Rupiah Tersandung Lagi

Petugas jasa penukaran valuta asing memeriksa lembaran mata uang rupiah dan dolar AS di Jakarta.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

VIVA – Jumat 10 Agustus 2018, nilai tukar mata uang Turki lira mengalami kejatuhan terburuk sejak 2001, yakni mencapai 18 persen. Dan sepanjang 2018 kurs lira juga sudah tersungkur hingga 42 persen terhadap dolar AS.

Rupiah Kembali Anjlok ke Level Rp 16.234 per Dolar AS

Efek dari krisis keuangan tersebut kemudian memicu kecemasan bakal menular dengan cepat ke pasar keuangan Eropa dan pasar keuangan negara berkembang lainnya termasuk Indonesia.

Bahkan, saat dinyatakan Turki alami krisis keuangan efeknya sudah merembet ke bursa saham dunia. Di mana aksi jual melanda bursa saham global termasuk di bursa wall street.

Mendag Imbau Masyarakat Tak Perlu Khawatir soal Pelemahan Rupiah

Sedangkan, di pasar modal Indonesia kondisi tersebut masih terus terjadi hingga penutupan perdagangan Selasa sore 14 Agustus 2018 yang ditutup melemah 91,37 poin atau 1,55 persen ke level 5.769,87 poin.

Pelemahan itu, berlanjut sejak awal perdagangan pada pagi sebelumnya, di mana IHSG melemah ke posisi 5.850,71 poin.

Bank Indonesia Naikkan BI Rate Jadi 6,25 Persen Demi Stabilkan Rupiah

Dampak krisis keuangan Turki pun membuat sentimen negatif terhadap investor Tanah Air dan itu terlihat dari melemahnya rupiah hingga Selasa yang mencapai Rp14.600 per dolar AS.

Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisbor) BI, rupiah melemah di perdagangan antarbank ke level Rp14.625 per dolar AS dari sebelumnya pada perdagangan kemarin dibanderol Rp14.583 per dolar AS.

Chief Market Strategist FXTM Hussein Sayed menjelaskan, rupiah mengalami tekanan jual yang tinggi karena krisis ekonomi di Turki mengganggu sentimen global dan menciptakan kondisi risk-off.

Menurut dia, sejak Senin 13 Agustus 2018 rupiah merosot ke level yang tak pernah tersentuh sejak Oktober 2015. Dan rupiah akan tetap tertekan karena risiko investor yang rendah dan dolar AS menguat secara umum.

"Risk-off yang dipicu krisis Turki mengurangi minat terhadap aset pasar berkembang," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Selasa 14 Agustus 2018.

Selain rupiah, rand Afrika Selatan juga merosot lebih dari 10 persen hingga saat ini, mencapai level terendah dua tahun yaitu 15,32 rand per dolar. Peso Argentina dan rubel Rusia termasuk mata uang pasar berkembang yang merosot paling drastis.

Sementara itu euro tergelincir ke bawah 1,14 terhadap dolar AS, disaat investor mencoba untuk menimbang kekacauan yang dapat diakibatkan Turki terhadap perbankan Eropa.

Persepsi Sesaat Pelaku Pasar

Presiden Turki Tayyip Erdogan

Sedangkan, melemahnya rupiah yang terus terjadi dalam dua hari terakhir akibat impact dari krisis ekonomi Turki di akui oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution.

Menurut dia, dampak krisis ekonomi Turki ke nilai tukar rupiah saat ini lebih disebabkan oleh persepsi sesaat pelaku pasar. Padahal krisis ini hanya bermula pada masalah dalam negeri Turki sehingga bersifat khusus.

"Karena satu negara sebenarnya itu terlalu berlebihan. Turki memang ada hal khusus di sana, sehingga kena dampaknya yang enggak mesti berlaku di negara lain. Namun, setelah kena orang bilang 'oh imbasnya besar' macam-macam," ujar Darmin di Jakarta, Senin, 13 Agustus 2018.

Ia pun menjelaskan, krisis Turki pada dasarnya bermula akibat tindakan pemerintah Turki yang menahan seorang pendeta Evangelis Andrew Brunson. Pendeta itu diadili di Turki atas tuduhan terorisme.

Akibat hal itu, lanjut Darmin, Presiden AS Donald Trump meminta pemerintah Turki untuk melepaskan pendeta tersebut. Trump mendesak pembebasannya dengan menaikkan bea masuk baja dan alumunium asal Turki.

"Ini bukan urusan perang dagang kayak dengan China dan Eropa. Nah dia (Trump) lagi marah saja, kemudian dibebankan bea masuk. Dia tahu, kalau dibebankan bea masuk di Turki ini dampaknya besar. Ini orang kemudian menganggap pastor (Brunson) enggak mau melepas. Ini pasti panjang, kemudian ada pelemahan mata uang Turki, itu saja," tuturnya.

Senada dengan Darmin, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun menilai efek dari krisis ekonomi Turki tak panjang ke ekonomi RI. Sebab, kondisi fundamental RI masih terjaga dengan baik.

Menurut dia, fundamental ekonomi RI yang baik tersebut terlihat dari capaian pertumbuhan ekonomi kuartal II 2018 yang mencapai 5,27 perse dan defisit transaksi berjalan yang terjaga meski naik sebesar 3 persen PDB.

"Ini masih lebih rendah jika dibandingkan situasi pada saat tamper tantrum 2015 yang bisa di atas 4 persen. Namun kita perlu hati-hati karena lingkungan yang dihadapi berbeda sekali dengan 2015. Waktu itu quantitative easing masih terjadi dan kenaikan suku bunga masih belum dilakukan baru diungkapkan," tutur dia.

Sementara itu, Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, Bambang Prijambodo mengatakan dampak krisis Turki ke Indonesia masih sangat kecil.

Menurut dia, terjadinya pelemahan nilai tukar lira terhadap dolar AS dan membuatnya memasuki krisis keuangan adalah karena faktor domestiknya sendiri, sehingga fundamental ekonomi Turki menjadi kurang baik.

Adapun buruknya kondisi fundamental Turki terlihat dari Defisit Transaksi Berjalan yang terus naik pada 2017 yang mencapai 5,6 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), utang swasta yang besar dan terlambatnya menaikkan suku bunga acuan bank sentral.

"Jadi ada dampak yang terjadi saat ini ke kondisi rupiah dan pasar modal, meski fundamental dan policy jauh lebih baik dari Turki, karakteristik ekonominya relatif sama," tegasnya kepada VIVA.

Masih Ada Ruang untuk BI

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo

Melemahnya rupiah terhadap dolar AS yang diakibatkan krisis ekonomi Turki ternyata juga menjadi perhatian sejumlah ekonom perbankan, salah satunya adalah ekonom PT Bank Permata Tbk yang menilai kondisi ini tak panjang.

Menurut dia, pelemahan rupiah yang tak panjang tersebut karena Bank Indonesia selalu berada di pasar dan sudah melakukan langkah-langkah stabilisasi melalui dual intervention pada pasar valas dan pasar SUN dalam rangka membatasi pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut lagi.

Selain itu, kondisi perekonomian Indonesia yang relatif lebih kuat dari Turki dan negara berkembang lainnya, yang dilihat dari tingkat utang luar negeri jangka pendek yang relatif rendah, dan cadangan devisa yang jauh lebih kuat dibandingkan kondisi 1998 serta 2008.

"Bahkan Defisit transaksi berjalan pada semester II-2018 diperkirakan akan normalize dan diperkirakan masih di level yang sehat yakni 2,0-2,5 persen terhadap PDB," jelas Josua kepada VIVA.

Oleh sebab itu, Ia menuturkan dalam jangka pendek ini, stance kebijakan moneter BI diperkirakan masih tetap ketat dalam rangka mendorong attractiveness dari aset keuangan berdenominasi rupiah.

Dan jika pelemahan rupiah masih terus berlanjut yang dikarenakan belum meredanya sentimen negatif pada Turki Lira, BI diperkirakan memiliki ruang menaikkan kembali suku bunga acuan pada semester II sebesar 25bps.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya