Perjuangan Kakak Beradik di Desa Setui Aceh

Rahmat saat menerima bantuan sepeda baru.
Sumber :

VIVA.co.id –Zul, staf Rumah Yatim Aceh yang akrab disapa Bang Zul, berpapasan dengan seorang bocah berseragam SD lusuh berjalan kaki. Ia tampak bergegas menapaki tanah dengan sepasang sepatu yang rusak.

Pergilah Dinda Cintaku

Hari berikutnya, di pagi yang sama seperti kemarin, sang bocah tetap mantap berjalan kaki ditemani seragam lusuh, sepatu rusak, dan menyandang tas sekolah yang usang.

Di hari lainnya, Bang Zul melihat lagi pemandangan yang sama. Namun, kali ini perawakannya lebih kecil. Wajahnya yang penuh peluh, nampak serius berjalan melewatinya. Hampir setiap hari, Bang Zul bertemu kedua anak itu.

Tanggung Jawab dan Rekonsiliasi Masyarakat Lumban Dolok

Sampai akhirnya suatu hari, Bang Zul memberanikan diri untuk mengajak berbicara anak itu untuk pertama kalinya. Menawarinya untuk mengantarkan ke sekolah.

“Mau kemana?”

Jokowi Diminta Lerai Konflik Ketua Pramuka dengan Menpora

“Ke sekolah,”

“Setiap hari jalan kaki?”

“Ya, setiap hari jalan kaki ke sekolah”

Setiap kali bertemu, Bang Zul menyempatkan mengantarnya ke sekolah. Tugas Bang Zul sering kali harus keluar asrama. Peristiwa yang dijumpainya ini yang membawa perubahan untuk kedua bocah itu. Pertemuan singkat ini, membuat Bang Zul penasaran tentang mereka. “Kapan-kapan boleh main ke rumah?” tanya Bang Zul. “Boleh,” jawab bocah itu singkat.

Bang Zul dibawa ke sebuah desa bernama Setui di wilayah Punge Ujong. Di salah satu lorong, bersama bocah itu ia diajak ke sebuah rumah-jika pantas disebut rumah. Sesaat Bang Zul terkesiap dalam hatinya ketika masuk ke dalamnya yang gelap gulita.

Penerangan hanya samar-samar dari celah-celah dinding bilik kayu dan atap-atap yang agak bolong. Cahaya matahari tembus membuat garis-garis yang menyilaukan. Beruntung mereka bertemu siang hari sehingga dapat melihat lebih jelas.

Mereka pun berbincang dan berkenalan. Ternyata kedua bocah itu kakak-beradik. Sang kakak yang pertama kali dijumpai Bang Zul adalah Rahmat, kelas 7 SMP. Dan bocah kedua, Abdul Aziz namanya, ia kelas 5 SD. Kedua bocah ini kehilangan ayahnya sekitar empat tahun yang lalu.

Ayah mereka seorang nelayan yang meninggal di tengah lautan lepas. Mereka empat bersaudara. Rahmat si sulung, adik perempuan di nomor dua, Abdul Aziz anak ketiga, dan si bungsu laki-laki. Sekolah mereka terletak sekitar 4 km dari rumahnya. Mereka berjalan kaki selama satu jam, dan menghabiskan dua jam perjalanan pulang pergi. Agar tidak kesiangan, mereka bergegas lebih awal.

Ternyata setelah diketahui, keluarga mereka bukanlah penduduk asli setempat. Merantau demi kehidupan yang lebih baik setelah kehilangan ayah dan kepala keluarga tidaklah mudah. Sepeninggal sang ayah, bersama ibu mereka dari Sigli menuju Punge Ujong yang jaraknya berkilo meter jauhnya. Saudara perempuan mereka dititipkan di salah satu famili. Sang ibu memboyong tiga anak laki-lakinya ikut serta.

Di tengah kesulitan mencari tempat tinggal, seseorang pemilik rumah menawari mereka tinggal di sana. Tak peduli kondisinya seperti apa, yang penting ada tempat bagi keluarga mereka untuk bernaung. Memberikan kesempatan tinggal adalah hal yang sangat mereka syukuri.

Menyambung asa di tempat baru, ibu beralih peran mencari nafkah. Ia rela menjadi buruh cuci di sebuah kedai nasi. Setiap hari mulai mencuci dari jam 6 sore sampai 1 dini hari baginya bukanlah apa-apa. Yang penting anak-anaknya tidak putus sekolah dan tetap makan walau seadanya.

Namun, kenyataan sungguh menyayat. Upah cuci Rp15.000 setiap harinya tak mampu mencukupi makan ketiga anaknya.Terkadang mereka makan, dan tetap sabar kalau tak makan hari itu. Berada di sekitar rawa, semak-semak tebal, dan rerumputan tinggi, mereka nikmati setiap harinya.

Lingkungan sekitar masih nampak beberapa tetangga dekat rumah. Namun, status pendatang rupanya seakan jadi magnet rasa segan bergaul dengan mereka. Seperti kebutuhan listrik untuk penerangan yang harus meminta ke tetangga, tak urung mereka lakukan karena tak sanggup membayarnya. Jadilah gulita teman setia yang menaungi mereka ketika hari mulai senja.

Kebutuhan primer lain, air bersih pun tak kunjung mereka peroleh dengan layak. Bersusah payah mengumpulkan air PAM dengan menampungnya ember demi ember. Diangkut dari berjalan kaki menahan berat kemudian dipakai seirit mungkin untuk semua kebutuhan MCK tiap harinya.

Viral Alquran Dilempar Petugas saat Eksekusi Rumah Yatim Piatu

Viral Alquran Dilempar Petugas saat Eksekusi Rumah Yatim Piatu

Video proses eksekusi rumah yatim piatu viral di media sosial. Pasalnya diduga terjadinya pelemparan Alquran oleh petugas eksekusi saat mengosongkan rumah tersebut.

img_title
VIVA.co.id
2 Desember 2021