Menyambut Pemimpin Baru di Ibu Kota

Pelantikan Gub dan Wagub DKI Jakarta, Anies Baswedan dan Sandiaga Uno
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

VIVA.co.id – Tanpa terasa, lima tahun telah berlalu sejak Oktober 2012, di mana saat itu Jakarta kehadiran Gubernur dan Wakil Gubernur baru yaitu Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kini, di tahun 2017 Jakarta bersiap menyambut kehadiran Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru yaitu Anies Baswedan serta Sandiaga Uno.

Anies Baswedan dan Sandiaga Uno merupakan pasangan calon gubernur yang awalnya hanya diusung oleh Partai Gerindra dan PKS, sampai akhirnya memenangkan pesta demokrasi lima tahunan di ibu kota pada tahun 2017.

Lima tahun tentu bukan waktu yang singkat, namun juga bukan waktu yang ideal untuk membangun ibu kota dalam sekejap. Jika diurai lagi, satu persatu apa yang telah terjadi di ibu kota selama lima tahun terakhir tentu penulis tidak akan sanggup mengurainya. Namun penulis akan mencoba mengurai beberapa hal  penting saja.

Lima tahun terakhir ini, Jakarta mengalami tiga kali pergantian pemimpin. Dimulai dari Jokowi menggantikan Fauzi Bowo pada tahun 2012, lalu kurang lebih dua tahun kemudian Jokowi digantikan oleh Ahok pada tahun 2014 karena Jokowi terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Dan pada tahun 2017, Djarot Saiful Hidayat menggantikan Ahok karena beliau divonis dua tahun penjara di penghujung masa jabatannya.

Peristiwa tiga kali pergantian pemimpin dalam waktu singkat tentu menimbulkan preseden yang tidak baik dan juga berdampak buruk bagi kesinambungan pembangunan ibu kota. Dan bergantinya kepemimpinan dalam waktu singkat juga menimbulkan kegaduhan di level elite politik ibu kota. Ibukota banyak menghabiskan energi untuk saling lontar statement antar elite-elitenya. Bahkan, antar pendukung elite juga seringkali terlibat perang opini dan statement di sejumlah kanal media sosial.

Program-program kerja Pemprov juga tak sedikit yang terhambat seiring dengan pergantian gubernur yang terjadi dalam waktu berdekatan. Karena setiap gubernur, meski berasal dari “bendera” yang sama, tetap saja memiliki pendekatan yang berbeda ketika memimpin.

Satu contoh saja, implementasi proyek ERP (jalan berbayar) yang alat pendukungnya telah terpasang di sekitar Bundaran Senayan di era kepemimpinan Jokowi. Namun proyek ini tidak pernah dilanjutkan oleh Ahok sampai beliau menyandang status narapidana. Memang tidak mudah mengimplementasikan ERP, akan tetapi jika implementasinya maju mundur lantas kenapa alatnya harus dibeli dan dipasang? Wajar hal ini menjadi pertanyaan publik.

Di tengah kegaduhan tiada henti yang terjadi di ibu kota, tak sedikit pula muncul kasus-kasus hukum yang hingga kini penuntasannya masih misterius. Sebut saja kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW). BPK telah melakukan audit investigasi terhadap kasus tersebut, dan BPK juga menemukan indikasi kerugian negara sebesar ratusan miliar. Namun hingga kini kasus tersebut belum menemukan titik terang.

Tak hanya itu, kasus gurita reklamasi juga hingga kini belum menemukan titik terang. Padahal sudah ada beberapa tersangka yang masing-masing memiliki keterangan di pengadilan yang menyeret sejumlah nama penting di pusaran kasus tersebut. Juga ada kasus pengadaan UPS yang ramai di sekitar tahun 2014-2015. Tak tanggung-tanggung, nilai kerugian negara dari kasus ini mencapai puluhan miliar. Akan tetapi tersangka yang dijerat masih di level jabatan yang terbilang tak terlalu tinggi.

Mengukur kinerja Pemprov, tentu harus menggunakan data-data kuantitatif ketimbang argumentasi kualitatif. Bagaimana kinerja Pemprov DKI selama lima tahun terakhir? Penulis mencoba melihat di dua kategori yaitu Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK  dan serapan APBD. Di balik masifnya pemberitaan bahwa Pemprov DKI sebagai Pemprov yang modern dan transparan dalam mengelola keuangan justru kontradiktif dengan LHP BPK yang selama  empat tahun (2013, 2014, 2015, dan 2016) memberi opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) terhadap pengelolaan keuangan Pemprov DKI.

Tentu tidak fair jika ada yang mengklaim Pemprov DKI selama lima tahun terakhir sangat transparan dan modern dalam mengelola anggaran. Padahal, LHP BPK justru kontradiktif dan sejumlah kasus korupsi masih misterius penyelesaiannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, serapan APBD DKI yang rendah sejak tahun 2013 hingga tahun 2016 juga menegaskan Pemprov DKI tidak mampu memaksimalkan penggunaan APBD untuk pembangunan ibu kota. Padahal, ibu kota memiliki sejumlah masalah kompleks seputar  transportasi publik, kemacetan lalu lintas, banjir, hunian, kemiskinan, kesenjangan dan lainnya.

Sangat disayangkan, jika sudah diamanatkan anggaran besar namun tidak dapat memaksimalkan penggunaannya untuk kemaslahatan publik yang telah membayar sejumlah pajak dan retribusi. Namun, penulis juga tak memungkiri sudah ada perbaikan di beberapa pelayanan publik seperti perizinan investasi dan pengurusan administrasi kependudukan.

Setelah melalui lima tahun yang cukup pelik dan terbilang gaduh, kini Jakarta menyambut kehadiran gubernur dan wakil gubernur yang baru. Gubernur dan wakil gubernur yang terpilih secara sah melalui pesta demokrasi lima tahunan bernama Pilkada. Lima tahun kepemimpinan Jokowi, Ahok, dan Djarot di ibu kota akan segera berakhir seiring dengan kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno di Pilkada DKI 2017.

Kabar terakhir yang penulis ketahui, pasangan Anies dan Sandi akan dilantik oleh Presiden Jokowi di istana Negara pada tanggal 16 Oktober 2017. Beragam ekspresi berkembang di masyarakat, khususnya warga Jakarta. Pendukung petahana mengadakan sejumlah konser dan mengirim karangan bunga di penghujung masa jabatan Gubernur Djarot. Sedangkan, tim Anies dan Sandi tak kalah sibuk mempersiapkan rangkaian acara saat pelantikan nanti. Suhu di media sosial juga tak kalah seru, berbagai statement dan opini berkembang sangat cepat menjelang selesainya jabatan gubernur lama dan pelantikan gubernur baru.

Yang pertama terbersit dengan hadirnya pemimpin baru tentu adalah harapan. Warga Jakarta menaruh harapan besar kepada pemimpin baru untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan pelik di Jakarta. Karena Jakarta adalah ibu kota  yang menjadi tempat untuk bertahan hidup, mencari nafkah, bersosial, berekonomi, berinteraksi, dan lainnya.

Ahok Blak-blakan Bandingkan Gaji Komut Pertamina dan Gubernur DKI

Semoga pemimpin yang baru dapat lebih mengayomi warganya selama menjalankan tugas yang  telah diamanatkan. Jika pemimpin sebelumnya memiliki kesan “pro orang kaya” maka semoga pemimpin yang baru dapat menjadi pemimpin yang berdiri di atas seluruh golongan, kelompok, dan lapisan.

Jika pemimpin sebelumnya seringkali berstatement memancing kegaduhan di media, maka semoga pemimpin yang baru dapat lebih bijaksana dalam tindakan maupun ucapan. Jika pemimpin sebelumnya mengklaim pemerintahannya bersih, maka semoga pemimpin yang baru dapat mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, adil secara faktual bukan sekadar klaim.

Anies: Mal di Jakarta Dibuka Kembali 15 Juni

Warga Jakarta sangat berharap agar ibu kota semakin maju. Bukan hanya infrastrukturnya yang maju, tapi juga warganya ikut mengalami kemajuan baik mental maupun fisik. Pembangunan fisik harus selaras dengan pembangunan kesejahteraan warga seutuhnya. Jangan hanya pembangunan yang menguntungkan pengembang “hitam”.

Sangat banyak terjadi penggusuran di era pemimpin sebelumnya, dan sejumlah penggusuran tersebut mengalami kekalahan di PTUN. Artinya, banyak hak-hak warga yang dilanggar ketika pemerintah provinsi melakukan penggusuran. Dan, terbukti penggusuran menimbulkan masalah baru.

Presiden Depok Lawyer's Club Kritik Surat Gubernur DKI soal SIKM

Sebut saja salah satunya peningkatan tunggakan sewa rusun yaitu menjadi sebesar Rp32 miliar per Juni 2017. Artinya, penggusuran adalah upaya mengatasi masalah dengan masalah. Karenanya, semoga di era pemimpin baru tidak ada lagi pendekatan “tangan besi” dalam menata kota. Penataan harus tepat sasaran, tepat langkah, dan tepat penyelesaian.

Sebagai warga Jakarta asli, penulis ingin memberi masukan kepada gubernur dan wakil gubernur yang baru dalam menjalankan tugasnya. Khusunya terkait prioritas-prioritas jangka pendek. Namun, karena sudah bulan Oktober, maka tentu tahun 2017 akan segera berakhir sehingga penulis membatasi kategori jangka pendek hanya sampai Desember 2017 saja.

Yang pertama, gubernur dan wakil gubernur dilantik di bulan Oktober, yang artinya musim hujan telah tiba. Sebaiknya, gubernur dan wakil gubernur segera memantapkan koordinasi dengan jajaran-jajaran terkait untuk mencegah, meminimalisir, dan mengatasi datangnya banjir.

Yang kedua, batalkan reklamasi. Mengapa pembatalan reklamasi menjadi prioritas jangka pendek? Tentu, karena baru-baru ini moratorium proyek reklamasi baru saja dicabut oleh pemerintah pusat. Namun saran saya, agar gubernur dan wakil gubernur tidak terjebak permainan reklamasi ini maka sebaiknya dibentuk saja tim adhoc yang terdiri dari figur-figur kapabel yang merupakan kombinasi internal Pemprov maupun tokoh-tokoh non Pemprov.

Kenapa penulis menyebut “tidak terjebak permainan reklamasi”? Karena penulis beranggapan bisa saja Anies Sandi dijebak untuk sibuk ribut soal reklamasi melawan kelompok yang memaksa reklamasi dilanjutkan. Tujuannya, agar Anies-Sandi tidak fokus menjalankan program kerja lainnya. Sehingga nanti program-program Anies-Sandi disebut mangkrak oleh lawan politik karena waktu mereka habis untuk meladeni kegaduhan soal reklamasi. Maka, penulis menyarankan bentuk saja tim adhoc untuk meladeni kelompok-kelompok yang memaksakan reklamasi dilanjutkan.

Yang ketiga, maksimalkan serapan APBD 2017 di waktu tersisa. Memaksimalkan bukan berarti memaksakan. Yang penting, APBD dapat digunakan tepat guna, tepat sasaran, tepat anggaran, dan tepat administrasi. Jangan hanya sekadar menghabiskan sisa anggaran akhir tahun dengan proyek-proyek tidak bermutu seperti misalnya pengadaan pot taman,  dan lainnya.

Yang keempat, segera koordinasi dengan seluruh jajaran Pemprov. Pastikan seluruh jajaran siap bekerjasama dengan pemimpin yang baru. Tidak ada lagi si A orangnya si B, si B orangnya si C. Karena baik pemimpin maupun jajaran Pemprov sejatinya adalah pelayan warga, bukan sekadar pelayan pemimpin. Pemimpin datang dan pergi silih berganti, akan tetapi kota ini dan warga kota ini akan terus ada dan terus membayar pajak serta retribusi.

Demikian, beberapa gagasan yang dapat penulis sampaikan seiring kehadiran pemimpin baru di ibu kota. Penulis ucapkan terima kasih pada gubernur yang lama dan penulis ucapkan selamat datang serta selamat bertugas kepada gubernur dan wakil gubernur yang baru. Tugas dan tanggung jawab Anda ke depan kian berat. Semoga Anda semua amanah dalam mengemban tugas.

Lanjutkan hal-hal yang baik dari pemimpin sebelumnya dan buanglah hal-hal yang buruk dari pemimpin sebelumnya. Kami akan mengawal Anda dalam mewujudkan program dan janji selama kampanye. Karena kami ini adalah warga ibu kota, bukan sekadar pendukung yang fanatik buta. (Tulisan ini dikirim oleh Dimas Prakoso Akbar, Pengamat publik dan sekretaris Komunitas Pemuda Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya