Janji Nawacita Agraria Ala Jokowi

Kegiatan bagi-bagi sertifikat oleh Presiden Joko Widodo
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Reforma agraria dengan redistribusi dan program kepemilikan lahan seluas sembilan juta hektare, menjadi salah satu program pemerintahan Joko Widodo yang masuk Nawacita. Tujuannya, untuk membantu kehidupan masyarakat kalangan bawah, seperti petani dalam masalah ketimpangan lahan.

Gelar Reforma Agraria Summit 2024, Kementerian ATR: Tindak Lanjut Deklarasi Karimun 2023

Angka sembilan juta hektare diproyeksikan dari Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dengan sumber kawasan hutan seluas 4,1 juta hektare. Sisanya, lahan berasal dari Hak Guna Usaha (HGU) habis, atau tanah terlantar seluas 0,4 juta hektare dan legalisasi aset seluas 4,5 juta hektare.

Selama hampir 3,5 tahun pemerintahan Jokowi, reforma agraria dinilai belum sesuai tujuan, karena lebih menitikberatkan dalam aspek legalisasi aset. Legalisasi aset ini dengan proses administrasi penerbitan sertifikat tanah. Program bagi-bagi sertifikat oleh Jokowi pada masyarakat menjadi perdebatan.

Strategi AHY Gebuk Mafia Tanah Setelah jadi Menteri ATR

Sekretaris Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, mengkritik reforma agraria era Jokowi masih berjalan lamban. Alasannya, pemerintah lebih fokus terhadap pembagian sertifikat. Padahal, kata dia, dalam proses reforma agraria yang benar, legalitas aset seperti sertifikat ini merupakan tahapan akhir.

"Jalan lamban, karena lebih fokus bagi-bagi sertifikat itu. Kalau bicara reforma agraria luas seperti penyelesaian sengketa lahan, pengurusan tanah terlantar. Rombak struktur biar lebih adil. Kalau ini kan bagi-bagi sertifikat jadi yang pertama," kata Ruli, saat dihubungi VIVA, Rabu 21 Maret 2018.

Reforma Agraria, Mahfud MD Bongkar Ketimpangan Penguasaan Lahan Sawit Segelintir Pengusaha

Baca: Jokowi Rajin Bagi-bagi Sertifikat, Amien Rais: Pengibulan

Untuk lahan 4,1 juta hektare dari TORA dinilai Ruli sulit dikejar bila mengacu persoalan seperti sekarang. Meski secara wilayah geografis, seharusnya RI tak masalah dengan lahan yang diproyeksikan untuk TORA.

"Kawasan hutan 4,1 juta hektare itu bagaimana? RI itu ada Kalimantan, Sumatera. Banyak lahan, tetapi banyak juga yang dipakai buat area sawit. Ini yang belum adil," tutur Ruli.

Kegiatan bagi-bagi sertifikat oleh Presiden Joko Widodo

Baca: Jokowi Yakin Reforma Agraria Jadi Solusi Kemiskinan

Ruli menyinggung, bila reforma agraria menjadi prioritas pemerintah, seharusnya sudah tak ada itu kebijakan penggusuran dan kriminalisasi terhadap petani. Namun, persoalan ini masih terjadi. Angka konflik agraria dinilai meningkat dalam dua tahun terakhir. Dibandingkan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, peningkatan konflik agraria meningkat pada era Jokowi.

Untuk 2017, ia menyebut ada 125 kasus terkait konflik agraria yang terjadi di berbagai daerah. "Itu ada di 53 Kabupaten dari 17 Provinsi. Semua kejadian, juga melanggar hak asasi petani," kata Ruli.

Berikutnya, kendala birokrasi>>>

Presiden Joko Widodo (kiri) memanen jagung bersama petani

Kendala Birokrasi

Persoalan reforma agraria belum bisa maksimal, karena faktor birokrasi. Ketua Dewan Konsorsium Pembaruan Agraria, Iwan Nurdin menilai, selama birokrasi belum berpihak kepada masyarakat, maka akan lamban dan sulit. Keperluan masyarakat dalam kebutuhan agraria dianggap belum menjadi prioritas.

"Saya katakan, reforma agraria yang dijalankan pemerintahan Jokowi ini masih dengan kadar sedikit. Ini juga terjadi di periode SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Kenapa? Karena, birokrasi belum berpihak ke rakyat," ujar Iwan di Jakarta, Rabu 21 Maret 2018.

Baca: Jokowi Janji Sertifikasi Tanah Lebih Cepat

Tujuan reforma agraria, menurutnya, harus bisa menekan angka ketimpangan. Namun, saat ini, ia menilai belum terpenuhi tujuan tersebut. Soal sertifikasi tanah dalam reforma agraria, memang bagian dari reforma agraria. Tapi, penerapannya keliru. Sebab, tujuan reforma agraria harus merujuk keseluruhan sehingga bagi-bagi sertifikat seharusnya dipraktikkan di tahapan akhir, bukan awal.

"Menempatkan sertifikasi itu di belakang, bukan di depan. Jadi begini, sertifikasi itu jika ditempatkan di depan, dia melayani orang-orang yang telah bertanah (punya tanah)," kata Iwan.

Baca: Menteri Sofyan: Rp30 Triliun Tak Cukup untuk Bebaskan Lahan

Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu pernah mengatakan reforma agraria menjadi salah satu fokus pemerintah. Diakuinya, kemiskinan, ketimpangan, serta penciptaan lapangan pekerjaan masih persoalan. Ia menekankan permasalahan tersebut diharapkan bisa ditangani melalui reforma agraria.

"Saya berharap reforma agraria dapat menjadi cara baru untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi khususnya di perdesaan," kata Jokowi dalam forum pengantar rapat terbatas di Kantor Presiden.

Menurut dia, semangat reforma agraria harus mewujudkan keadilan dalam ketimpangan tanah, penggunaan dan pemanfaatan tahan. Dengan reforma agraria, wilayah serta sumber daya alam juga harus menjadi titik fokus yang diprioritaskan.

"Reforma agraria juga harus bisa menjadi cara baru menyelesaikan sengketa-sengketa agraria antara masyarakat dengan perusahaan, antara masyarakat dengan pemerintah," ujar Jokowi.

Petani mencabutil bibit padi di area persawahan Desa Kalidoro, Pati

Selanjutnya, butuh gebrakan>>>

Butuh gebrakan

Reforma Agraria dinilai bisa terpenuhi bila sudah dilakukan keberanian merombak untuk menekan ketimpangan lahan. Menurut peneliti Pusat Studi dan Dokumentasi Agraria Indonesia Sajogyo Institute, Eko Cahyono, reforma agraria harus dijadikan dasar pembangunan bukan program.

"Bukan program, tapi dia adalah basic pembangunan. Dunia negara ketiga, hampir semua melakukan reforma agraria," ujar Eko yang juga dosen Institut Pertanian Bogor tersebut, saat dihubungi VIVA, Rabu 21 Maret 2018.

Eko menekankan, dalam reforma agraria juga harus punya tahapan yang terstruktur. Persoalan ketimpangan, pendistribusian, harus dikedepankan terlebih dulu ketimbang aspek sertifikasi.

"Sertifikasi itu di ujung terakhir, setelah seluruh prasyarat selesai. Kalau ngacu bagi-bagi sertifikat, ya target sembilan juta itu bisa terkejar. Tetapi, kalau pendistribusian tanah, ya enggak bisa kekejar," tutur Eko.

Kemudian, ia menilai, butuh gebrakan oleh Pemerintahan Jokowi bila ingin menerapkan tujuan reforma agraria. Gebrakan terkait keberanian mengurangi ketimpangan lahan untuk masyarakat bawah.

Menurutnya, banyak lahan di Sumatera dan Kalimantan, yang digarap untuk kepentingan bisnis seperti sawit hingga tambang. Hal ini, seharusnya bisa dimoratorium pemerintah. Dengan sisa pemerintahan Jokowi yang tersisa sekitar 1,5 tahun lagi, sulit berharap banyak. Apalagi, saat ini sudah memasuki tahun politik.

"Sulit dengan sisa waktu sekarang. Tetapi, gebrakan, keberanian pemerintah perlu. Berani tidak tertibkan lahan sawit di Riau? Salah satu aktor ketimpangan lahan itu ada sawit. Banyak mafia sawit bermain," kata Eko.

Baca: 117.054 Petani Jadi Korban Konflik Agraria Sepanjang 2017

Dikutip dari laman Kantor Staf Presiden (KSP), Pemerintah menjelaskan legalisasi aset yang diselenggarakan Badan Pertahanan Nasional (BPN) masuk bagian dari reforma agraria. Legalisasi aset ini, masuk dalam tataran operasional sehingga ada harapan masyarakat bisa memanfaatkan tanah dengan baik.

Berdasarkan data Buku Realisasi Kegiatan Legalisasi Aset Redristribusi Tanah Tahun 2015-2017 dari BPN, hingga Agustus 2017, pemerintah sudah menyerahkan 2.889.993 sertifikat tanah. Untuk tahun 2018, pemerintah meningkatkan target sertifikat yang akan dibagikan kepada masyarakat menjadi tujuh juta. Di tahun berikutnya pada 2019, target ditingkatkan menjadi sembilan juta sertifikat.

Adapun redistribusi Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) bertujuan untuk pemerataan penguasaan kepemilikan tanah, terutama petani. Dari data realisasi fisik sertifikatan redistribusi tanah tahun anggaran 2015 sampai dengan Agustus 2017 mencapai 245.097 bidang.

Deputi Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden, Eko Sulistyo mengatakan pemerintah akan terus mengimplementasikan reforma agraria. Selain legalisasi aset, pemerintah juga akan gencar soal distribusi sertifikat, hingga pemberdayaan masyarakat adat.

Menurut dia, ada terobosan lain seperti percepatan penyelesaian konflik agraria untuk mencapai tujuan reforma agraria. Beberapa persoalan seperti solusi menyelesaikan sengketa agraria antara perusahaan dengan masyarakat atau sebaliknya antara masyarakat dengan negara.

Perlunya upaya solusi penyelesaian ini juga untuk membantu mengatasi ketimbangan sosial ekonomi, terutama di wilayah pedesaan. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya