Masa Depan di Bawah Kabinet Indonesia Maju

Presiden Joko Widodo (kanan) memberi selamat kepada Menteri Pertahanan Prabowo
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA – Presiden Joko Widodo akhirnya mengumumkan nama-nama orang yang akan menjadi pembantunya dalam Kabinet Indonesia Maju. Rabu pagi, 23 Oktober 2019. Di veranda Istana Merdeka, pengumuman Jokowi sampaikan. 

Risma dan Menteri PKB Tak Ikut Buka Puasa Bersama Jokowi, Budi Arie: Jangan Didramatisir

Seluruh menteri dan pejabat negara setingkat menteri duduk di tangga veranda. Mereka semua berbaju batik.

Satu per satu Jokowi memanggil nama mereka dan menyebutkan jabatannya. Mereka yang dipanggil namanya lalu berdiri, melambaikan tangan pada jurnalis, membungkukkan badan atau menekuk telapak tangan di dada, lalu duduk kembali. 

Jokowi Enggak Bahas Pemerintahan Prabowo saat Buka Puasa Bersama Menteri di Istana

Situasi pengumuman kabinet 2019-2024 berbeda dengan lima tahun lalu. Waktu itu, Jokowi mengumumkan kabinet dengan berbaju putih dan bercelana hitam.

Ia memanggil satu per satu menterinya. Mereka yang dipanggil, mengenakan baju yang sama dengan Jokowi, kemeja putih dan celana hitam, lalu berlari kecil menghampiri sang Presiden. Konon, lima tahun lalu adalah menggambarkan kondisi kabinet yang siap kerja, sedangkan tahun ini adalah menggambarkan kondisi Indonesia yang siap maju.

Ganjar Kasih Bocoran Kapan Mahfud MD Bakal Mundur dari Kabinet Jokowi

Setelah pengumuman selesai, para menteri tersebut lalu berganti baju dan bersiap untuk upacara pelantikan. Para pria mengenakan jas lengkap dan berdasi, sedangkan para perempuan mengenakan baju kurung.

Presiden Joko Widodo lalu melantik dan mengambil sumpah menteri kabinet dan kepala lembaga setingkat menteri, di Istana Negara Jakarta, pada Rabu, 23 Oktober 2019. Pengangkatan para menteri ini dikukuhkan dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 113P tahun 2019 tentang Pembentukan Kementerian Negara dan Pengangkatan Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.  

Selain 34 kementerian, ada empat pejabat setingkat menteri yang dilantik seperti Jaksa Agung yang ditempati ST Burhanuddin.

Di antara mereka yang datang ke Istana pada Senin, 21 Oktober 2019 dan Selasa, 22 Oktober 2019, akhirnya bergabung dengan di periode kedua pemerintahannya. Sesuai prediksi, sejumlah nama lama tetap bertahan dan lainnya tersingkir.  

Seperti biasa, pilihan Jokowi selalu mengagetkan. Sebab, ada sejumlah nama yang dinilai tak sesuai dengan kompetensi dan bidangnya.

Sebut saja Nadiem Makariem. Bos GoJek ini didapuk menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Padahal, meski lulusan Harvard University, Nadiem tak memiliki latar belakang di bidang pendidikan. 

Kemudian Johnny G Plate, sekjen Partai Nasdem yang didapuk menjadi menteri Komunikasi dan Informatika. Johnny juga dinilai tak memiliki kapasitas di bidang komunikasi dan informatika.

Johnny merupakan salah satu anggota DPR yang terpilih berdasarkan hasil Pemilu 2019. Sebelumnya, ia juga pernah terpilih menjadi anggota DPR periode 2014-2019 dari Partai Nasdem mewakili Dapil Nusa Tenggara Timur I.

Latar belakang Johnny adalah pengusaha. Setelah sukses dengan perkebunan, ia merambah ke bisnis penerbangan.

Sebelumnya, ketika diwawancara wartawan usai bertemu dengan Jokowi, Johnny mengaku diajak berdiskusi dengan Jokowi menyangkut regulasi startup, digitalisasi data hingga perlindungan data pribadi.

Satu lagi yang mengagetkan adalah Fachrul Razi. Purnawirawan jenderal ini juga dinilai tak cocok memimpin Kementerian Agama. Dengan jujur, Fachrul mengaku bukan dari kalangan pesantren. Namun, ujarnya, ia dibesarkan di kalangan masyarakat yang Islamnya kuat.

Komposisi menteri tersebut membuat publik mempertanyakan, apakah Kabinet Indonesia Maju yang dibentuk Jokowi mampu mencerahkan masa depan Indonesia? Apalagi pemilihan menteri dinilai penuh kompromi dan akomodatif.

Sebab, meski banyak menteri yang bukan dari partai politik, mereka adalah orang-orang yang pernah membantu Jokowi. Seperti Erick Thohir, Tito Karnavian, Wishnutama, dan Bahlil Lahadalia.

Nadiem dan Fachrul yang Percaya Diri

Meski tak memiliki latar belakang bidang pendidikan, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, ia dipilih menjadi menteri lantaran mengerti apa yang ada di masa depan. Ia mengatakan, hal itu sudah dibuktikan.

Nadiem menyampaikan, transportasi online GoJek adalah bisnis yang memang untuk masa depan. Itu menjadi alasan Nadiem untuk mengaku bahwa ia memahami apa yang terjadi pada masa depan.

"Saya lebih mengerti, belum tentu mengerti, tapi lebih mengerti apa yang akan ada di masa depan kita. Itu yang pertama," kata Nadiem, di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu 23 Oktober 2019.

"Dan kebutuhan lingkungan pekerjaan di masa depan itu sangat berbeda dan akan selalu berubah, dan itu link and match dari yang Bapak Presiden bilang kemarin, sekali lagi ini adalah visi Bapak Presiden bukan visi saya," ujar Nadiem.

Nadiem mengakui, ini menjadi tugas berat. Membangun sistem pendidikan di Indonesia, sebuah negara yang besar dengan ratusan juta penduduk bukan hal yang mudah. Apalagi ia tidak hanya mengurusi masalah pendidikan dasar. Tapi juga pendidikan tinggi, karena tupoksinya dikembalikan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Meski mengakui tugasnya amat berat, Nadiem percaya diri dengan modal pengalaman yang ia miliki. Institusi pendidikan ke depan, kata dia, harus terkoneksi dan tersambung dengan kebutuhan yang ada di luar itu.

Dengan 300 ribu sekolah dan 50 juta siswa, maka menurut Nadiem, pemanfaatan teknologi menjadi sangat penting.

"Jujur tantangannya akan luar biasa. Di bawah saya itu juga bukan hanya Kemendikbud yang tradisional, tapi juga digabung dengan dikti. Itu semua ter-integrated. Tapi, itu baik, itu berita baik, karena semua strategi akan terpadu," ujarnya bernada optimistis. 

Menteri lain yang membuat publik terkejut adalah Jenderal (Purn) Fachrul Razi yang diberi amanat menjadi menteri Agama. Mantan wakil panglima TNI ini bukan dari kalangan pesantren, tetapi ia mengaku dibesarkan dari kalangan keluarga yang Islamnya sangat ketat di daerahnya di Aceh.

"Saya bukan kiai dan juga bukan tamatan pesantren atau sekolah-sekolah agama lainnya. Tapi sedikit kelebihan saya, saya dibesarkan dalam sebuah wilayah yang memang Islamnya sangat ketat, sehingga dididik orangtua dengan cara yang sangat ketat juga," kata Fachrul di kantor Kementerian Agama, Jakarta Pusat, Rabu 23 Oktober 2019.

Fachrul menduga, Jokowi memilihnya karena Kepala Negara mengetahui latar belakangnya yang militer, tapi cukup memahami permasalahan keagamaan, gemar membaca buku-buku agama, kerap berceramah tentang Islam yang damai, meski tak pernah menjadi dai atau ulama. Fachrul mengatakan, ia pernah mengurusi soal keagamaan Islam, yaitu ketika dirinya menempuh pendidikan di Akademi Militer dulu.

"Setelah masuk ke Akademi Militer, saya tergabung dalam istilahnya itu adalah kelompok Taruna yang tugasnya membina taruna-taruna Islam lainnya, agar menjadi lebih baik. Yang enggak bisa baca Alquran, kami ajarkan baca Alquran," katanya.

Ia menceritakan, dulu masih banyak Taruna atau mungkin hampir setengahnya tidak bisa membaca Alquran. Saat itu, ia kumpulkan dan mengajarkan kepada para taruna.

Cerita Fachrul, ia hanya berani mengajarkan membaca Alquran tingkat bawah, sebab kalau tingkat lanjutan ia juga tak percaya diri karena tajwidnya belum baik. Ia juga mengajarkan salat untuk para Taruna, karena saat itu banyak Taruna yang juga belum bisa salat.

Setelah menyelesaikan di Akademi Militer, ia bersama teman-teman mantan pembina masjid di akademi tersebut lanjut berdakwah.

"Jangkauan kami tidak jauh, yaitu dalam pembinaan teritorial. Di mana pun saya berada saat itu, pasti saya sudah punya jadwal khotbah di masjid-masjid, meskipun pembahasan ayat-ayat saya tidak banyak," tuturnya.

Sebagai menag yang baru, Fachrul Razi mengaku diberi tugas oleh Presiden Jokowi untuk memerangi radikalisme. "Kalau sampai ada pelaksanaan Islam yang radikal, saya kira menafsirkan agamanya itu salah. Orang sudah jelas Islam itu rahmatan lil alamin," kata Fachrul.

Menurutnya, Islam tidak mengajarkan untuk membunuh. Bahkan termasuk terhadap musuh. Apabila ada pemahaman keagamaan seperti itu, pasti salah. Fachrul menduga, pemahamannya soal radikalisme dan posisinya yang pernah aktif di kemiliteran, adalah alasan yang membuat Jokowi memilihnya menjadi menteri Agama. 

"Mungkin, menurut saya, Pak Jokowi melihat, wah ini Pak Fachrul bisa diajak membantu saya, dalam membangun suasana damai, dalam membangun suasana yang penuh kekompakan dan persatuan, dan lain-lain," ujarnya.

Kursi menteri Agama memang bukan hal baru diberikan ke purnawirawan TNI. Meskipun sangat jarang, tetapi sejarah mencatat mantan perwira militer pernah menjabat jabatan menag, seperti Tarmizi Taher, yang berpangkat Laksamana Muda TNI. Biasanya kursi menteri Agama diberikan untuk kader dari kalangan Nahdlatul Ulama.

Antara Kompromi dan Resistensi

Beragam reaksi publik muncul menyikapi pembentukan komposisi Kabinet Indonesia Maju. Keputusan Jokowi untuk mengangkat Fachrul Razi sebagai menteri menimbulkan reaksi dari Nahdlatul Ulama. Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama menyampaikan pernyataan tertulis atas keberatan mereka tentang sosok menteri Agama pilihan Presiden. 

"Saya dan pengurus lainnya banyak mendapat pertanyaan terkait menteri Agama. Selain pertanyaan, banyak kiai dari berbagai daerah yang menyatakan kekecewaannya dengan nada protes," kata Ketua Tanfidziyah Pengurus Besar NU, Robikin Emhas, dalam keterangan tertulis yang diterima VIVAnews pada Rabu, 23 Oktober 2019.

Bagi NU, para kiai sudah lama merisaukan gejala pendangkalan pemahaman agama yang ditandai merebaknya sikap intoleran, bahkan sikap ekstrem dengan mengatasnamakan agama. Gejala itu ditandai, di mana sebagian kalangan muslim yang begitu mudah menganggap muslim lain kafir sehingga halal dibunuh.

Robikin mengingatkan, secara kelembagaan jauh waktu NU tegas mengingatkan bahaya radikalisme. Bahkan NU menyatakan Indonesia sudah kategori darurat radikalisme, karena kondisi dan daya destruksi yang diakibatkan.

Menurutnya, para kiai memaklumi bahwa Kementerian Agama harus berada di garda depan dalam mengatasi radikalisme berbasis agama. 

"Namun, para kiai tak habis mengerti terhadap pilihan yang ada," ujarnya.

Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno, melihat politik hari ini aneh terutama dalam konteks penyusunan kabinet. Meskipun diterapkan politik kompromistis dan akomodatif, menurutnya, cukup potensial adanya oposisi di dalam pemerintahan.

"Tanda-tandanya cukup terbaca, banyak resistensi sebelum penentuan kabinet. Tapi politik kita itu memang akomodatif. Kita tak bisa menyalahkan Jokowi, kita juga tak bisa menyalahkan Prabowo," katanya.

Apapun itu, Adi berpendapat Jokowi harus terus mewujudkan visi-misinya. Alasannya, dukungan politik terhadap mantan gubernur DKI Jakarta itu cukup kuat.

"Ke depan Jokowi tak punya alasan untuk tidak mewujudkan janji-janji politiknya, cita-cita Nawa Cita-nya karena dukungan partai penuh dan dukungan politik di parlemen 70 persen. Jadi kabinet harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini tidak terselesaikan," ujarnya.

Pujian atas pilihan menteri dalam kabinet Jokowi disampaikan oleh Prof. Arya Hadi Dharmawan, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB). Arya, yang juga dosen Mata Kuliah Teori Sosiologi (Klasik dan Kontemporer) di Prodi Sosiologi Pedesaan IPB mengatakan Jokowi lulus dengan nilai A darinya untuk subjek "Applied Sociology of Conflict."

Melalui keterangan tertulisnya, Arya menjelaskan alasannya memberi nilai A untuk Jokowi. Pertama, Jokowi telah berhasil melakukan pemindahan konflik menjadi kooperatif (Transforming Conflict into Cooperation).

"Dengan bergabungnya Pak Prabowo ke dalam kabinet pemerintahan 2019-2024, maka tensi dan intensitas kegaduhan pertentangan antarpihak (yang selama ini tinggi), ingin segera diakhiri oleh Presiden Jokowi,” tuturnya.

“Dengan menurunnya tensi kegaduhan, maka publik dapat segera bekerja kembali secara produktif dan dengan hati tenang. Bukankah salah satu parameter kesejahteraan sosial adalah: ketenangan dan kedamaian dalam kehidupan sosial? Artinya, Pak Presiden telah menjalankan fungsi quality assurance di bidang jaminan ketenangan batin bagi warganya," ujar Arya. 

Arya menjelaskan, kondisi rivalitas, persaingan, adu nyinyir dan saling sindir serta perasaan risau berkesinambungan selama Pilpres 2019 (ditingkahi aksi anarkistis) hingga menjelang pelantikan presiden dan wapres 2019-2024, hanya membuat stres dan membebani pikiran publik.

Hal-hal itu juga menggelayuti pikiran dan menggerus relasi-relasi sosial yang semestinya terbentuk secara positif. Menurut Arya, Presiden Jokowi tak ingin aura negatif itu terus bersarang di pikiran dan hati warganya yang menguras energi.

"Tampaknya hal itu lah yang merisaukan Pak Jokowi sampai beliau memutuskan menarik masuk Pak Prabowo ke dalam pemerintahan. Pak Jokowi ingin mengurangi tensi tersebut agar bangsa Indonesia segera move on bergerak maju bersama-sama. Pak Prabowo menyambut tawaran tersebut. Terjadilah rekonsiliasi politik yang genuine tanpa disorong-sorong oleh parpol selama ini," ujarnya.

Hal kedua, menurut Arya adalah kemampuan Jokowi untuk melokalisasi sumber sisa konflik (Localizing Source of Remaining-conflict). Arya menuliskan, dengan melokalisasi sumber sisa konflik maka publik akan menjadi tahu, jika masih ada kelompok tertentu yang menyebarkan semangat negatif dan bersuara miring, pasti mereka bukan dari "gerbong" Prabowo maupun bukan dari "gerbong" Jokowi. Mereka bisa dengan mudah diidentifikasi dari mana asalnya dan segera dilokalisasi suaranya. 

"Inilah, solusi manajerial dari Pak Jokowi dalam mengelola konflik. Dalam kehidupan, konflik tak bisa dihapuskan. Ia hanya bisa ditekan hingga derajat yang tolerable," tuturnya. 

Dengan cara ini, Presiden melakukan gebrakan awal masa pemerintahannya yang kedua dengan mengimplementasikan "manajemen konflik" yang konstruktif. 

Menurutnya, inilah makna "social engineering" yang sejatinya. Tanpa disadari Jokowi telah menerapkan applied sociology yang mungkin tak pernah dipelajari secara formal. 

"Presiden langsung belajar dari pengalaman empiris. Beliau telah menjadi social-engineer dan melakukan applied sociology of conflict secara baik tanpa perlu membaca bukunya Lewis A Coser atau buku Sociology of Conflict-nya Randall Collins, terlebih dahulu," kata dia. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya