212 The Power of Love Tak Sesuai Ekspektasi?

212 The Power of Love.
Sumber :
  • Warna Pictures

VIVA – “Islam itu peace and love (damai dan cinta), rahmatan lil 'alamin. Yang radikal itu otak lo."

Dari potongan dialog dalam film 212 The Power of Love yang sempat muncul di trailer-nya itu, Anda mungkin sudah bisa menebak bahwa film ini ingin menyampaikan pesan bahwa Islam bukan cuma indah, namun juga damai dan penuh cinta.

Rahmatan lil 'alamin, artinya Islam merupakan agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta, apalagi sesama manusia.

9 Mei 2018 menjadi tanggal dirilisnya film yang menceritakan tentang iman, cinta, dan kedamaian tersebut.

Film yang dibintangi oleh Fauzi Baadila, Humaidi Abas, Adhin Abdul Hakim, Hamas Syahid, Meyda Sefira, Asma Nadia, dan Roni Dozer ini cukup dinanti-nantikan publik Tanah Air, lantaran mengangkat kisah nyata Aksi Damai 212, atau yang juga dikenal dengan Aksi Bela Islam yang digelar pada 2 Desember 2016 silam. Kebanyakan orang pun penasaran, bagaimana jadinya jika aksi yang sangat fenomenal itu dituangkan ke dalam film.

Namun, setelah menonton 212 The Power of Love, bisa dibilang film ini ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi, tetapi bukan dalam arti negatif. Anda mungkin membayangkan film ini bakal habis-habisan mengangkat Aksi 212. Nyatanya, film ini lebih mengangkat hal-hal seputar keimanan, kedamaian, dan cinta yang universal. Dalam hal ini, cinta kepada orangtua dan Sang Pencipta.

Film bergenre drama yang disutradarai oleh Jastis Arimba ini mengisahkan cerita tentang Rahmat, seorang jurnalis di sebuah media terkenal di Indonesia. Ia digambarkan sebagai seorang pria yang dingin dan sinis.

Rahmat yang mendapat kabar bahwa sang ibu meninggal dunia, langsung pulang ke Ciamis, Jawa Barat, setelah 10 tahun ia pergi dan belum pernah satu kali pun kembali, karena persoalan di masa lalu.

Di sana, ia pun bertemu kembali dengan Yasna, sahabat kecil yang diam-diam masih ia kagumi hingga saat ini. Setelah pemakaman ibunya, Rahmat bermaksud kembali ke Jakarta, namun ia mendapat informasi bahwa ayahnya, Kyai Zainal akan melakukan longmarch bersama para santri dari Ciamis, untuk mengikuti aksi pada 2 Desember 2016 (212).

Rahmat dan sang ayah diketahui memiliki hubungan yang sangat tidak harmonis, karena di mata ayahnya, Rahmat adalah seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab.

Rahmat lantas berupaya menggagalkan niat ayahnya, karena khawatir aksi tersebut akan memicu kerusuhan, serta menimbulkan korban jiwa seperti peristiwa aksi 1998.

Diproduksi oleh Warna Pictures, film ini juga menghadirkan artis papan atas yang juga alumni Aksi 212, yaitu Irfan Hakim, Arie Untung, Peggy Melati Sukma, Dimas Seto, Tomy Kurniawan, dan Neno Warisman. Ustaz Erick Yusuf, dan Oki Setiana Dewi juga terlibat untuk pertama kalinya sebagai produser eksekutif.

Berkaca di Pilpres 2019, Kelompok 212 Dianggap Lebih Memilih Prabowo

Berikutnya, cinta universal>>>

Cak Imin Siap Jaga Konser Coldplay yang Ditolak PA 212

Cinta universal

Bicara alur, film ini alurnya agak lambat dan kelewat mendetail. Satu adegan dan dialog lebih banyak diamnya. Terkesan, take-nya terlalu lama. Mungkin, ini sebenarnya akan oke-oke saja seandainya didukung dengan akting para pemainnya yang berkualitas.

Habib Rizieq Sempat Khawatir Hadir ke Reuni 212: Takut Ditangkap Lagi

Namun, di film ini kebanyakan aktor dan aktris yang menjadi pemeran pendukung merupakan bintang film baru, sehingga karakter dan akting mereka tidak terlalu kuat.

Meski begitu, akting Fauzi Baadila sebagai Rahmat dan Humaidi Abas sebagai ayah Rahmat, yakni Kyai Zainal patut diacungi jempol. Kisah film yang lebih mengangkat hubungan antara keduanya jadi semakin terasa hidup dari dialog-dialog dan interaksi antara mereka.

Jika di awal-awal film jalan cerita terasa membosankan dan bertele-tele, bahkan terkesan seperti film low-budget dari teknik dan dialog. Namun, segalanya langsung berubah ketika Rahmat bertemu dengan sang abah. Momen pertemuan keduanya membuat film lebih menarik.

Apalagi, akting Humaidi Abas terasa begitu natural dan mengena. Chemistry keduanya sebagai ayah dan anak juga sangat pas, serta membuat penonton terbawa pada konflik yang sebenarnya sudah terjadi antara keduanya bahkan sejak Rahmat masih anak-anak.

Penonton lantas digiring dengan hubungan keduanya yang kian memanas dan mau tak mau terbawa haru dengan adegan-adegan yang membuat mata berkaca-kaca. Misalnya ketika ibunda Rahmat meninggal dunia, ketika Rahmat mengurus dan memarahi sang ayah yang mungkin terlihat mengesalkan, namun ada cinta di baliknya. Begitu pula dengan ayahnya.

Momen-momen inilah yang paling mengena. Siapa sih yang tidak terharu dengan apapun yang berhubungan dengan orangtua?

Sementara itu, kisah tentang Aksi 212-nya sendiri tidak terlalu banyak, namun tetap memperlihatkan reportase dari kejadian sesungguhnya yang dituangkan ke film. Misalnya, ketika rombongan Kyai Zainal yang melakukan longmarch dari Ciamis ke Jakarta untuk ikut aksi.

Menariknya, sepanjang film penonton hanya diperdengarkan musik background sederhana dan tidak disisipkan banyak soundtrack. Namun, ketika orangtua Rahmat meninggal, justru diganti dengan lantunan ayat suci Alquran, yang membuat nilai keislamannya lebih terasa.

Selanjutnya, tak bermuatan politik>>>

Tak bermuatan politik

Seperti yang sudah disebutkan di atas, berbeda dari perkiraan banyak orang, film ini ternyata tidak mengisahkan tentang Aksi 212. Tak hanya itu, film berdurasi 110 menit ini juga sama sekali tidak bermuatan politik.

Padahal, kita semua tahu bahwa Aksi 212, merupakan reaksi atas pernyataan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, alias Ahok yang dianggap menistakan agama Islam dalam kunjungan kerjanya ke Pulau Seribu.

Produser film, Helvy Tiana Rosa, bahkan mengatakan bahwa film ini sebenarnya bukan dibuat hanya untuk ditonton oleh umat Muslim saja, melainkan juga untuk non-muslim. Bahkan, beberapa bintang non-Muslim pun turut bermain di film tersebut. Mereka adalah Roni Dozer dan Echie Yiexcel.

"Saya senang di sini (film) bukan hanya Muslim semua. Di sini ada Roni, sama-sama membuat kita damai dalam film ini dan kemudian Echie yang non-Muslim. Kita percaya, film ini untuk mempersatukan kita bukan untuk mengkotak-kotakan kita," kata Helvy. saat ditemui VIVA baru-baru ini.

Skenario film ini sebenarnya ditulis oleh sang sutradara, Jastis Rimba dengan supervisi Helvy. Helvy yang sehari-harinya berprofesi sebagai penulis itu, lantas menuangkan kisah ini dalam novelnya yang berjudul 212 Cinta Menggerakkan Segala. 212 The Power of Love juga merupakan karya layar lebar perdana Jastis, pria yang selama ini berkecimpung di dunia film dokumenter.

Sebelumnya, Erick Yusuf, selaku produser eksekutif juga menyampaikan bahwa film ini ingin menampilkan Islam sebagai agama yang toleran. "Penamaan film diambil dari aksi 2 Desember 2016 itu. Sedangkan narasinya, dibangun atas nama persatuan dan cinta kasih," ucapnya.

Sang pemeran utama, Fauzi Baadila juga menjelaskan bahwa pihaknya hanya ingin mendokumentasikan sejarah perjuangan kaum muslim Indonesia pada aksi demo 212 tersebut.

"Membingkai sejarah tujuh juta orang kumpul di Monas, pernah terjadi di bumi ini? Enggak ada satu pun yang memfilmkan. Mau di negara mana ,enggak bakal ada orang yang ngumpul di satu titik tujuh juta orang," kata Fauzi.

"Nah, kita kan coba untuk mendokumentasi, bahwa kalau muslim digabung, banyak, berdoa bareng, damai, luar biasa itu," ujarnya menambahkan.

Fauzi Baadila

Pria berkepala plontos itu juga sempat mengungkapkan banyaknya kesulitan dan kendala yang harus dihadapi oleh tim produksi saat menjalani proses syuting. Hal itu, karena banyak sejumlah pihak yang menduga bahwa film ini sangat bermuatan politik.

"Yang gue tahu, susah dapat izin. Sulit banget, sampai script-nya dicek berkali-kali. Mau syuting di sebuah lokasi misalnya, itu enggak boleh. Ada banyak titik-titik yang kita enggak boleh syuting," kata Fauzi.

Kesulitan itu diakui Fauzi ,juga kerap terkait dengan masalah perizinan, "Izinnya buat lolos itu sulit, setahu saya ya. Sebenarnya sih, itu bukan saya yang kompeten menjawab, tapi itu yang saya dengar," ujarnya.

Tak hanya itu, masalah pendanaan dari pihak sponsor pun turut mewarnai perjuangan tim produksi dalam merampungkan film 212 The Power of Love ini.

"Setahu gue, sponsor mundur semuanya. Jadi, pas syuting saja tuh kita mesti sampai berhenti-berhenti dulu, karena kita masih harus ngumpulin dana lagi. Karena, dananya tuh dana wakaf, jadi kita patungan. Karena, enggak ada yang mau modalin," kata Fauzi.

Selanjutnya, kurang layar>>>

Kurang layar

Besarnya animo masyarakat Indonesia terhadap film ini juga sempat terlihat di hari pertama penayangan, di mana banyak warganet yang mengeluh di Twitter bahwa mereka kehabisan tiket. Namun, hal itu sebenarnya juga karena jatah layar yang bisa dibilang tidak banyak. Sejauh ini, film tersebut hanya ditampilkan di 60 layar di seluruh Indonesia.

Dari situs resmi 21cineplex, hanya tiga bioskop mereka di Jakarta yang menayangkan film 212 The Power of Love pada Jumat 11 Mei 2018, yakni Bassura XXI, Blok M Square, dan Daan Mogot XXI. Sedangkan dari situs CGV, diketahui ada sebanyak 42 bioskop yang menayangkan film tersebut di seluruh Indonesia. Hanya empat di antaranya, yang merupakan bioskop di Jakarta.

Fauzi Baadila sendiri sempat menyayangkan bahwa kuota layar yang diberikan pada film yang dibintanginya ini sangat minim. Ia lantas berharap, di hari-hari awal pemutaran film, jumlah penontonnya bisa membludak, sehingga ada kemungkinan penambahan jumlah layar.

"Dapat jumlah layar bioskopnya juga sedikit banget. Kalah dibanding film-film pop lainnya. Jadi, kalau emang mau, ya nonton di awal-awal tayang, supaya kalau penontonnya banyak mudah-mudah bisa dapat kuota (layar) lebih banyak juga," ujarnya.

Sang produser, Erick juga sempat mengatakan bahwa pihaknya telah meyakinkan pihak bioskop untuk menambah layar. Sayang, permintaan tersebut sulit direalisasikan, lantaran filmnya mau tak mau harus berbagi dengan film-film lain, termasuk blockbuster Avengers: Infinity War.

Syahrini Nobar Film 212

Sarat makna

Meski tidak seperti yang dibayangkan orang, bahwa film ini ternyata bukan hanya soal aksi damai, namun 212 The Power of Love mendapat kesan yang positif dari berbagai penontonnya. Salah satunya ialah Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, yang mengaku puas setelah menonton. Film itu dinilai Prabowo, banyak menceritakan bagaimana Islam yang merupakan agama yang damai dan menjunjung tinggi persatuan.

Di sisi lain, Prabowo juga memuji drama keluarga antara orangtua dan anak yang diangkat di dalamnya. "Ceritanya humanis dan konfliknya antara orangtua dan anak. Yang mengharukan adalah penulis skenario, sutradara dan aktornya mampu untuk menyampaikan suatu cerita singkat yang mengharukan," kata Prabowo usai menonton film 212 The Power of Love di Epicentrum XXI, Jakarta, Selasa 8 Mei 2018.

Bahka,n Prabowo mewajibkan seluruh kadernya bersama-sama menonton film tersebut. Selain menghargai karya anak bangsa, film ini dinilai punya unsur mendidik untuk semua kalangan. "Saya wajibkan seluruh anggota Gerindra nonton di tempat kita nonton bareng," ujarnya.

"Film ini memperlihatkan cinta kasih dan betul-betul menunjukkan semangat kebersamaan," kata dia.

Prabowo Nobar Film 212

Hal yang sama juga diungkapkan oleh seorang penonton, Dedi Sukardi. Mahasiswa S3 yang ikut Aksi 212 dari awal sampai akhir itu awalnya menonton hanya karena penasaran. Sebelumnya, ia mengira film ini akan lebih mengangkat tentang Aksi Bela Islam. Meski begitu, menurut dia sah-sah saja, karena inti ceritanya terletak pada the power of love yang ada di judul.

"Menurut saya lumayan, karena sebenarnya ceritanya kan the power of love. Jadi, memang cerita tentang keluarga, jadi cintanya itu lebih universal. Jadi, bukan hanya cocok untuk penonton Muslim, namun juga non-Muslim. Sempat bertanya-tanya juga, apakah film ini akan dibawa ke something politik, tapi ternyata enggak sama sekali. Jadi, bagus lah," katanya, saat ditemui di kawasan Cibubur, Kamis 10 Mei 2018.

Sementara itu, Fauzi Baadila juga menegaskan bahwa pesan moral yang dibawa dalam film ini adalah untuk meluruskan opini miring yang dihembuskan sejumlah pihak, mengenai kaum muslimin pada saat Aksi 212 tersebut berlangsung.

"Pesan moralnya, ya kita di Islam itu orang-orang baik, enggak seperti yang disangka sejumlah orang. Cuma, peran saya (di film ini) saja yang enggak baik. Makanya, pesan saya adalah bahwa peran saya itu jangan ditiru. Saya sering dipanggil 'setan' di sini," ucap Fauzi.

Sedangkan menurut Helvy, film ini akan semakin membuat penonton cinta kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kepada keluarga. Dia pun mengimbau untuk tidak berprasangka buruk terlebih dahulu sebelum menonton film ini.

"Film ini kita buat untuk kecintaan kita kepada NKRI. Hindari prasangka, tonton dulu filmnya karena kebanyakan orang selalu bilang 'Wah film apa ini?'. Justru, film ini kita buat untuk persatuan NKRI," ujar dia. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya