Sabam Leo Batubara

Perbenturan Pendapat tentang UU Penyiaran

Leo Batubara
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - UU No. 32/2002 tentang Penyiaran dipermasalahkan. Menurut berbagai kalangan - dalam pelaksanaan UU tersebut - para pemimpin media penyiaran kerap memperjualbelikan frekuensi penyiaran dan menciptakan pemusatan kepemilikan media penyiaran. Kondisi seperti itu akan mematikan keanekaan informasi.

Ria Ricis Ngonten Pakai Siger Sunda, Netizen: Kode Pengen Jadi Manten Lagi

Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Independen untuk Demokratisasi Penyiaran (KIDP) pada 18 Oktober 2011 mengajukan uji materi Pasal 18 ayat (1), dan Pasal 34 ayat (4) UU No. 32/2002 tentang Penyiaran ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mengikuti Sistem

Karena dulu ikut terlibat sebagai Koordinator Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) penggagas awal UU Penyiaran tersebut, saya kembali terpanggil memberi pendapat, persoalan ke dua pasal itu persoalan MK, atau persoalan law enforcement?

5 Tips untuk Mengontrol Emosi secara Efektif, Menghadapi Emosi dengan Tenang

Pasal 18 ayat (1) menyebut: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi.” Juncto Pasal 58 huruf a berisi pokok: “melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) untuk penyiaran televisi  diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.”

Pasal 34 ayat (4): ”Izin penyelenggaraan penyiaran dilarang dipindahtangankan kepada pihak lain.” Juncto Pasal 58 huruf c: “melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (4) untuk penyiaran televisi diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak lima miliar rupiah.”

Pertanyakan Ghea Indrawari yang Belum Menikah, Anang Hermansyah Dihujat Netizen

Untuk menyumbang masukan kepada publik dan pemangku kepentingan, saya menulis artikel dan dimuat di Kompas (27|12|2011) bertopik “Menyikapi Kepemilikan Media”.

Isi pokoknya kurang lebih, pertama, apa alat ukur untuk menyatakan pemusatan kepemilikan media atau konglomerasi media salah atau tidak? Di industri media cetak alat ukur  suratkabar atau kelompok suratkabar dinilai melakukan praktik monopoli atau tidak adalah Pasal 27 UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPM & PUTS). Berdasarkan ketentuan itu belum ada media cetak yang melanggar praktik monopoli.

Kedua, di industri penyiaran alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan salah atau tidak adalah Pasal 18 ayat (1). Regulasi untuk ketertiban distribusi frekuensi penyiaran adalah Pasal 34 ayat (4). Kedua pasal itu sesuai dengan prinsip demokratisasi penyiaran.

Di mancanegara yang berparadigma demokrasi, seperti AS dan Australia misalnya, pemusatan kepemilikan media penyiaran tidak dilarang, tapi dengan batasan. Jika pasal-pasal itu dilanggar, solusinya bukan dengan mengadu ke MK, tapi ke jalur hukum. Ancaman pidana penjara dan dendanya berat.

Ketiga, jika peraturan pemerintah tentang batasan kepemilikan media penyiaran kurang pas, solusinya bukan mengadu ke MK, tapi ke Mahkamah Agung (MA).

Keempat, upaya industri media televisi menuju tiga stasiun TV yang sehat bisnis dan idiil tidak bisa langsung divonis melanggar keanekaan informasi. Masih ada ratusan stasiun TV lokal, lembaga penyiaran publik, komunitas dan berlangganan lainnya.

Opini yang Menghakimi

Kemudian, artikel Kristiawan, Manajer Yayasan  TIFA, dan salah satu penggagas KIPD di muat di Kompas (13|11|2012) berjudul “Sesat Pikir Kepemilikan Media”.

Artikel itu sebenarnya diharapkan memberi argumentasi tentang ketidakkonstitusionalan ke dua pasal yang dipersengketakan. Namun, isi artikelnya langsung menghakimi Leo Batubara telah berlaku sesat pikir.

Pertama, Kristiawan beropini seolah-olah contoh yang terjadi di industri media cetak dalam artikel Leo dimaksudkan untuk “berargumen bahwa industri media cetak bisa melakukan dominasi, penyiaran swasta juga bisa melakukan dominasi penyiaran.”

Kristiawan beropini seolah-olah Leo menyatakan itu, lalu memvonisnya sebagai menyesatkan. Padahal dalam artikelnya, Leo sama sekali tidak menyebut industri media cetak bisa mendominasi, tapi fokus membedakan alat ukut penilaian berdasarkan UU.

Di industri media cetak alat ukur untuk menilai apakah terjadi praktik monopoli atau tidak adalah Pasal 27 UU No. 5/1999 tentang LPM & PUTS. Sementara di industri penyiaran, alat ukur untuk menilai pemusatan kepemilikan adalah Pasal 18 ayat 1 UU Penyiaran.

Kedua, Kristiawan menulis “Leo mungkin lupa bahwa dia sebelumnya menolak jual beli frekuensi penyiaran”. Dalam soal ini juga Leo juga belum pikun. Leo dan Kristiawan dari dulu sampai sekarang sama-sama konsisten menolak praktik jual beli frekuensi. Perbedaannya, Leo berpendapat jika bukti pelanggaran sudah ada, solusinya diproses ke jalur hukum. Sementara Kristiawan – saya duga – beropini sudah terjadi pelanggaran, kemudian mengajukannya ke MK. Dalam contoh ini,  siapa sebenarnya yang sesat pikir?

Ketiga, contoh tentang AS dan Australia dalam artikel Leo bertujuan menginformasikan bahwa di negara-negara itu – seperti juga di Indonesia –, UU Penyiaran membolehkan pemusatan kepemilikan media penyiaran, tapi dibatasi. Informasi itu tidak menyesatkan.

Dalam pertemuan saya dengan Ketua Komisi Penyiaran Australia Prof. David Flint di kantornya, Sidney, Oktober 2002, dia mengemukakan bahwa berdasarkan daya dukung ekonomi Australia, ada tiga stasiun televisi komersial yang bersiaran nasional, yakni Channel 7, Channel 9, dan Channel 10. Dengan capaian seperti itu, industri penyiaran Australia tidak diributi sebagai telah melanggar keanekaan informasi.

Ajakan

Perbenturan pendapat tentang kepemilikan media penyiaran sebagai pertisipasi publik diperlukan. Dari konflik pendapat yang digelar secara cerdas, the national policy makers dibantu untuk mengambil keputusan yang tepat.

Saya mengajak Kristiawan agar dalam perbenturan pendapat yang terjadi, standar keprofesionalan tetap dihormati.

Pertama, di kalangan aktivis prodemokrasi profesional berlaku tatakrama: tidak menghakimi. Sanksi bagi yang menghakimi meminta maaf kepada publik lewat media jenis saluran terkait. Tuduhan Kristiawan dalam artikelnya bahwa saya sesat pikir, jelas menghakimi. Padahal yang berhak menghakimi pendapat siapa yang benar atau yang sesat dalam perbenturan pendapat tentang dua pasal UU Penyiaran tersebut adalah majelis hakim MK.

Kedua, jantung persoalan (the heart of the matter) yang diperdebatkan ialah Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (4) UU Penyiaran sebagai konstitusional atau tidak?

Pasal-pasal itu membatasi pemusatan kepemilikan media penyiaran dan melarang jual beli frekuensi penyiaran. Ketentuan seperti itu dianut oleh negara-negara yang berparadigma demokrasi termasuk Indonesia.

Ke dua pasal itu jelas tidak melanggar UU 1945. Jika kedua pasal itu dilanggar, solusinya bukan mengadu ke MK, tapi ke jalur hukum. Pelanggar dapat dipidana penjara dan atau didenda. Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta tidak dilarang, tapi dibatasi. Jika rumusan peraturan pemerintah tentang ketentuan batasan itu salah, solusinya bukan mengadu ke MK, tapi ke MA.

---                                                                                                             

Sabam Leo Batubara adalah Koordinator Perancang Awal RUU Penyiaran, 1999-2000.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya