia pada 8 November nanti.
 
Sama seperti dua kesempatan debat capres sebelumnya, dalam debat ketiga atau terakhir ini, Trump dan Hillary kembali tidak berjabat tangan. Keduanya juga tidak menyapa saat dipersilakan naik ke podium yang dipandu oleh moderator Chris Wallace.

Donald Trump dan Kedua Anaknya Akan Diperiksa Terkait Penipuan

Selain itu, mengutip situs Reuters, wajah kedua kandidat pun menunjukkan raut yang berbeda. Trump terlihat muram, namun menyelip sedikit senyum. Sementara itu, Hillary menebar senyum saat keluar dari belakang panggung yang tertutup kain hitam menuju podium.

Debat itu, sesuai agenda berlangsung selama 90 menit. Kedua kandidat menjawab pertanyaan moderator dari podium masing-masing.

Donald Trump Ambil Surat Cinta Kim Jong Un dari Gedung Putih

Penampilan Trump dan Hillary berbeda dengan dua debat sebelumnya. Mereka tidak lagi berapi-api dan menyerang secara pribadi.

Saat debat terakhir itu, penampilan keduanya lebih banyak bertukar argumen secara tajam. Dari sisi penampilan tak kalah menjadi sorotan.

5 Fakta Tewasnya Jenderal Qassem Soleimani, Iran Akan Balas Dendam?

Trump seperti biasa mengenakan jas hitam dengan kemeja putih dan dasi berwarna merah. Tak lupa pin bendera Amerika Serikat tersemat di dada kiri sang taipan properti New York itu.
 
Hillary Clinton, seperti dilansir dari situs Malay Mail Online, menurut sejumlah pengamat fesyen, terlihat lebih elegan.

Ia kembali mengenakan pakaian desain dari Ralph Lauren. Baju warna putih ketika debat seakan menjadi tanda untuk mengingatkan ke masa lalu. Ketika warna putih disimbolkan untuk perjuangan mendapatkan hak memilih.

Seperti pilpres AS periode sebelumnya. Kualitas kandidat akan menjadi sorotan. Tahun ini, sebagian kalangan menilai kualitasnya menurun.

Pakar hubungan internasional, Arry Bainus, tidak menampiknya. Menurut dia, masa pilpres Negeri Paman Sam, isu skandal mendominasi kampanye ketimbang program kerja.

“Menurut saya, pilpres kali ini kualitasnya menurun. Kedua kandidat saling menjatuhkan, bukan karena program kerja yang diusung melainkan skandal,” kata Arry kepada VIVA.co.id, Kamis, 3 November 2016.

Ia mengungkapkan, meski Amerika adalah negara demokrasi, sejatinya mereka saat ini tengah diuji.

Trump atau Hillary?

Pemilu AS berlangsung pada 8 November 2016 waktu AS. Sejumlah kalangan mulai berhitung, siapa kandidat yang akan menduduki Gedung Putih, menggantikan Barack Obama.

Andaikata Trump terpilih, maka kelompok konservatif yang menang. Namun, kata dia, ada masalah yang mengganjal bila taipan properti itu benar-benar menang.

“Salah satu program Trump mendirikan pagar pembatas dekat Meksiko dan melarang para imigran masuk. Ini sudah kebijakan ekstra-konservatif. Di dalam tubuh Partai Republik suaranya terbelah,” ungkap pria yang kini menjabat Wakil Rektor Universitas Padjajaran, Bandung, Jawa Barat, itu.

Program atau kebijakan Donald Trump yang kontroversial itu dan mengusung slogan “Make America Great Again”, menjadikan kampanye Trump langsung menohok berbagai kalangan.

Jika terpilih, Trump berjanji akan membangun tembok di perbatasan dengan Meksiko untuk mencegah  masuknya imigran ilegal, dengan biaya pembangunan yang dibiayai pemerintah Meksiko.
 
Tak hanya itu, Trump bakal menghapuskan keluarga berencana. Ia juga akan membuat database dan melarang masyarakat Muslim untuk singgah serta menetap di AS.

Taipan New York ini pun diduga melakukan pelecehan seksual, baik secara verbal maupun aktivitas, terhadap 12 perempuan. Ia sering didapuk sebagai retorika pembakar dan orang yang sering menggertak dengan kemarahan.

Menurut Arry, rekam jejak Trump sebenarnya lebih ke pengusaha ketimbang politisi. Jadi, jangan heran bila Trump terpilih akan memposisikan negara sama dengan perusahaan. “Dia tidak terbiasa dengan politik demokrasi,” tuturnya.

Sementara itu, apabila mantan Ibu Negara terpilih, Arry melihat situasi politik di AS cenderung tenang. Menurut dia, peristiwa ini pernah terjadi saat pilpres 1984.

Saat itu, Geraldine Anne Ferraro pernah didapuk menjadi calon wakil presiden pertama di AS, juga berasal dari Partai Demokrat. Ferraro adalah seorang pengacara dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat AS. Dalam pilpres 1984, ia mendampingi calon presiden Walter Mondale.

Pasangan ini dipandang sebagai “underdog” yang berasal dari Partai Demokrat. Tak hanya itu, Ferraro satu-satunya warga Amerika keturunan Italia yang menjadi calon wapres.

Namun sayang, pasangan Mondale-Ferraro ini takluk oleh pasangan petahana Presiden Ronald Reagan dan Wakil Presiden George Herbert Walker Bush. Ferrero meninggal dunia pada 2011 di usia 76 tahun akibat penyakit multiple myeloma.

“Terpilihnya Hillary tidak ada masalah. Warga AS bisa menerimanya. Ini juga membuka kaum perempuan untuk lebih banyak bergerak di politik,” tuturnya.

Tapi, ada dua peristiwa penting bila Hillary menjadi Presiden AS. Pertama, Hillary adalah perempuan AS pertama yang menjadi presiden. Kedua, mantan Menteri Luar Negeri AS ini merupakan istri mantan presiden pertama yang menjadi presiden.

Mengenai kemungkinan politik uang dalam pilpres AS, Arry menegaskan kalau hal itu sangat kecil terjadi.

“Amerika itu negara dewasa. Mereka kiblat demokrasi. Saya tidak melihat ke arah sana (politik uang). Yang pasti, seperti sudah saya katakan sebelumnya, saat ini demokrasi Amerika sedang diuji,” kata dia.

Hillary Clinton seakan tak ingin kalah kontroversial dari rivalnya. Saat menjabat sebagai menteri Luar Negeri AS, ia sangat teledor menggunakan akun surat elektronik (email) pribadinya untuk mengirim data rahasia negara.
 
Ia juga bertanggung jawab atas jebolnya keamanan Kedutaan Besar AS di Tripoli, Libya yang menyebabkan penyerangan oleh warga lokal hingga mengorbankan banyak warga AS, termasuk sang duta besar, J. Christopher Steven.

Belum lama ini, Hillary diundang berbicara di depan para bankir ternama di Bursa Wall Street dengan bayaran sangat tinggi. Padahal, dalam kampanyenya, ia kerap menitikberatkan permasalahan ketimpangan ekonomi yang terjadi di negaranya.
 
Terakhir, Hillary secara tegas menuduh Rusia sebagai pihak yang terlibat dalam skandal bocornya dokumen kampanye Partai Demokrat. Selain itu, terkuaknya sejumlah email pribadi dari Tim Kampanye Hillary Clinton oleh WikiLeaks, juga diklaim bagian dari konspirasi Moskow.

Pengaruh ke Indonesia

Lantas, bagaimana pengaruhnya dengan Indonesia? Arry melihat, tidak akan banyak pengaruh soal siapa pun yang akan menjadi Presiden AS ke-45 nanti. Namun, pemimpin baru AS akan mengajak negara-negara di Asia, terutama Asia Tenggara, untuk menciptakan musuh bersama, yaitu China.

“Saya melihat China akan menjadi musuh bersama AS dan Asia. Karena kegiatan politik dan ekonominya yang kian agresif. Ditambah lagi sengketa wilayah di Laut China Timur dan Selatan,” tutur Arry.

Suka tidak suka, kebangkitan China sebagai kekuatan baru dunia dari Timur telah menguras perhatian AS. Ekspansi ekonomi Tirai Bambu di Eropa, Afrika, dan Asia Tenggara, serta klaim sepihak terhadap Laut Cina Selatan dan Timur, jelas mengganggu kepentingan nasional Paman Sam.

Tak pelak, geliat "Sang Naga” makin lama melemahkan eksistensi “Si Elang” di berbagai belahan dunia. Senada, peneliti geopolitik, Tony Cartalucci mengatakan, aksi provokasi ini seperti memberi sinyal bahwa Paman Sam telah kehilangan pengaruhnya di wilayah Pasifik.

"Washington telah mengalami kemunduran geopolitik di hampir setiap negara di Asia Pasifik. Termasuk, beberapa negara yang dalam beberapa waktu terakhir diorganisasi, didanai, dan didukung selama beberapa dekade," ujar Cartalucci, seperti dikutip situs Sputniknews.

Ia juga mengatakan, peralatan militer yang selama ini didominasi oleh AS secara perlahan tersingkir.

Sebab, belakangan, banyak masuk peralatan militer dari China untuk tank dan panser, dari Eropa seperti pesawat tempur, Timur Tengah dengan senapan serbunya, helikopter tempur oleh Rusia, dan kendaraan lapis baja buatan Thailand.

"Bukan tidak mungkin, pengaruh Amerika di Asia Pasifik lama-kelamaan terkikis dan hilang," paparnya.

Sementara itu, Direktur Jenderal Hubungan ASEAN, Asia Timur dan Pasifik, Kementerian Luar Negeri AS, W. Patrick Murphy, menjelaskan, selama delapan tahun pemerintahan Presiden Barack Obama, pihaknya menerapkan kebijakan penyeimbang kawasan dari Timur Tengah ke Asia Pasifik, termasuk ASEAN.

"Indonesia adalah simbol dari re-balance. Hubungan bilateral ini sangat terjaga di masa Presiden Obama," ujar Murphy.

Pria yang sudah bekerja di Kemlu AS selama pemerintahan lima presiden ini meyakini bahwa siapa pun yang akan memimpin AS nantinya, hubungan ini akan terus berlanjut.

"Karena kami melihat Asia Pasifik, khususnya ASEAN, sangat penting. Maka, siapa saja kelak yang menjadi presiden AS kebijakan ini takkan berubah," tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya