Kecanduan Nonton Film Bajakan di Internet, Ini Dampak Buruknya

Ilustrasi bioskop/menonton film.
Sumber :
  • Freepik/freepik

VIVA – Situs ilegal atau situs bajakan menonton film di internet begitu menjamur. Dalam situs terselubung tersebut, ribuan film mancanegara, termasuk dari Indonesia, dapat diakses dan ditonton secara gratis tanpa harus mengeluarkan kocek sedikitpun. Namun, nyatanya keberadaan situs ilegal tersebut sangat meresahkan banyak pihak.

Demi Dalami Peran, Shareefa Daanish Rela Dimake Up Selama Berjam-jam

Seolah menjadi efek domino, keberadaan situs ilegal merugikan banyak pihak, terutama pelaku industri perfilman. Padahal, di dalam dunia perfilman, ada perputaran bisnis yang begitu besar. Jika masyarakat tetap ingin menikmati film-film dengan kualitas maksimal, maka wajib hukumnya untuk tidak menonton film bajakan melalui situs ilegal.

"Ini bukan charity show, karena ada biaya yang harus dikeluarkan cukup besar dalam memproduksi atau menayangkan film. Apalagi WeTV, penonton dapat mengaksesnya secara gratis," kata Country Head WeTV dan iflix Indonesia, Lesley Simpson, dalam webinar Literasi Digital Kominfo dengan tema 'Stop Menonton Film Bajakan di Internet,' yang digelar Jumat 1 Oktober 2021. 

Dua Produser Film Pick Me Trips In Bali Asal Korea Selatan Dideportasi Imigrasi Ngurah Rai

Selain merugikan industri, sambung Lesley, ternyata kecanduan menonton film bajakan di internet juga dapat merugikan masyarakat. Sebab, di dalam situs ilegal itu terdapat malware yang berisi virus dan berpotensi meracuni komputer atau perangkat si pengguna. 

Bahayanya adalah, virus yang sudah menjalar di perangkat si penonton bajakan itu bisa membuat komputer atau laptop dikendalikan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Orang yang tak bertanggung jawab itu bisa saja menyalakan kamera di laptop dan merekam seluruh aktivitas penonton bajakan tanpa sepengetahuannya.

Putri Marino Berani Mesra dengan Nicholas Saputra, Ini Reaksi Tak Terduga Chicco Jerikho!

"Yuk kita bantu perfilman Indonesia, bukan cuma membantu industrinya, tapi biarkan sineas kita juga tetap berkarya. Di saat yang bersamaan, sebenarnya kita juga sedang melindungi diri kita sendiri," tutur dia.

Sementara itu, Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan, Badan Perfilman Indonesia, Tito Imanda, mengatakan, dalam pembuatan satu film layar lebar atau film panjang yang berkualitas, paling tidak menghabiskan Rp8 miliar. 

Ia mencontohkan, kalau harga tiket nonton di bioskop senilai Rp45 ribu, maka sebanyak Rp5 ribu akan digunakan untuk pajak. Sisanya, sebanyak Rp40 ribu dibagi dua antara produser dan pihak bioskop. Berarti untuk balik modal biaya pembuatan film, paling tidak membutuhkan 400 ribu penonton.

Kalaupun menurunkan biaya produksi, maka berpotensi dapat menurunkan kualitas film itu sendiri. Kalau sudah begitu, kata Tito, penonton yang akan ikut merugi karena kualitas film yang ditonton tidak maksimal.

"Dengan menonton melalui jalur yang ilegal, berarti sedang menambah kemungkinan bahwa film-film Indonesia berikutnya semakin tidak bagus. Lama-lama kualitas film Indonesia akan turun lagi. Jadi yang rugi kita sendiri sebagai penonton, bukan hanya industrinya," kata Tito.

Paling tidak, ada dua cara untuk menghadapi tantangan menjamurnya situs film bajakan. Pertama, tentunya tidak menonton film bajakan di situs ilegal. Dalam hal ini, pihak terkait harus meningkatkan kesadaran penonton. Kedua, strateginya adalah mencegah orang mengakses situs bajakan dengan mengurangi aksesnya. 

Kendati demikian, ia mengaku dua cara tersebut bukan hal yang mudah untuk menangkal menjamurnya situs film bajakan. Sebab, satu situs ditutup, maka akan muncul situs baru lainnya. 

Oleh sebab itu, pihak terkait, seperti pemerintah, pelaku industri perfilman, serta masyarakat harus serius memerangi situs film bajakan. 

"Harus memblokir setiap situs bajakan. Ini lebih efektif ketimbang menyadarkan kesadaran masyarakat. Sebab, tantangan menyadarkan masyarakat besar sekali. Kultur suka nonton film bajakan sudah terlalu terbangun sejak lama," tuturnya. 

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Syarifuddin mengungkapkan, sudah banyak situs nonton film ilegal yang ditutup pemerintah. 

Pada 2019, sebanyak 66 situs yang diblokir. Sementara tahun lalu, sebanyak 148 situs. Pada 2021, ada 224 situs yang ditutup. 

"Artinya, semakin marak atau semakin banyak situs nonton film ilegal yang ditutup," kata Syarifuddin.

Menurut dia, film adalah karya dari manusia dan sudah pasti memiliki hak cipta. Di dalam hak cipta tersebut terdapat hak ekonomi dan moral. Menurut Syarifuddin, yang paling banyak bermasalah adalah hak ekonominya. Karena hak ekonomi berkaitan langsung dengan adalah pemegang hak cipta atas film yang diproduksinya.

"Si pembuat film harus mendapatkan manfaat ekonominya, mereka harus dapat jika ada nilai komersialnya," tutur Syarifuddin.

Selain pelaku industri film,  masyarakat biasa juga bisa melaporkan situs film ilegal. Namun, masyarakat sebaiknya memberi tahu si pembuat film, organisasi, atau lembaganya dulu sebelum melaporkan sebuah situs film ilegal. Hal itu guna mencegah motif persaingan bisnis.

"Setelah tahapan itu dilalui, baru kita rekomendasikan untuk Kominfo tutup situsnya. Prosesnya seberapa lama, tergantung berapa banyak buktinya. Tidak semuanya kita proses, karena takutnya hanya motif persaingan bisnis," kata dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya