Mata Sembab dan Satu Lembar Tisu Kusut

Aku dan sahabatku
Sumber :
  • U-Report

VIVA.co.id – Pada 2013 lalu, aku duduk di kelas 1 SMP. Saat itu sedang marak-maraknya tentang panasnya berita hukuman baret. Baret itu adalah hukuman besar yang akan diberikan kepada sepasang siswa dan siswi yang menjalani hubungan pacaran di sekolah. Berhubung sekolahku juga pesantren, pasti yang namanya berpacaran sangat dilarang di sini.

Musyawarah Besar Himpunan Mahasiswa Sastra Inggris UMI

Kira-kira 30 hari setelah hari MOS, beberapa temanku meledek aku dengan satu nama laki-laki. Jody namanya. Siapa dia? Anak kelas mana? Itu hal yang aku bingungkan saat itu. Aku minta kepada temanku untuk diberitahu laki-laki mana yang membuat aku diledek seperti ini. Hari ketiga penasaranku, aku baru sempat diperlihatkan wajah Jody.

Jody Andrian, ternyata dia adalah sosok yang manis. Aura wajahnya nyunda; ramah-tamah-someah, terlihat menyenangkan. Dia anak kelas 7C dan mondok di asrama. Berbeda dengan aku yang tinggal di rumah karena jarak yang dekat dengan sekolah.

Wahai Orang yang Tidak Berpuasa, Hormatilah Bulan Ramadan

Beberapa hari pikiranku terngiang oleh wajahnya, hingga teman-temanku akhirnya menjodohkanku dengannya. Suka? Ya, aku suka dengannya. Entah karena apa, tapi aku suka. Saat itu adalah hari Kamis, 7 November 2013. Ada satu teman SD-ku yang satu kelas dengan Jody. Dia adalah Aji. Aji menghampiriku yang sedang nongkrong di teras kelas bersama teman-teman.

"Yus.” sapanya. "Iya Aji?" gumamku. "Kata Jody, mau enggak jadi pacarnya Jody?" ucap Aji. Aji bilang apa? Apa enggak terlalu mustahil buat didengar? Di situ aku cuma bisa terdiam. Fatimah yang biasa kupanggil Imeh, sahabatku sejak masih TK langsung menyambung, "Ji, memang Jody bilangnya gimana?" Aji pun menjawab, "Iya, tadi Jody bilang begini, Yus, mau enggak jadi pacar Jody?" jelasnya dengan mempraktikkan wajah melas Jody yang berkata sambil menggores sisi meja .

Jadi Dewa Mabuk Sehari

Aku di situ hanya bisa diam dan berpikir. Sementara teman-temanku berkata, "Cieeeeee.. Yusri..". Kemudian aku pun dengan tegas menjawab, "Ji, bilang sama Jody, bilang saja enggak mau. Tap ingat ya Ji, aku tolak karena aku takut dibaret! Ingat loh Ji!" Lalu Aji pun pergi ke kelasnya untuk menyampaikan itu kepada Jody. Setelah beberapa hari, aku mendapat kabar kalau Jody sudah tidak ada perasaan apa-apa lagi terhadapku. Tapi apa? Ternyata aku memang suka terhadapnya.

Pernah suatu hari ketika aku sedang ada rezeki, aku pergi ke minimarket yang lumayan jauh dari desaku. Aku kabur membawa motor kakakku sambil melawan derasnya hujan, tanpa memakai helm. Di minimarket, aku membeli beberapa cemilan dan cokelat untuk Jody. Kemudian aku kembali pergi ke rumah dan mampir ke pesantren lebih dulu. Aku menitipkan sedikit cemilan yang sudah kubeli kepada temanku yang satu asrama dengan Jody.

Keesokan harinya di kelasku, "Yus ini, Jody menolak mentah-mentah," kata Riana, temanku yang satu asrama dengan Jody sambil memberikan cokelat yang kemarin aku titipkan. "Beneran dia tolak mentah-mentah?" tanyaku tak percaya."Iya Yus." jawab Riana. Aku hanya bisa menatap wajah Riana sambil tersenyum minggir.

Ketika pulang sekolah, cuaca mendung. Aku segera berganti baju dan membantingkan badanku ke kasur, membalut badan dengan selimut, sambil menyalakan televisi. Aku menangis berteriak di rumah, kebetulan di rumah sedang tidak ada siapa-siapa. Di luar hujan besar mengguyur dengan petir-petirnya. Ya, mungkin hanya langit yang bisa menghargai aku.

Aku pikir yang kemarin aku lakukan itu adalah hal besar, walau mungkin jika dipandang sebelah mata pasti tidak ada apa-apanya. Pada 2014, tahun ajaran baru. Saat itu aku senang, aku menjadi kakak kelas. Duduk di kelas 8B. Jody still single dan ada di kelas sebelah, yaitu 8A. Satu hal yang aku khawatirkan, bagaimana jika ada adik kelas yang dapat memenangkan hati Jody?

Pada 7 November 2014, pasca 1 tahun setelah peristiwa penembakkan Jody. Di tanggal itu aku memutuskan aku ingin benar-benar move on dari Jody, walaupun belum berhasil. Entah di akhir bulan April atau awal bulan Mei 2015, aku mulai melampiaskan perasaan kepada seorang adik kelas. Kian namanya. Dia putih, terlihat disiplin, kesayangan guru sepertinya dan K-popers.

Aku masih ingat, Kian berulang tahun pada tanggal 19 Mei dan pada saat 19 Mei 2015 itu, aku memberi kado hadiah ulang tahun kepada Kian. Kadonya adalah foto ucapan selamat ulang tahun dari teman-temanku dan juga dari kakaknya Kian. Foto itu aku cetak, kemudian aku beri frame dan aku berikan ke Kian lewat temanku. Oh iya, Kian itu anak pondok asrama juga.

Setelah berusaha move on kepada Kian, ternyata aku tak bisa dan akhirnya kembali lagi ke Jody. Huuh, ya gagal move on. 18 April 2015, aku masih duduk di kelas 8B. Ada kabar yang menyebar kalau Jody jadian dengan teman sekelasnya. Dia salah satu temanku juga, namanya Alivia. Alivia yang tinggi, putih, berbakat dalam bidang Bahasa Inggris, dan mondok di asrama. Ya, aku hanya bisa apa? Aku tak pandai mengapresiasikan rasa sakitku di hadapan teman-teman. Apalagi Alivia lebih dariku.

Aku hanya bisa menangis di rumah, di rumahku yang seringkali sunyi. Pernah di hari yang entah kapan, tepatnya di depan kantor guru, Alivia datang menghampiri teman-temannya dan kebetulan aku berada di situ. Dia menceritakan kabar gembira tentang aksi so sweet-nya bersama Jody. Dia bilang ketika di kelas pas jam mata pelajaran  berlangsung dia surat-menyurat bersama Jody. Isi suratnya yang aku masih ingat berisi bahwa Jody menyebut Alivia dengan sebutan cantik dan Jody memberikan permen Kiss dengan kutipan sweet di bungkusnya.

Sakit. Itulah yang aku rasakan. Tapi aku tetap hanya bisa menyaksikannya. Aku bukan sutradara atas semua ini, tak berhak mengatur aksi mereka. Aku juga bukan penulis cerita yang berhak mengatur jalan sebuah cerita. Aku sungguh hanya seorang penonton yang hanya bisa menyaksikan kemudian mengekspresikan atas apa yang telah disaksikan.

Masih pada tahun 2015, tanggal 24 entah bulan apa, kabarnya Jody telah berpacaran dengan Nadya. Nadya, seorang adik kelas, badannya mungil, dia manis, lebih modis dariku dan wajahnya seperti Arab. Pasrah. Aku hanya bisa pasrah. Menangis. Sakit. Setelah berbulan-bulan dengan perasaan yang sama kepada Jody. Sampai akhirnya aku bertemu tahun ajaran baru di kelas 9C dan Jody duduk di kelas 9B.

Saat itu adalah bulan Oktober. Aku dan Fatimah mulai ikut di kegiatan asrama. Kemudian sang ustadz mencantumkan nama aku dan Fatimah dalam absen semua kegiatan asrama. Tibalah saatnya perayaan Tahun Baru Islam, sang ustadz untuk pertama kalinya mengadakan lomba qasidah dan marawis. Saat panitia acara membacakan ulang anggota-anggota kelompok, aku tersenyum. Ya, aku satu kelompok dengan Jody. Tapi, Nadya juga satu kelompok dengan kami.

Waktunya kumpul per kelompok. Ketua kelompok yaitu kakak kelas 12, memimpin perkumpulan kelompok dan mengajak anggota untuk mendiskusikan tentang lagu yang akan dimainkan, kostum yang akan dikenakan dan bagian tugas dalam kelompok. Akhirnya, aku dinobatkan sebagai vokalis, Nadya penari dan pemegang gendang mini, sedangkan Jody sebagai pemegang gendang utama karena Jody juga berbakat dalam memukul gendang.

Semasa latihan marawis, aku juga berperan dalam mengatur penari dan pemegang gendang mini. Dan karena Jody sebagai pemegang gendang utama, jadi mesti banyak berdiskusi dengan vokalis. Aku tersenyum karena ternyata Jody adalah orang yang sangat baik, pandai berdiskusi, dan lembut.

Pernah waktu itu teman-teman kelompokku sudah keluar lebih dulu dari kelas latihan, yang tersisa hanya aku dan Jody karena dia masih harus membereskan sisa alat musik dan aku membereskan laptopku yang telah selesai dipakai untuk latihan marawis. Saat itu menyebalkan sekali, kabel charger laptop itu tersangkut di meja, aku mencoba tenang, karena Jody memperhatikan. Aku geserkan meja tapi kabelnya masih tersangkut juga. "Itu kepala chargernya masih nyangkut," kata Jody. Kuperhatikan dia berkata-kata, lalu aku kembali geserkan meja sejauh-jauhnya. Malu sebenarnya, mungkin Jody melihat aku begitu ribet.

Setelah itu aku langsung membereskan laptopku dan segera bergegas pergi. Malam lomba tiba. Anggota wanita di kelompokku terlihat paling menarik perhatian karena kostum kita paling simpel tapi modis dan kita masing-masing mengenakan flower crown. Ya, bisa dibilang tema-nya itu adalah Angel Night. Saat sedang turun menuju lapangan tempat dilaksanakannya lomba, di pagar tangga terlihat Jody sedang menyandarkan badannya bersama teman-temannya. Akupun berhenti sejenak dan membiarkan teman lain turun tangga duluan. Kemudian aku melanjutkan turun tangga. Dan, "Yus." Jody menyapaku di tengah turunan tanggaku. Akupun menoleh ke arahnya dan dia berkata lagi, "Cantik euy". Di situ aku hanya buang muka dan melanjutkan perjalananku ke tempat lomba. Jika tidak salah itu adalah tanggal 17 Oktober 2015.

Beberapa malam setelah malam lomba marawis itu, akhirnya ustadz mengumumkan juara lomba marawis di masjid. Alhamdulillah, kelompokku menang sebagai juara ke-1. Kami mendapatkan bingkisan berisi snack dan uang tunai. Setelah selesai pembagian hadiah, kelompokku pun berkumpul untuk membagi hadiah lomba. Setelah selesai membagi hadiah kami pun bubar dan hendak pulang ke asramanya masing-masing. Di tengah perjalanan ke asrama aku berpikir, aku ingin iseng mengatakan ke Jody bahwa aku baper karena ulah Jody kemarin. Dan, akhirnya aku memutuskan mengatakan ini kepada kakak kelas yang dekat dengan Jody. "Kak, tolong bilang ke Jody, Yusrinya baper, pokoknya bilang aja kayak gitu!".

Keesokan harinya, Jody mengirimkan secarik kertas lewat Fatimah, sahabatku. Isi suratnya adalah, "Kenapa baper?" Aku tersenyum sejenak, kemudian aku balas, "Kan kamu tahu kalau aku itu suka sama kamu. Tapi, lupain deh! Kalau enggak suka enggak usah dianggap ya!". Sejak itu kita terus-menerus saling mengirim surat. Sampai akhirnya tragedi surat-menyurat itu disebut PDKT. Kami PDKT melalui pemborosan kertas dan tinta.

Pada hari Minggu tanggal 1 November 2015, aku dan Fatimah tahu agenda Jody di hari itu karena Jody juga banyak bercerita dengan Fatimah. Siangnya, aku memenuhi panggilan Jody untuk bertemu di warung tongkrongan dekat pesantren. Aku ke sana ditemani dengan Fatimah dan Jody ditemani oleh Faiq, teman baikku sejak kelas 7 yang berperan sebagai pemotivasi Jody untuk memandang perjuanganku dalam pengejaran Jody selama hampir dua tahun lamanya.

Ya, duduk di warung itu, kami pun sedikit berbasa-basi, Jody akhirnya mengungkapkan perasaannya padaku. Aku dan Jody resmi berpacaran. Setelah 1 November 2015 itu, aku menjalani ke-so sweet-an bersama Jody. Bahagia. Sampai akhirnya hari itu beralih ke tanggal 17 November 2015 di mana titik jenuh Jody atas kelakuanku muncul. Mungkin Jody bosan atas kata maaf yang berkali-kali aku katakan kepadanya. Ya, di tanggal itu Jody minta agar kami pura-pura putus. Jody melarang untuk saling tatap mata lagi, Jody larang aku traktir dia lagi, pokoknya dia melarang semua rutinitas yang biasa kami lakukan. Jody takut kabar tentang hubungan aku dengannya sampai ke telinga ustadz.

Sejak itu aku katakan kepada semuanya bahwa aku sudah putus dengan Jody, kecuali Fatimah. Hanya Fatimah yang tahu kalau aku hanya pura-pura putus dan itu semua perintah Jody. Setelah tanggal 17 November 2015 hari-hariku sangat hampa. Biasanya ketika aku melihat Jody, dia akan dengan konyolnya mengedipkan mata genitnya padaku atau sekadar melontarkan senyum manisnya, kita bercanda dan tertawa. Tapi sekarang tidak lagi. Jody benar-benar cuek saat itu, seolah-olah sudah benar-benar putus denganku.

Suatu hari, aku diberi kabar oleh adik kelasku, Agam, anak kelas 7. Dia bilang bahwa Jody diberi makanan oleh Nadya (mantannya). Aku kembali terdiam dan hanya bilang bahwa aku sudah putus dengan Jody. Aku tak bisa marah pada Jody. Jody sedang cuek denganku, lagipula aku tahu Jody pasti tak suka dimaki-maki. Tapi, aku meminta Agam untuk memata-matai kedekatan Jody dengan Nadya.

Beberapa hari setelah itu, Agam banyak memberikan informasi tentang kedekatan Jody dengan Nadya sampai aku lelah karena terus-menerus mendapat kabar tidak mengenakkan hati darinya. Akhirnya, aku pun mengirim surat untuk Jody yang isinya menanyakan tentang kedekatannya dengan Nadya dan tentang kelanjutan hubungan kami. Aku menitipkan surat itu kepada temanku, Alfi. Tetapi menurut Alfi, Jody hanya bilang bahwa cepat atau lambat Jody akan membalas surat itu.

Pada tanggal 28 November 2015, sekolahku mengadakan fieldtrip ke Kota Jakarta. Tapi, sampai hari itu pun Jody belum memberi jawaban atas suratku yang akhirnya mendorongku untuk menchattingnya via facebook. Aku katakan,"Jod, jadi apa maksudnya pura-pura putus begini?" Menurutku itu agak sedikit memaki Jody, tapi ya harus bagaimana lagi, aku bingung.

Ketika sedang dalam perjalanan ke Jakarta, aku duduk di kursi bus nomor 24. Memang, aku sedikit tidak bergairah di hari itu. Aku takut akan jawaban Jody di chatting facebook itu. Tepat ketika aku sedang mendengarkan lagu Animals-nya Martin Garrix, ada pemberitahuan di facebook chat. Aku pun membukanya. Dan, "Yus, sebenarnya Jody kecewa sama kamu karena kamu orangnya terlalu sombong. Ya sudahlah sampai di sini saja ya." Shocked? Sangat!

Aku langsung memeluk sahabat yangg duduk di sebelahku, Fatimah, sambil meneteskan air mata dan memperlihatkan apa yang baru saja aku lihat padanya. Kemudian Fatimah langsung memeluk mengelusku, membuat aku agar tenang dan menasihati sebisanya. Di situlah puncak kesakitan yang aku rasakan, merusak hari bahagiaku dengan semuanya. Jadilah mata yang sembab dan satu lembar tisu yang kusut menemani perjalananku.

Sebagai sahabat yang tak ingin merusak hariku, Fatimah langsung mengajakku ber-selfie. Tak apa, niatnya pasti bagus. Hubunganku dan Jody pun berakhir. Tapi aku bangga pernah memiliki Jody. Sampai saat ini, aku masih yakin tentang perasaan Jody kepadaku. Sampai detik ini, aku belum bisa move on darinya, karena aku masih mempunyai keyakinan tentangnya. Tatapan matanya juga, masih dapat menghipnotisku sampai saat ini. Mungkin aku akan dapat move on darinya nanti ketika aku lulus dari SMP ini. (Cerita ini dikirim oleh Yusriym)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya