Acakadut Pengelolaan Bantuan Sosial efek Corona

VIVA – Pengumuman bahwa pemerintah telah mulai menyalurkan aneka bantuan sosial (bansos) untuk warga miskin yang terdampak wabah virus corona menjadi kabar baik bagi masyarakat. Pemerintah pusat saja menganggarkan Rp105 triliun hanya untuk bansos. Tiap pemerintah daerah juga menganggarkan dengan nilai bervariasi tetapi bisa mencapai miliaran-triliunan rupiah.

Kontroversi Penetapan Kurikulum Merdeka Menjadi Kurikulum Nasional

Masyarakat akan mendapatkan tidak hanya satu jenis bansos pemerintah pusat, tetapi bisa juga dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Jumlahnya juga bervariasi yang berkisar ratusan ribu rupiah per kepala keluarga per bulan selama sekurang-kurangnya empat bulan mendatang.

Namun pengumuman itu tak seindah kenyataannya. Setelah pemerintah mulai menyalurkan aneka bansos itu, terkuaklah satu per satu masalah dan ketidakberesannya. Mulai dari jumlah penerima yang tak merata, data yang tak akurat, bahkan sampai seorang anggota DPRD DKI Jakarta dan warga perumahan elite terdaftar sebagai penerima.

Sepeda Elektrik Diprediksi Makin Populer di Indonesia

Yang paling heboh ialah kabar seorang warga bernama Yuli Nuramelia di Serang, Banten, yang permohonan bansos untuk keluarganya ditolak oleh kelurahan setempat sampai dia meninggal dunia dan diduga akibat kelaparan. Dua anak yatim piatu yang kurus kering akibat kelaparan di Muara Enim, Sumatera Selatan, menjadi cerita pilu lainnya.

Berbeda alasan

Pemerintah Bidik Penjualan Mobil Listrik Capai 50 Ribu Unit

Pemerintah tak memungkiri kalau memang ada yang luput atau data tak akurat dalam distribusi bansos itu. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, contohnya, yang mengakui data penerima bansos yang sebanyak 1,2 juta orang mustahil akurat seratus persen. “Tentu saja, tidak mungkin sempurna,” katanya. "Dari 1,2 juta orang, ketemu satu, dua, tiga [orang yang tidak tepat sasaran], pasti.”

Bisa saja, Anies berdalih, data itu belum diperbarui sehingga ada warga yang dahulu terkategori miskin namun sekarang tidak lagi, atau sebaliknya. Namun dia berjanji memutakhirkan data itu seiring perkembangan situasi sehingga penerimanya lebih tepat sasaran.

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga mengungkap alasannya. Pertama-tama, katanya, mesti dimaklumi karena sekarang situasinya serba susah sementara pemerintah dituntut bertindak cepat dan tanggap. Warga yang berhak mendapatkan bantuan pun tidak sedikit. Di Jawa Barat saja, katanya, hampir tujuh juta orang yang terdaftar sebagai penerima bantuan sosial.

Urusannya menjadi sedikit lebih rumit dan rentan menimbulkan kesalahpahaman, menurutnya, karena jenis bansos yang pemerintah gelontorkan bermacam-macam, bahkan ada sembilan jenis alias sembilan pintu atau jalur. Dia mencontohkan, di antaranya Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, bansos berwujud sembako untuk perantau di Jakarta dan sekitarnya, Dana Desa (untuk kabupaten), Kartu Prakerja, Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Ragam bentuk bantuan itu datang tidak bersamaan dan bahkan cenderung acak: bisa saja yang mula-mula disalurkan ialah bantuan dari pemerintah pusat, sementara dari kota/kabupaten belakangan. “Tetangganya yang tidak kebagian [bantuan] di pintu nomor tujuh,” Ridwan mencontohkan, “mungkin dia menyangka dia tidak akan mendapat bantuan.” Akibatnya mispersepsi sehingga memicu kegaduhan.

Sama seperti Anies, Ridwan Kamil berjanji mengevaluasi distribusi bansos yang masih semrawut alias acakadut itu dalam beberapa pekan mendatang. Masing-masing pemerintah kabupaten/kota akan memutakhirkan data melalui aparat RT/RW yang diverifikasi oleh Dinas Sosial dan mengevaluasi proses distribusi yang melibatkan PT Pos Indonesia bekerja sama dengan pengemudi ojek.

Lain lagi dengan pemerintah pusat, misal, Kementerian Sosial, yang beralasan bahwa sebenarnya data penerima bansos seperti PKH, BLT, sembako, dan sejenisnya, didapat dari atau di-input oleh pemerintah daerah. Data itu dihimpun dalam satu sistem informasi yang disebut Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Daftar penerima dibagi lagi dalam dua kategori, yakni DTKS dan non-DTKS.

Warga yang terdaftar dalam DTKS ialah para penerima bansos reguler seperti PKH, Bantuan Pangan Non-Tunai, Kartu Indonesia Pintar. Sedangkan penerima bantuan yang termasuk dalam non-DTKS, di antaranya pekerja sektor informal seperti pengemudi ojek online atau pekerja korban pemutusan hubungan kerja.

Pelajaran kasus Yuli

Kasus Yuli Nuramelia di Serang dinilai menjadi contoh terbaik betapa buruk pengelolaan data dan penyaluran bansos yang pemerintah kelola, ada atau tidak ada wabah virus corona. Sang ketua RT di wilayah Yuli bertempat tinggal sebenarnya sudah menyerahkan berkas permohonan bansos kepada pemerintah, namun ditolak oleh aparat kelurahan hanya karena si kepala keluarga tercatat sebagai "petugas kebersihan”.

Aparat kelurahan mengira sang suami Yuli yang berprofesi sebagai “petugas kebersihan” adalah petugas pemerintah yang digaji resmi per bulan. Padahal, suami Yuli bekerja sebagai "petugas kebersihan" yang mencari barang bekas dan layak jual dari tempat sampah. Ringkasnya: pemulung. Penghasilannya rata-rata cuma Rp30.000 per hari.

Aparat pemerintah lantas ramai-ramai mengklarifikasi bahwa penyebab Yuli meninggal bukan karena kelaparan. Penyebab pastinya memang menunggu hasil autopsi jenazahnya, namun kenyataannya keluarga Yuli memang keluarga miskin dan waktu itu belum mendapatkan bantuan dari pemerintah. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya