SOROT 464

Saracen, dari Perang Salib ke Bisnis

Aksi kampanye anti hoax di Jakarta beberapa waktu lalu
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma

VIVA.co.id – Memakai kemeja oranye menyala, Jasriadi bersama dua rekannya, Sri Rahayu (32), dan Faisal Tonong (43), berdiri dengan kepala tertunduk di sebuah ruangan yang akan digunakan polisi untuk pengumuman.

Momen Akrab Prabowo dan Jokowi di Acara Bukber di Istana Negara

Sulit untuk mengenali mereka. Karena sebagian wajahnya ditutupi oleh 'topeng' dari kain hitam. Yang tersisa hanya kedua mata dan sebagian batang hidung saja.

Tak ada sepatah kata pun keluar dari mulut Jasriadi dan dua rekannya. Hari itu, mereka bak barang pajangan. Dengan tangan terbebat tali borgol plastik berwarna putih, ketiganya pun hanya diam, tak berkutik.

Kemenkominfo Mengadakan Kegiatan Webinar "Hak dan Tanggung Jawab di Ruang Digital"

"Ini kelompok yang seringkali atau kerap kali melakukan penyebaran ujian kebencian," ujar Kasubdit 1 Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Irwan Anwar menyebut masalah yang membelit ketiga orang tersebut, Rabu, 23 Agustus 2017.

Ya, hari itu Jasriadi, Sri Rahayu dan Faisal Tonong, resmi menjadi tersangka. Polisi menyebut tiga sekawan ini sebagai sindikat penebar kebencian di jagat maya.

Kemenkominfo Menggelar Nobar Webinar "Mengenal Literasi Digital Sejak Dini"

Serangan Cyber - siber

Kelompok Saracen mengorganisir akun di sejumlah jejaring sosial untuk menyebarkan SARA dan berita hoax. (REUTERS/Amir Cohen)

Merekalah yang menjadi motor pendiri grup Saracen, yakni kumpulan akun di jejaring sosial yang mengorganisir konten bermuatan SARA, lalu menyebarnya ke khalayak.

Kata polisi, aksi mereka telah berlangsung sejak tahun 2015 dan memiliki setidaknya 800 ribu akun yang diorganisir. Dan yang mengejutkan, kelompok Saracen ini rupanya juga berencana menjual jasa menebar kebencian.

Ini diperkuat dari temuan sejumlah dokumen proposal penawaran di tangan Jasriadi, pria asal Pekanbaru, Riau, yang disebut menjadi ketua kelompok Saracen. Harga yang dipatok pun tak murah. "Senilai Rp75 juta sampai Rp100 juta," kata Kasubbag Ops Satgas Patroli Siber AKBP Susatyo Purnomo.

Selanjutnya, Dari Perang Salib ke Bisnis

Dari Perang Salib ke Bisnis

Nun jauh sebelum Jasriadi didaulat menjadi ketua kelompok Saracen di jagat maya, nama Saracen sudah muncul pada abad pertengahan.

Saracen konon sebagai sebutan 'olok-olok' bagi orang Islam oleh orang-orang Kristen di masa Romawi dan kemudian meluas hingga masa perang Salib. Bagi kelompok muslim saat itu, Saracen akhirnya menjadi identitas perlawanan mereka terhadap kelompok non-muslim.

Jasriadi, pria yang kini diamankan polisi karena menjadi pendiri situs saracennews.com, tak menampik jika penamaan Saracen yang dipakainya dalam kelompok Saracen Cyber Team, terinspirasi dari sejarah itu.

Meski mengaku bukan sebagai pemberi nama pertama, namun Jasriadi membenarkan nama Saracen memang diambil dari penyebutan kelompok muslim di masa perang Salib berabad lalu.

Atas itu, ia bersama rekan sejawatnya mengorganisir nama grup Facebook sebagai Saracen Cyber Team pada tahun 2016. Ini berbeda dengan penyebutan polisi yang menyebut jika Jasriadi sudah mulai beraksi pada tahun 2015.

"Kami ingin menghancurkan akun-akun yang sering menghujat Islam," ujar Jasriadi, Kamis, 31 Agustus 2017 kepada VIVA.co.id.

Ya, 'perang' yang dibangun Jasriadi dan kawan-kawannya ada dalam jagat maya. Lewat kepiawaiannya dalam dunia internet, Jasriadi pun membajak sejumlah akun yang disebutnya kerap melecehkan Islam.

Umumnya, kata Jasriadi, akun-akun itu dikelola oleh pemilik akun asal negara Vietnam. Selain melecehkan Islam, mereka juga kerap menyebar konten porno.

"Kami masuk ke dalam grupnya, mengganti nama grupnya atau mengosongkan akun-akunnya," ujar pria yang mengaku sebagai penyalur guru les privat di Pekanbaru ini.

Namun Jasriadi membantah jika grup yang dibentuknya itu sebagai kelompok penebar SARA dan kebencian. Ia berdalih, yang dilakukannya semata sebagai 'anjing penjaga' di media sosial.

"Kami ingin mengarahkan mereka (pengguna jejaring sosial) berlaku sportif. Jangan sampai ada kata menghujat, mengedit foto terlalu vulgar atau frontal," ujar Jasriadi.

Jasriadi tak menampik jika inisiasi mengorganisir Saracen agar menjadi sebuah lembaga terstruktur. Dengan itu, apa yang diperjuangkan grup Saracen dapat lebih terarah dan tidak tercerai berai.

Atas dasar itu, ketika Jasriadi bertemu dengan sejumlah pegiat media sosial di Jakarta pada tahun 2016, wacana struktur Saracen pun digagas. Sejumlah nama pun 'disempalkan' dalam rencana struktur itu.

Ada Eggy Sudjana si pengacara, kemudian ada juga purnawirawan TNI Mayor Ampi Tanudjiwa, calon gubernur Banten yang gagal dalam Pilkada. Serta banyak lagi nama lainnya, yang jelas memiliki tugas dan fungsi tersendiri. Belakangan Eggy dan Ampi membantah terlibat dalam grup ini.

Sekira 26 Juli 2016, akhirnya struktur Saracen pun lahir. Namun demikian, pengakuan Jasriadi, struktur itu memang belum sempat difinalisasikan lebih lanjut. "Jadi hanya sekadar wacana, ilegal (belum resmi)" ujarnya.

Meski begitu, Jasriadi yang juga memiliki kemampuan dalam membuat laman di internet, akhirnya tetap melanjutkan 'perjuangan' Saracen di media sosial.

Kemampuannya meretas akun Facebook pun dimanfaatkannya untuk menggandakan akun-akun yang berada di belakang Saracen. Di Facebook misalnya, setidaknya ada lebih dari 136 ribu akun yang bergabung di grup Saracen Cyber Team. Kata polisi, grup ini telah berdiri sejak tahun 2015. Ini artinya setahun lebih tua sebelum gagasan struktur Saracen dimulai.

Kemudian ada juga grup Facebook bernama @saracennews.com, yang telah memiliki pengikut setidaknya lebih dari 1.200 akun.

sosmed - akun twitter - sosial media

Akun Twitter kelompok Saracen banyak mengunggah SARA dan berita hoax. (Reuters/Fabrizio Bensch)

Lalu, di akun Twitter yang dibuat pada tahun 2016, @SaracennewsCom, setidaknya telah ada 54 pengikut dengan lebih dari 1.400 unggahan.

Secara kasat, memang geliat Saracen masih terbilang muda. Namun demikian, kepolisian meyakini bahwa ada 800 ribu akun yang dikelola oleh kelompok Saracen yang digagas oleh Jasriadi.

"Ada grup wilayah, grup organisasi. Jadi tidak lagi perbuatan orang per orang saja. Sudah satu kelompok," ujar Kasubdit I Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Irwan Anwar.

Dengan potensi itulah, kelompok ini akhirnya merencanakan agar Saracen bisa menjadi peluang bisnis. Pintu masuknya adalah dengan menawarkan jasa keahlian Jasriadi dalam membuat laman internet atau web.

Karena itu, mahfum kemudian dalam penangkapan Jasriadi ditemukan sejumlah proposal penawaran kepada calon klien mereka. Dan salah satu yang ditawarkan selain web adalah jasa untuk menyebarkan informasi apa pun untuk membentuk opini publik.

Tarif yang ditawarkan pun tak tanggung. Jasriadi mematok harga dari puluhan juta hingga ratusan juta rupiah.

Namun, seperti diakui Jasriadi, tawaran proposal yang sudah disusunnya itu belum ada yang terealisasi. Meski ia tak menampik pernah mendapat tawaran dari seorang kepala daerah, namun lagi-lagi belum terwujud.

"Tidak ada transaksi sama sekali. Jadi yang katanya transaksi hingga Rp75 juta sampai Rp100 juta dengan menjual meme, tidak ada sama sekali," kata Jasriadi.

Yang mana bisa dipercaya soal ini, tentu menjadi ranah polisi. Hanya saja memang faktanya adalah Jasriadi telah berencana menjajakan bisnis kebencian dari keahliannya.

Siapa yang memanfaatkan jasa Saracen dan berapa kemungkinan uang yang bisa saja telah dinikmati Jasriadi atau grup Saracen, terus didalami oleh polisi.

"Penyidik sedang melacak untuk transaksi-transaksinya itu," Kepala Bagian Mitra Divisi Hubungan Masyarakat Polri Komisaris Besar Awi Setiyono.

Selanjutnya, Target Antara?

Target Antara?

Di luar itu, jika memang pengakuan Jasriadi dan melirik dari 'mudanya' sepak terjang Saracen di jagat maya, kini seolah muncul kejanggalan.

Sri Rahayu, perempuan yang ikut diciduk lantaran disebut masuk dalam sindikat Saracen, menegaskan kejanggalan ini.

Sebabnya, ibu rumah tangga yang disebut-sebut sebagai Koordinator Saracen untuk wilayah Jawa Barat ini bahkan tak mengenal siapa sosok Jasriadi selain dari dunia maya.

"Saya kenal dengan Pak Jasriadi hanya sebatas memperbaiki akun," ujar Sri yang mengaku akunnya sempat dinonaktifkan atas perkara kebencian.

Diakuinya juga, saat kepolisian menciduknya pada 5 Agustus 2017 atau hampir tiga pekan sebelum polisi mengumbar soal Saracen ke publik, ia memang sempat dikonfirmasi soal statusnya dalam struktur Saracen. Namun Sri langsung membantah, sebabnya ia tak mengetahui struktur itu.

"Saya tidak tahu dengan struktur organisasi itu, dan saya juga tidak dikonfirmasi oleh pembuat Saracen," ujar Sri.

sosial media - facebook

Kelompok Saracen mampu meretas dan menyebarkan kebencian di sosial media Facebook. (REUTERS/Thomas White) 

Karena itu, Sri pun meyakini dirinya tidak ada keterlibatan apa pun dengan Saracen. Saat ini yang diketahuinya bahwa dirinya sampai diciduk polisi lantaran dituding menebar kebencian di akun Facebook-nya.

Itu pun dari status Facebook miliknya yang diunggahnya pada tahun 2016. Sri saja mengaku sudah lupa detail yang ditulisnya. "Saya lupa kalau tidak melihat langsung (status facebook). Soalnya itu sudah dari tahun 2016 tanggal 26 Agustus," kata Sri.

Karena itu, Sri berharap agar kasus yang membelitnya dapat diselesaikan secara transparan. Sebab, berawal dari tudingan polisi atas sindikat Saracen, kini perempuan asli Lampung itu terpaksa mendekam di tahanan.

"Kalau Saracen saya tidak merasa bersalah, karena memang saya tidak tahu soal struktur itu. Kalau status saya mengakui, status itu memang saya yang menulis dengan tangan dan pikiran saya," ujar Sri.

"Saya harapkan sekarang ini penegak hukum berlaku adil, objektif," tambahnya.

Karena itu, menguatlah anggapan jika Saracen memang seolah menjadi target antara kepolisian untuk menciduk komplotan penjahat dunia maya yang gemar menabur kebencian.

Namun siapa saja mereka, sepertinya ini akan bisa terkuak jika Saracen dijadikan tumbal lebih dahulu, dan sejauh ini sudah ada 22 orang yang diduga menjadi pemain inti grup Saracen.

Mereka ini, dalam penyelidikan polisi menjadi dalang yang memproduksi, memuat konten, memberikan data sasaran yang akan dikerjakan dan disampaikan.

Selain itu, polisi juga mengendus ada 11 orang lagi yang dikategorikan kelompok pendukung. Orang-orang ini memiliki tugas mendistribusikan atau menyebarkan informasi yang telah disiapkan oleh mereka yang di kelompok inti.

"Mereka mau mendistribusikan ke mana, mereka meng-upload ke mana, mem-posting ke mana, merekalah yang bekerja itu," ujar Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri Kombes Pol Martinus Sitompul.

Selanjutnya, Bisnis Benci Barang Lama

Bisnis Benci Barang Lama

Apa pun itu, sejatinya yang dilakukan Saracen dan kawan-kawannya di jagat maya bukanlah barang baru dalam bisnis hitam media sosial.

Sepriadji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), mencontohkan kasus yang melibatkan akun Twitter @Triomacan2000 pada tahun 2014.

Saat itu, akun fenomenal yang kerap mengangkat isu soal korupsi itu telah lama mempraktikkan cara meramu isu hoaks berdasarkan pesanan dari orang yang membayarnya.

"Jadi kasus buzzer transaksional yang semacam itu sebenarnya bukan hal yang baru," ujar Sepriadji.

Atas itu, ketika polisi mengumumkan soal Saracen, Mafindo tak menganggap itu sebagai hal aneh. Bahkan Mafindo sendiri tak pernah melihat ada 'gelagat' dari kelompok Saracen dalam pengawasan mereka.

Karena itu, Sepriadji pun menduga jika Saracen terungkap ke publik sebagai dampak dari gesekan politik. "Dia (Saracen) ini salah satu refleksi dari polarisasi politik. Kita lihatnya seperti itu," ujarnya.

Dalam kacamata Mafindo juga, ditengarai Saracen memang tak memiliki ideologi yang kuat. Kelompok yang dibentuk pada tahun 2016 itu sepertinya hanya sedang berusaha memetik uang dari sengkarut yang ada di Indonesia.

"Ini berbahaya sekali, membuka kesempatan bisnis transaksional antara pelaku-pelaku, elit-elit politik di indonesia, memperkeruh suasana," ujar Sepriadji.

Menebar kebencian kini sudah menjadi ladang bisnis tersendiri bagi para penjahat internet (REUTERS/Kham)

Apa pun itu, kini Saracen seperti membuka tabir awal ke publik, bahwa kebencian itu telah menjadi bisnis para penjahat internet. Dengan tangan mereka perseteruan dan pertikaian bisa lahir dalam sekejap.

Pengungkapan kelompok Saracen mesti harus mengungkap para pemesan dan mereka yang menjalankan bisnis serupa. Bukankah praktik ini adalah bisnis lama yang bersembunyi di hiruk pikuk media sosial.

Ya, setidaknya kepolisian harus menjawab dengan baik, mengapa Saracen sampai membuat Presiden Joko Widodo sampai naik darah. "Ini mengerikan sekali. Kalau dibiarkan mengerikan," kata Jokowi.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya