Iuran BPJS Kesehatan Bikin Sekarat

Ilustrasi logo BPJS Kesehatan.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya

VIVA – Pemerintah kewalahan. Defisit Badan  Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan terus melebar. Jalan pintas pun ditempuh, tak peduli walau bakal terjal. Menaikkan iuran BPJS Kesehatan akhirnya menjadi cara yang dianggap bisa menutup semua kerugian selama ini.

MTA Hormati Keputusan Pemerintah Laksanakan Idul Adha Besok

Kenaikannya pun tak tanggung-tanggung, hingga dua kali lipat. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, menyatakan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan berlaku efektif pada 1 September 2019. Kenaikan iuran itu nantinya akan dikukuhkan dalam bentuk Peraturan Presiden.

Tak heran bila keputusan ini langsung mengundang kritik berbagai pihak. Salah satunya dari mantan Sekretaris BUMN, Said Didu. Menurut dia, kenaikan iuran malah mencoreng citra Presiden Joko Widodo.

Pj Gubernur Sumut Bertemu Jokowi di Istana Negara, Ini yang Dibahas

Dia menyebut BPJS Kesehatan merupakan salah satu janji Jokowi saat kampanye Pilpres 2019. Said pun seolah menyindir kepada pihak tertentu agar menikmati kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini.

"Selamat menikmati. Awas kalau protes, nanti dituduh kufur nikmat," ujar Said seperti dikutip dari akun Twitter @msaid_didu.

OJK Tingkatkan Literasi Keuangan Masyarakat di Tempat Pengelolaan Sampah

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi ikut mengkritik langkah pemerintah itu. Dia menyebut jika dilihat dengan besaran iuran yang berlaku sekarang ini, memang masih jauh di bawah biaya pokok layanan kesehatan.

Said Didu Menjadi Saksi di Sidang Sengketa Gugatan Pilpres 2019

"Namun pertanyaannya, apakah kenaikan itu harus dibebankan ke konsumen, ataukah ada potensi skema lain untuk menekan tingginya defisit finansial BPJSKes. Artinya, tidak serta merta kenaikan iuran itu menjadi solusi tunggal untuk dibebankan ke konsumen," kata Tulus melalui keterangan tertulis, Kamis, 29 Agustus 2019.

Menurut dia, pemerintah bisa saja melakukan relokasi subsidi energi atau menaikkan cukai rokok. Sebagian dari subsidi energi yang masih mencapai Rp157 triliun itu bisa saja direlokasi menjadi subsidi BPJS Kesehatan. 

"Selain itu pemerintah bisa menambah suntikan subsidi di BPJS Kesehatan, sebab kalau untuk subsidi energi saja pemerintah mau menambah, kenapa untuk subsidi BPJSKes tidak mau? Padahal tanggung jawab keberlangsungan Jaminan Kesehatan Nasional adalah tanggung jawab pemerintah," ucap dia.

Namun, jika pemerintah tetap ngotot akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan, YLKI mendesak pemerintah dan manajemen melakukan reformasi total terhadap pengelolaan BPJS Kesehatan. Seperti, menghilangkan kelas layanan BPJS, selaras dengan spirit asuransi sosial yakni gotong royong. 

Terkait usulan besaran kenaikan tarif, YLKI memberikan toleransi dengan formulasi besaran kenaikan, yakni untuk kategori peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp30.000-40.000. Sementara itu, untuk peserta non PBI, usulan tarif rata-rata Rp60.000. 

Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi

Salah satu warga Jakarta, Vera (46) menolak keras kenaikkan iuran BPJS Kesehatan. Dia menyebut kenaikkan dua kali lipat ini sangat membebani. "Enggak setuju lah. Jadi mencekik. Budget yang tadinya bayar untuk berdua jadi satu orang," kata Vera kepada VIVAnews.

Menurut dia, pelayanan BPJS juga belum baik sehingga tidak pas untuk memutuskan penaikkan.

"Banyak hal yang harus diperbaiki seperti ada perbedaan antara pasien BPJS dengan yang bayar mandiri dalam hal pendaftaran, jadwal dokter yang harus reservasi jauh-jauh hari. Apalagi sekarang obat yang saya terima kebanyakan generik yang harganya murah, beda dengan awal-awal. Obat sudah jadi generik terus iuran mau dinaikkan? di mana cara pikirnya. Harapannya ya sekarang diperbaiki aja dulu sistemnnya, enggak muluk-muluk. Dan yang utama harus ramah juga ke pasien BPJS. Jangan seenaknya mentang-mentang ditanggung pemerintah, toh kita juga bayar iuran," ucap dia.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Keuangan akan mengeluarkan payung hukum terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Payung hukum ini berupa Peraturan Presiden atau Perpres yang akan ditandatangani Joko Widodo.

"Segera akan keluar Perpresnya. itungannya seperti yg disampaikan ibu menteri pada saat di DPR itu," kata Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo di DPR, Rabu 28 Agustus 2019.

Menurut Mardiasmo, kenaikan iuran ini akan didukung dengan perbaikan sistem Dewan Jaminan Sosial Negara (DJSN), sehingga keuangan BPJS Kesehatan lebih berkelanjutan. Selain itu, jika mengacu kepada undang-undang, sudah semestinya iuran BPJS Kesehatan dilakukan penyesuaian setiap dua tahun.

"BPJS akan memperbaiki semuanya, baik sisi purchasing-nya, semuanya-semuanya itu. Tapi dengan policy makes yang ada, dengan rekomendasi BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) dengan kolaborasi semuanya, masih ada defisit. Karena itu, harus ditutup, karena ada UU bahwa setiap dua tahun harus dievaluasi," ujarnya. 

Defisit Membengkak

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, defisit BPJS Kesehatan pada tahun ini diperkirakan akan lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya yang sebesar Rp28 triliun. Defisit pada 2019 dikatakannya menyentuh angka Rp32,8 triliun.

Sri mengungkapkan, tingginya perkiraan defisit tersebut disebabkan besaran iuran saat ini terbilang sangat murah ketimbang layanan jasa kesehatan yang disediakan oleh rumah sakit. Padahal, iuran asuransi kesehatan di negara mana pun ditegaskannya menggunakan biaya yang tidak sedikit.

"Apabila jumlah iuran tetap sama, jumlah peserta seperti yang ditargetkan, proyeksi manfaat maupun rawat inap dan jalan seperti yang dihitung, maka tahun ini jumlah defisit BPJS akan meningkat dari Rp28,35 triliun hingga Rp32,84 triliun," ujar Sri Mulyani di Gedung Parlemen.

Karena itu, lanjut dia, defisit BPJS Kesehatan dari tahun ke tahunnya mengalami lonjakan yang signifikan. Misalnya, pada 2017, defisit BPJS Kesehatan menyentuh angka Rp13,84 triliun, kemudian melonjak pada 2018 menjadi Rp19,4 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani di Kantor Presiden.

Defisit pada 2018 pun tidak berhasil ditambal secara menyeluruh sehingga menyisakan defisit Rp9,1 triliun yang harus di bawa ke tahun ini. Karena itu, Sri Mulyani meminta, Dewan Jaminan Sosial Nasional sebagai institusi yang ditugasi pemerintah untuk menentukan besaran iuran BPJS Kesehatan, harus konsisten menjalankan fungsinya untuk menentukan penyesuaian besaran iuran setiap dua tahun sekali.

"Pilihan pemerintah saat ini, apakah iuran bisa disesuaikan karena memang dengan kita melakukan langkah-langkah tertentu. Kalau itu dilakukan untuk menangani BPJS Kesehatan yang tetap bolong (defisit), karena iuran underprice (terlalu murah)," tutur Sri.

"Dalam program JKN setiap dua tahun iuran di review, namun karena menyangkut biasanya politis, beban masyarakat, policy process tertunda, sehingga tidak terjadi, sehingga masalah iuran BPJS sangat sensitif," tegas dia. 

BPJS Kesehatan

Sri Mulyani merincian sebagai berikut:

1. Iuran Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp42.000 dari sebelumnya Rp23.000.

2. Iuran Peserta Penerima Upah (PPU) badan usaha sebesar lima persen dengan batas atas upah sebesar Rp12 juta atau naik dari yang sebelumnya Rp8 juta. Sedangkan PPU pemerintah sebesar lima persen dari take home pay (TKP) dari yang sebelumnya lima persen dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga.

3. Iuran Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU):

-Kelas 1 naik menjadi Rp160.000 dari sebelumnya Rp80.000

-Kelas 2 naik menjadi Rp110.000 dari sebelumnya Rp51.000

-Kelas 3 naik menjadi Rp42.000 dari sebelumnya Rp25.000. 

Harus naik

Direktur Utama BPJS Kesehatan, Fachmi Idris, menegaskan besaran kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang rencananya bakal ditetapkan pemerintah pada 2020, memang harus diformulasikan secara hati-hati dan matang. Itu karena berhubungan erat dengan faktor psikologis masyarakat.

Meski begitu, dia menegaskan, besaran iuran bagi pekerja mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) yang rencananya dinaikkan dari sebesar Rp25.500 menjadi Rp42.000 untuk kelas III, tidak akan terlalu mengalami perubahan yang teramat besar. Karena jika dikonversikan, masyarakat hanya membayar Rp1.400 per hari.

"Tergantung dari mana melihatnya, harus hati-hati. Tapi kalau kami, tanggung jawab pemerintah kan adalah kepada penerima bantuan iuran, saya kira itu clear dulu. Penerima bantuan iuran itu adalah miskin tidak mampu. Nah, di luar segmen itu kita harapkan bayar iuran sendiri, adalah pekerja mandiri," katanya.

Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, Fahmi Idris (kiri)

Karena itu, lanjut dia, secara nominal seharusnya besaran iuran itu bisa sepadan dengan bentuk pelayanan kesehatan yang akan diterima masyarakat. Selama ini, besaran iuran dianggap terlalu murah dan tidak sepadan dengan berbagai jenis layanan jasa kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit.

"Kalau kita konversikan ke per hari kan tidak sampai Rp2.000 per hari. Tapi kalau menyampaikannya ada masyarakat yang mungkin berat, untuk itulah nanti proses cleansing data, pembenahan data bisa kita kuatkan," tutur dia.

Terkait besaran iuran yang diusulkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi sebesar Rp160 ribu untuk kelas I, Rp110 ribu kelas II dan Rp42 ribu untuk kelas III, BPJS Kesehatan tidak dalam posisi setuju atau tidak setuju. Sebab, ditegaskannya, kenaikan iuran adalah ketetapan yang harus diputuskan oleh pemerintah semata.

"Mungkin bahasanya begini, kalau kita hitung yang diusulkan dari Ibu Menkeu, kelas III tidak sampai Rp2 ribu per hari, kelas I pun hanya sekitar Rp5 ribu per hari. Tinggal bagaimana kita williingness untuk pay ditingkatkan, kesadaran muncul. Tapi di negara-negara yang kita pelajari, bahwa kesadaran itu juga harus didorong enforcement yang baik," ungkap Fachmi. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya